SEMARANG, Suara Muhammadiyah - Bagaimana cara sebuah organisasi Islam terbesar tetap kokoh pada ideologi purifikasi, namun pada saat yang sama mampu merangkul pemikiran yang berkemajuan, bahkan toleran terhadap perbedaan? Jawabannya bukan ditemukan dalam perdebatan teologis yang sengit, melainkan dalam etika memberi dan semangat kehadiran di tengah masyarakat.
Dengan mendahulukan Irfani (Nurani/Sufistik), Muhammadiyah memilih untuk menyediakan ambulan daripada menghabiskan energi untuk ribut soal kompetisi layanan atau perbedaan amalan, membuat Islam berkemajuan menjadi solusi praktis, bukan hanya jargon.
Hal tersebut terungkap dalam perbincangan dengan Dr. K.H. Fachrur Rozi M.Ag., Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Semarang di teras rumah kediamannya yang asri, membaur bersama rimbunnya pohon mangga dan kelengkeng. Secangkir teh panas mengepul perlahan, menemani obrolan serius pada waktu senja akhir pekan lalu.
Dilema Wasathiyah di Tengah Tarik-Menarik Ideologi
Ketegangan antara pandangan yang ingin memurnikan agama secara ketat (sering disebut Salafi atau ekstrem kanan, Red) dan pandangan yang ingin berpikir terbuka seiring tuntutan zaman (sering dikaitkan dengan Liberal atau ekstrem kiri, Red), menurut Kyai Rozi, adalah realitas yang dihadapi umat Islam kontemporer. Organisasi besar seperti Muhammadiyah, dengan sejarahnya yang kaya, mau tidak mau berada di persimpangan jalan ideologis ini.
Lalu, bagaimana Muhammadiyah menetapkan koridor agar tidak terseret ke salah satu ekstrem?
Dosen Fakultas Dakwah UIN Walisongo itu menjelaskan, bahwa koridor utama Muhammadiyah adalah Wasathiyah atau Islam jalan tengah yang berkemajuan. Konsep ini mengakui dua pendekatan dalam beragama: Purifikasi (pemurnian) yang diterapkan pada ranah ibadah murni, dan Tajdid (pembaruan/rasionalitas) yang diterapkan pada ranah mu’amalah (interaksi sosial).
Kyai Rozi memperingatkan, purifikasi tanpa batas bisa menyebabkan agama kehilangan dimensi sosialnya, membuatnya eksklusif. Sebaliknya, tajdid tanpa koridor akan membawanya jatuh ke dalam liberalisme yang tidak berdasar. Koridor yang dibutuhkan adalah sebuah kerangka berpikir yang seimbang.
Tiga Gerbang Kearifan: Dari Teks hingga Hati
Untuk menjaga keseimbangan, Muhammadiyah merumuskan Wasathiyah dalam harmoni tiga pendekatan: Bayani, Burhani, dan Irfani. Tiga pilar ini memastikan bahwa kebenaran tidak menjadi klaim tunggal yang kaku.
Bayani adalah fondasi tekstual; suara "halal-haram" yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. Ini adalah penentu ideologi yang kokoh.
Burhani adalah gerbang rasionalitas dan ilmu pengetahuan. Ia adalah pembuktian ilmiah dan argumentasi akal, menjelaskan mengapa teks berkata demikian—seperti penggunaan ilmu hisab dalam penentuan waktu ibadah. Ini adalah penentu pembaruan yang logis.
Namun, yang paling membedakan dan menjaga kedamaian sosial adalah Irfani. Irfani adalah dimensi sufistik atau tasawuf yang menuntun pada etika, kerendahan hati, dan kearifan sosial. Inilah kunci yang melenturkan ideologi yang kencang.
Prinsip Wasathiyah pun terangkum dalam sikap: "Kenceng dengan pilihan kita, tapi toleran dengan orang lain". Sikap ini secara tegas menolak klaim kebenaran tunggal: “Kita kan nggak boleh merasa paling benar sendiri. Kita meyakini bahwa yang kita lakukan adalah benar, tetapi sangat mungkin di sana juga benar.”
Nurani sebagai Penjaga Etika Sosial
Pendekatan Irfani menjadi krusial dalam interaksi sosial dan isu-isu yang sensitif. Ia berfungsi sebagai penjaga etik yang melampaui kebenaran teks.
Sebagai contoh, secara teologis (Bayani), non-Muslim diyakini sebagai kafir. Namun, Kyai Rozi menegaskan bahwa secara Irfani, tidak ada urgensi untuk mengucapkannya: “Tidak perlu kita meng-kafir-kafirkan. Kan sudah kafir, kok di-kafirkan.” Dengan Irfani, keyakinan ideologis tidak perlu diimplementasikan dalam bentuk sapaan sosial yang memecah.
Hal ini juga berlaku dalam layanan sosial yang diilhami Surah Al-Ma'un. Dulu, Ma'un diterjemahkan menjadi pendirian panti asuhan (Burhani). Namun, Irfani menyadarkan bahwa anak-anak lebih nyaman bersama keluarga. Irfani menuntun pada etika memberi dengan penuh kearifan.
“Menolong orang lain dengan dana umat memang perlu membuat laporan demi akuntabilitas lembaga. Tetapi harus dilakukan dengan penuh kearifan, sehingga tidak terkesan mempermalukan penerima,” tegasnya, yang kemudian melahirkan pola bantuan langsung ke rumah untuk menjaga martabat penerima bantuan.
Bahkan dalam menyikapi tradisi masyarakat seperti ziarah kubur—yang sering menjadi titik konflik antara Salafi dan tradisi lokal—solusinya bukan larangan atau kritik, melainkan kehadiran dan contoh nyata. Daripada berdebat, Kyai Rozi menawarkan solusi praktis yang elegan: mengajak mereka umrah melalui biro Muhammadiyah, lalu di sana memberi contoh etika ziarah ke makam Rasulullah dan para sahabat.
Saat azan Magrib berkumandang dari masjid yang berjarak hanya 50 meter, Kyai Rozi menutup perbincangan dengan kalimat yang ringkas dan padat. Ia merangkum seluruh prinsip Wasathiyah sebagai fokus pada aksi nyata.
“Tidak usah ribut,” katanya tentang persaingan layanan atau perbedaan amalan. “Kita menyediakan ambulannya saja orang sudah senang.”
Pesan ini terang benderang. Islam berkemajuan yang diusung Muhammadiyah adalah ajakan untuk menjadi Muslim yang ideologisnya kokoh (Bayani), pemikirannya rasional (Burhani), namun hatinya lentur dan toleran (Irfani). Gerakan ini bergerak dari teks ke ilmu, dan akhirnya, menyentuh nurani, menjadikannya jalan tengah yang menolak ekstrem kanan dan kiri.