Kata, Pikiran, dan Kebenaran

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
45
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Kata, Pikiran, dan Kebenaran

Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menyaksikan fenomena yang menarik untuk direnungkan. Ada orang yang begitu fasih berbicara, retorikanya memikat, kata-katanya mengalir laksana air, seolah penuh dengan pengetahuan dan kebijaksanaan. Namun ketika isi perkataannya digali lebih dalam, ternyata kosong dari substansi, indah di permukaan tetapi rapuh di kedalaman. 

Sebaliknya, ada pula orang-orang yang pikirannya tajam, penuh ide cemerlang, tetapi sulit menyampaikannya dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, sehingga gagasan yang berharga itu hanya bergema dalam dirinya sendiri tanpa pernah menjelma menjadi pencerahan bagi orang lain.

Retorika Indah vs Kedalaman Pikiran

Dua kemampuan ini sering kali dianggap sama, padahal sejatinya berbeda. Pandai bicara dan pandai berpikir adalah dua keterampilan yang berdiri sendiri, meskipun seharusnya saling melengkapi. 

Bicara adalah seni menyampaikan, sedangkan berpikir adalah seni menemukan. Jika seseorang pandai berbicara tanpa kedalaman berpikir, hasilnya hanyalah omong kosong yang meninabobokan. Sebaliknya, bila seseorang tajam dalam berpikir tetapi gagal mengkomunikasikan gagasannya, maka pemikiran itu akan terpendam dan tidak memberi manfaat bagi masyarakat luas.

Kata-kata dapat dipandang sebagai bungkus, sedangkan pikiran adalah isinya. Bungkus yang indah tanpa isi hanyalah tipuan belaka, sementara isi yang berharga tetapi tidak dikemas dengan baik sering tidak mendapat perhatian. 

Post-Truth dan Bahaya Retorika Kosong

Fenomena ini menjadi semakin kentara di zaman sekarang, ketika dunia memasuki apa yang disebut dengan era post-truth, suatu keadaan ketika emosi dan opini pribadi lebih menentukan dalam membentuk opini publik daripada data dan fakta. Dalam lanskap sosial semacam ini, kata-kata yang terdengar meyakinkan lebih cepat dipercaya ketimbang kebenaran yang sesungguhnya.

Gejala post-truth tampak jelas dalam kehidupan politik, media, bahkan dalam percakapan sehari-hari di dunia maya. Politikus sering mengumbar janji manis, narasi penuh semangat, seolah-olah menjanjikan surga dunia bagi rakyatnya, padahal realitas jauh panggang dari api. 

Masyarakat yang terbawa emosi lebih mudah percaya pada retorika daripada pada rekam jejak yang nyata. Di media sosial, hoaks dan kabar bohong lebih cepat menyebar ketimbang berita yang sahih. Alasannya sederhana: hoaks biasanya dikemas dengan bahasa emosional yang menyentuh rasa takut atau harapan masyarakat, sementara kebenaran sering datang dalam wajah yang kering, berupa data dan angka yang kurang menggugah.

Dalam situasi semacam ini, yang tampak menonjol bukanlah kedalaman berpikir, melainkan kepandaian berbicara. Kata-kata yang indah tetapi kosong mendapat panggung luas, sedangkan pikiran yang jernih justru tenggelam dalam kebisingan informasi. Akibatnya, masyarakat lebih mudah terseret oleh arus wacana yang viral ketimbang merenungkan substansi yang valid. 

Di sinilah bahaya ketimpangan itu terasa. Bila bicara tidak ditopang oleh pikiran yang jernih, yang lahir hanyalah budaya omong kosong. Kata-kata dijadikan komoditas untuk meraih perhatian dan keuntungan, bukan sarana untuk menghadirkan kebenaran. Tetapi bila pikiran tidak disampaikan dengan baik, kebenaran kehilangan daya menjangkau, dan masyarakat pun kehilangan peluang untuk tercerahkan.

Menghubungkan Pikiran dan Kata Menuju Kebenaran

Maka, mengasah dua keterampilan sekaligus, berpikir kritis dan berbicara efektif, menjadi tuntutan zaman. Berpikir kritis akan melatih seseorang memilah fakta dari opini, menguji data, dan menimbang argumen sehingga tidak mudah diperdaya oleh retorika kosong. 

Akan tetapi, berpikir kritis tanpa kemampuan berbicara hanya akan melahirkan kesunyian. Kebenaran harus bisa dikomunikasikan dengan jelas, sederhana, dan menyentuh hati, agar mampu bersaing dengan kebohongan yang dikemas dengan begitu memesona.

Fenomena ini nyata dalam kehidupan kita. Banyak tokoh populer di media sosial bukan karena kedalaman gagasannya, melainkan karena kefasihannya merangkai kata. Mereka mampu memengaruhi jutaan pengikut dengan kalimat-kalimat singkat yang viral, meskipun isinya kadang dangkal dan menyesatkan. Sebaliknya, banyak pemikir, akademisi, dan cendekiawan yang sesungguhnya memiliki solusi berharga untuk problem bangsa, namun suaranya jarang terdengar karena disampaikan dengan bahasa yang kaku dan sulit dipahami.

Jalan tengah dari semua ini ialah belajar untuk bicara dengan pikiran, dan berpikir dengan bicara. Setiap ucapan semestinya lahir dari kedalaman berpikir yang jernih, dan setiap pikiran perlu diberi jalan melalui bahasa yang baik agar dapat sampai kepada orang lain. 

Dalam Islam, teladan utama Rasulullah SAW memperlihatkan hal ini dengan sempurna. Beliau adalah pribadi yang penuh hikmah, mendalam dalam berpikir, sekaligus fasih dalam berbicara. Sabda beliau singkat namun sarat makna, sederhana tetapi menggugah. Perpaduan antara pikiran dan ucapan itulah yang menjadikan risalah beliau diterima lintas zaman dan generasi.

Era post-truth adalah ujian bagi manusia untuk tidak tergoda oleh kata-kata yang indah tetapi kosong, sekaligus tantangan untuk tidak membiarkan kebenaran terkubur hanya karena gagal diungkapkan. Ide besar yang tidak tersampaikan sama berbahayanya dengan kata-kata indah tanpa isi. Yang satu membuat dunia kehilangan cahaya pengetahuan, yang lain menebarkan ilusi kebenaran. 

Maka, yang diperlukan adalah keseimbangan: berpikir jernih sekaligus berbicara bijak, agar kata-kata bukan sekadar bunyi, melainkan jembatan yang menghubungkan pikiran dengan perubahan nyata, serta cahaya yang menuntun manusia menuju kebenaran.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Seperti biasa memasuki fase pesta demokrasi, akan banyak hal yang tidak terduga terjadi. Pro dan kon....

Suara Muhammadiyah

27 October 2023

Wawasan

Meluruskan Niat dan Tujuan Beribadah Haji Oleh: Mohammad Fakhrudin Setelah menunggu sepuluh tahun ....

Suara Muhammadiyah

7 May 2024

Wawasan

Persentase Muslim Shalat dan Perkembangan Islam di Indonesia: Plus atau Minus? Oleh: Ahwan Fanani, ....

Suara Muhammadiyah

26 December 2024

Wawasan

Pentingnya Ruang Terbuka Hijau: Ikhtiar Menjaga Keseimbangan Alam di Tengah Kehidupan Modern Oleh: ....

Suara Muhammadiyah

16 May 2025

Wawasan

Kerja Sehat, Kerja Selamat di Lab Radiologi Unisa Yogyakarta  Oleh: Fisnandya Meita Astari, Do....

Suara Muhammadiyah

5 March 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah