Keberkahan Muallimin Muhammadiyah

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
681
Istimewa

Istimewa

Keberkahan Muallimin Muhammadiyah

Oleh: Khafid Sirotudin

Seorang kawan aktivis persyarikatan pantura menyempatkan diri mampir ke rumah beberapa waktu lalu dikala Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 berlangsung. SPMB merupakan perubahan nama dari PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) yang telah dipakai sejak 2017. Entah sudah berapa kali proses penerimaan murid baru berganti nama sejak Orde Baru hingga sekarang. Sejak alokasi anggaran pendidikan pada APBN dan APBD belum diatur konstitusi (UUD 1945) hingga ditetapkan minimal 20 persen berdasarkan hasil amandemen UUD 1945.

Kawan saya ini hendak pergi ke Yogyakarta melalui jalur Weleri-Sukorejo-Temanggung-Secang lalu Magelang-Sleman setelah melewati jalan tol Batang-Semarang dan keluar pintu tol Weleri di kilometer 384. Dia mau mendaftarkan ulang putranya yang baru lulus Sekolah Dasar (SD) dan diterima di Madrasah Muallimin Muhammadiyah. Kebetulan putra kedua kami pernah sekolah di Muallimin meski hanya bertahan sampai kenaikan kelas 4 (kelas 11 SMA/MA).

Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta pada awalnya bernama Qismul Arqa (1918), kemudian berganti menjadi Pondok Moehammadijah (1920), Kweekschool Moehammadijah (1924). Pada Kongres (sekarang Muktamar) di Yogyakarta, ditetapkan perubahan nama menjadi Madrasah Muallimin Muallimat Muhammadiyah (1930). Madrasah Muallimin Muallimat menjadi sekolah yang telah berusia seabad lebih dan masih berdiri gagah dan megah hingga sekarang. 

Sistem pembelajaran dan pendidikan Muallimin memadukan kurikulum berbasis Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, dipadukan dengan kurikulum yang ditetapkan pemerintah serta dibekali dengan beragam ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai perkembangan jaman. Semua murid tinggal di asrama ala pondok pesantren modern (boarding school). 

Kami sempat bertukar kabar keluarga, pekerjaan dan perkembangan persyarikatan di daerah. Entah awalnya bagaimana, teman saya bertanya soal pendidikan yang akan dijalani anak “bontot”nya (bungsu) di Muallimin nantinya.

“Menurut antum sekolah di Muallimin apa keistimewaannya?”, tanya kawan saya membuka pertanyaan.

“Sik nyong tak takon disit sedurunge njawab rika (Sebentar, saya mau tanya dulu sebelum menjawab pertanyaan anda)”, jawab saya.

“Tujuanmu nyekolahke anak ning Muallimin ben apal Quran (Tujuanmu menyekolahkan anak ke Muallimin supaya hafal Al-Quran)?”, tanya saya.

“Iya pingin anake nyong apal Qur’an (Iya aku berkeinginan anakku hafal Al-Quran)”, jawabnya.

“Kalau ingin anakmu hafal kitab suci, sekolahkan saja di Ponpes hafidz Al-Quran dekat rumah saya”, jawabku sambil menunjukkan jari mengarah lokasi ponpes hafidz al-Quran dekat rumah kami. Kawan saya tersenyum mendengar komentar yang tidak dia perkirakan.

Pertanyaan kedua:

“Anak antum pengin mahir bahasa Arab dan bahasa Inggris”, tanya saya santai setelah nyeruput teh poci ‘nasgitel’ (panas legi kentel)

“Nyong pengin kaya kuwe sih (Aku berkeinginan seperti itu juga)”, jawabnya.

“Kalau pengin mahir bahasa Arab dan Inggris jangan dimasukkan Muallimin yang tidak memiliki keistimewaan itu. Anak antum disekolahkan saja di Sekolah Islam Internasional yang bayarnya mahal dan semua gurunya menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pelajaran. Atau setelah lulus SMA kuliah di sastra Arab atau prodi bahasa Inggris”, saya terangkan sambil mempersilahkan mencicipi jajan pasar yang ada.

