Kebangkitan yang Nyata, Bukan Seremonial
Oleh: Agus setiyono, Marbot Masjid Taqwa3 Kota Jambi
Tanggal 20 Mei kembali hadir dalam putaran waktu bangsa ini. Hari Kebangkitan Nasional kembali dikenang, dirayakan, dan didoakan. Namun pertanyaan yang tak bisa dielakkan adalah: sudahkah kita benar-benar bangkit, atau masih terlelap dalam tidur panjang ketertinggalan, kebisingan, dan kepalsuan pembangunan?
Hari Kebangkitan Nasional bukan sekadar ritual tahunan, bukan pula sekadar mengenang berdirinya Boedi Oetomo sebagai organisasi modern pertama kaum bumiputera. Ia adalah simbol kesadaran, bahwa penjajahan harus dilawan bukan hanya dengan senjata, tapi dengan ilmu, organisasi, dan keberanian berpikir mandiri. Sayangnya, dalam geliat zaman kini, kebangkitan sering dikhianati oleh kepalsuan simbolik dan kegaduhan yang dibingkai sebagai prestasi.
Bangsa ini sejatinya memiliki segala potensi untuk bangkit: jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, bonus demografi, kekayaan alam, dan warisan budaya yang agung. Namun apakah semua itu telah diolah menjadi kekuatan? Ataukah masih menjadi daftar panjang potensi yang tak kunjung terealisasi?
Kebisingan yang Disangka Kemajuan
Kita hidup di zaman di mana narasi kebangkitan begitu mudah disusun oleh para pemilik kekuasaan wacana. Pembangunan dipuja, meski ketimpangan membengkak. Statistik dipamerkan, meski realitas rakyat kecil jauh dari sejahtera. Kita mengucap “bangkit”, tapi di sudut desa masih banyak anak yang berjalan kaki belasan kilometer demi pendidikan. Kita menulis “maju”, tapi ratusan ribu pemuda mengantri pekerjaan dengan ijazah yang tak menjamin apa-apa.
Apakah ini yang disebut kemajuan? Ataukah hanya kebisingan yang dibungkus propaganda?
Seperti dikatakan Prof. Dr. Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Kebangkitan nasional bukan hanya tentang pembangunan fisik, tapi tentang pembangunan jiwa bangsa. Jangan sampai kita besar secara infrastruktur tapi kerdil dalam integritas dan etika.”
Senada dengan itu, KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU, mengingatkan: “Bangsa ini tidak akan pernah betul-betul bangkit selama akarnya tidak kita rawat. Akar itu adalah akhlak, keadilan sosial, dan kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya.”
Kebangkitan yang Berakar
Kebangkitan nasional tidak akan pernah lahir dari podium atau panggung seremonial semata. Ia hanya mungkin tumbuh jika keadilan menjadi pijakan, ilmu menjadi cahaya, dan akhlak menjadi dasar. Kebangkitan sejati adalah ketika rakyat tidak lagi merasa menjadi penonton dalam pembangunan, tetapi menjadi pelaku yang dihormati.
Islam mengajarkan bahwa umat yang bangkit adalah umat yang membaca (iqra’), berpikir, dan bergerak. Rasulullah SAW memimpin kebangkitan bukan dari istana, tetapi dari rumah-rumah kecil yang penuh tekad dan kejujuran. Maka kita pun harus sadar bahwa kebangkitan tidak akan hadir jika yang kita utamakan hanya ambisi politik, bukan pengabdian; jika yang kita pentingkan hanya kuantitas proyek, bukan kualitas manusia.
Dari Bangsa Penonton ke Bangsa Pemilik
Sungguh menyedihkan jika dalam dunia yang terus berubah ini, kita hanya menjadi bangsa penonton. Bangkit berarti menjadi pemilik masa depan sendiri. Bangkit berarti membebaskan diri dari ketergantungan: pada utang, pada impor, pada mental instan, pada budaya permisif. Bangkit berarti menata ulang orientasi pembangunan dari sekadar pertumbuhan ekonomi menuju peradaban yang berkeadilan.
Di tengah semua tantangan ini, masih banyak pelita harapan: guru-guru yang tetap mengabdi di pelosok, petani yang berinovasi tanpa pamrih, pemuda-pemudi yang merintis perubahan melalui teknologi dan dakwah. Merekalah wujud nyata dari kebangkitan, bukan poster, bukan jargon, bukan baliho.
Seruan untuk Bangkit
Maka, pada momen Hari Kebangkitan Nasional tahun ini, mari kita renungi satu hal: jangan warisi kemerdekaan ini dengan kebodohan dan kemalasan. Bangkitlah dengan iman, ilmu, dan kerja keras. Jangan jadikan kebangkitan hanya sebagai kata-kata yang diperingati, tetapi sebagai tekad yang dihidupi.
Bangkit bukanlah pilihan. Ia adalah keharusan sejarah. Karena jika kita tidak bangkit, maka kita sedang bersiap untuk tenggelam—oleh zaman, oleh ketidakadilan, oleh bangsa-bangsa lain yang terus berlari, sementara kita masih sibuk berswafoto di depan monumen perjuangan.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d: 11).