Jangan Biarkan Kebencian Membutakan Keadilanmu
Oleh: Ika Sofia Rizqiani S.Pd.I. M.S.I, Dosen Al Islam dan Kemuhammadiyahan di Prodi Agribisnis Universitas Muhammadiyah Sukabumi, Sekretaris Korps Mubalighat PWA Jawa Barat
“Wahai orang-orang yang beriman. Jadilah kamu penegak keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Terjemahan dari ayat ini menjadi referensi kita dalam bersikap adil, sekalipun terhadap orang yang tidak kita benci. Ayat ini juga menunjukkan dimensi moral dan spiritual yang tinggi dalam Islam: keadilan harus ditegakkan di atas dasar ketakwaan, bukan didorong oleh emosi atau kepentingan kelompok. Salah satu prinsip moral tertinggi dalam ajaran Islam adalah keadilan (‘adl). Keadilan bukan sekadar nilai etis dalam hubungan sosial, tetapi merupakan perintah tegas dari Allah SWT yang mencerminkan kesempurnaan iman dan integritas manusia. Islam memandang keadilan sebagai fondasi kehidupan bermasyarakat yang damai dan harmonis. Bahkan, keadilan tidak boleh dikorbankan meskipun terhadap orang yang dibenci atau dianggap musuh.
Makna Keadilan dalam Perspektif Al-Qur’an
Dalam bahasa Arab, kata ‘adl berarti “menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “memberikan hak kepada yang berhak.” Menurut al-Rāghib al-Aṣfahānī, keadilan dalam Islam tidak terbatas pada aspek hukum, tetapi mencakup keseimbangan moral, sosial, dan spiritual. Al-Qur’an berulang kali menyebut perintah berlaku adil, seperti dalam QS. An-Nahl [16]: 90, QS. Al-Hujurāt [49]: 9, dan QS. Asy-Syūrā [42]: 15.
Namun, QS. Al-Māidah [5]: 8 memiliki kekuatan moral yang luar biasa karena menekankan keadilan bahkan terhadap musuh. Ini adalah prinsip yang melampaui batas perasaan manusia biasa. Di saat kebencian mudah memunculkan ketidakadilan, Islam menegaskan bahwa keadilan harus tetap ditegakkan tanpa memandang siapa yang dihadapi.
Menurut Imam al-Ṭabari dalam Jāmi‘ al-Bayān, ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa di mana sebagian sahabat Rasulullah SAW cenderung berlaku tidak adil terhadap kaum musyrik karena permusuhan lama di masa pra-Islam. Allah kemudian menegur mereka melalui ayat ini agar tetap objektif dan adil.
Ibn Kathir menafsirkan bahwa perintah ini berlaku umum bagi seluruh manusia. Beliau menulis, “Keadilan adalah kewajiban terhadap kawan maupun lawan, terhadap yang seagama maupun berbeda agama.” Pandangan ini menunjukkan universalitas nilai keadilan dalam Islam.
Sayyid Quthb dalam Fi Ẓilāl al-Qur’ān menegaskan bahwa keadilan dalam ayat ini merupakan manifestasi dari ketakwaan sejati. Menurutnya, “Adil adalah ujian terbesar iman karena hanya orang yang memiliki hati bersih yang mampu bersikap adil kepada musuhnya.” Keadilan yang dimaksud bukan sekadar formalitas hukum, tetapi kejujuran hati dan integritas moral dalam bertindak.
Keadilan dan Relasi Sosial
Ayat ini memiliki relevansi mendalam dalam kehidupan sosial modern. Ketika konflik, perselisihan, atau perbedaan pandangan sering menimbulkan kebencian dan diskriminasi, pesan Al-Qur’an justru mengingatkan pentingnya keadilan universal. Dalam konteks hubungan antarumat beragama, ayat ini mendorong umat Islam untuk menghormati hak-hak pihak lain tanpa prasangka. Keadilan menjadi dasar untuk membangun masyarakat plural yang damai. Prinsip ini juga relevan dalam penegakan hukum, politik, dan ekonomi: semua bentuk keputusan harus berdasarkan keadilan, bukan keberpihakan.
Sebagaimana ditegaskan oleh Fazlur Rahman (1982), keadilan dalam Islam merupakan “moral imperatif” yang menuntut manusia menegakkan kebenaran bahkan jika hal itu bertentangan dengan kepentingannya sendiri. Keadilan yang sejati, menurutnya, adalah bentuk aktualisasi dari iman yang hidup dan bertanggung jawab.
Dimensi Spiritualitas dan Etika
Perintah berbuat adil terhadap musuh juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Ayat ini menegaskan bahwa keadilan bukan hanya urusan sosial, melainkan ibadah yang berpahala dan bernilai takwa. Allah SWT menegaskan bahwa “adil itu lebih dekat kepada takwa.” Dengan demikian, keadilan menjadi jalan menuju kesucian jiwa. Orang yang mampu menahan amarah, tidak dikuasai kebencian, dan tetap menegakkan kebenaran di tengah konflik, sesungguhnya telah mencapai derajat spiritual yang tinggi.
Nabi Muhammad SAW mencontohkan prinsip ini dalam banyak peristiwa, misalnya saat menaklukkan Makkah (Fathu Makkah). Beliau memberikan amnesti kepada para musuh yang dahulu memusuhinya, dengan sabdanya, “Pergilah kalian, karena kalian bebas.” Sikap ini adalah bentuk tertinggi dari keadilan dan kasih sayang yang lahir dari hati yang bertakwa.
Relevansi di Era Modern
Dalam konteks global yang sarat konflik ideologis dan politik, pesan Al-Qur’an tentang keadilan menjadi sangat relevan. Banyak bangsa dan komunitas jatuh dalam kebencian etnis, agama, dan politik yang melahirkan diskriminasi dan kekerasan. Ayat ini mengingatkan bahwa keadilan tidak boleh dikorbankan atas nama kebencian. Bahkan dalam ranah digital dan media sosial, prinsip ini penting diterapkan. Islam menuntut umatnya agar adil dalam menilai, menulis, dan menyebarkan informasi, termasuk terhadap pihak yang berbeda pandangan. Seperti firman Allah SWT dalam QS. An-Nisā’ [4]: 135, “Jadilah kamu orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri.” Keadilan yang diajarkan Islam bersifat menyeluruh: adil dalam ucapan, tindakan, keputusan, dan bahkan dalam penilaian terhadap lawan. Prinsip keadilan dalam Islam bukan sekadar etika sosial, tetapi juga fondasi spiritual dan moral yang mendasari seluruh aspek kehidupan. QS. Al-Māidah [5]: 8 mengajarkan bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa terpengaruh kebencian atau kepentingan pribadi. Berbuat adil kepada musuh merupakan bukti kedewasaan spiritual dan puncak akhlak seorang mukmin.
Nilai ini menjadi cermin universalitas Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin — yang mengajarkan kedamaian, toleransi, dan keseimbangan sosial. Dengan meneladani prinsip ini, masyarakat modern dapat membangun dunia yang lebih beradab, damai, dan penuh kasih.