Pertanyaan ketiga:

“Ente khawatir yen anake rika nakal lan kriminal (kamu khawatir jika anak kamu berbuat nakal dan kriminal)?” tanya saya dengan mimik serius.

“Iya sih nyong mandar wedi tenan (Iya saya menjadi takut sekali)” jawabnya lirih.

Menjadi orang tua jaman now, memiliki anak remaja yang masih mau sekolah hingga lulus SLTA (SMA/SMK/MA) “wutuh waluh” (seutuhnya), tanpa pernah terlibat tawuran, miras dan narkoba, pergaulan bebas dan perbuatan kriminal lainnya patut disyukuri. Apalagi pada usia remaja yang belum memiliki mental spiritual yang kuat dan kejiwaan yang masih labil. Sebagai orang tua, kita wajib bersyukur mempunyai anak usia SLTP-SLTA masih memiliki kesadaran menjalankan salat lima waktu dan menunaikan puasa ramadan. Apalagi ditambah mau aktif berorganisasi seperti OSIS/IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah), KIR (Kelompok Ilmiah Remaja), Remaja Masjid, berolah raga (renang, futsal, tenis meja, badminton, lari, dll) serta bersosialisasi melalui wadah komunitas positif lainnya.

Di tengah gempuran informasi yang nir adab, abai etika sosial dan akhlak sosmediyah, tantangan mendidik anak-anak sejak dini (usia KB/TK) hingga remaja menjadi sebuah “jihad fi sabilillah” (berjuang dengan sungguh-sungguh di jalan Tuhan) tersendiri bagi orang tua jaman sekarang. Generasi milenial dan genzi yang sangat melek teknologi digital di tengah keadaan jaman yang makin permisif, materialistik, kapitalistik, neo-liberal, hedonistik. Kesuksesan seseorang hanya diukur dari sekedar tampilan kemewahan material yang terlihat di alam nyata. Integritas dan capaian kinerja diukur dari indikator angka-angka statistik kuantitatif semata. Juga saling berlomba mengejar like, sub-scriber, follower dari netizen pengikut entitas sosmed di dunia maya. 

Saat ini kita hidup di era post-truth, dimana kecerdasan imitasi (AI) didewakan serta informasi hoax, dhaif, ghibah dan fitnah sengaja diproduksi untuk dijadikan komoditi. Akibatnya, informasi salah seringkali diyakini menjadi sebuah kebenaran dan alat pembenaran. Adat istiadat, sopan santun, bahasa daerah, kearifan lokal, budaya adiluhung bangsa dan adab dianggap kuno alias ketinggalan jaman. Saya teringat pernyataan seorang jurnalis televisi nasional dan psikolog, bahwa “tayangan video (audio visual) negatif satu menit (kekerasan, pornografi, porno aksi, bullying, dll) tidak bisa dihapus dengan 1000 kali kultum dan khotbah Jumat”. Karena memori otak manusia memang lebih mudah menerima dan menyimpan informasi yang negatif ketimbang tayangan yang positif.

Semua tindakan yang baik dan buruk membutuhkan pembiasaan dan integrasi sosial budaya. Yaitu laku sosial budaya yang “lumintu” (konsisten dan berkesinambungan). Anak usia remaja membutuhkan pendidikan –bukan sekedar pengajaran– dan contoh keseharian (model) dari orang tua, guru dan pemangku kebijakan untuk saling asah, asih dan asuh. Ketulusan, ikhlas, sabar, bersahaja, suri teladan, ilmu-amaliyah, amal ilmiah, berdaya literasi tinggi dan menjadi “orang tua ideologis” yang baik bagi murid adalah sebuah keniscayaan yang wajib menjadi habit para guru pembelajar kehidupan.

Keberhasilan dan kesuksesan seorang murid tidak bisa dinilai dari sekedar angka rata-rata hasil ujian atau angka Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) serta banyaknya medali/plakat/piagam/sertifikat sebuah sekolah. Apalagi kemudian diklaim dan diviralkan sebagai kesuksesan personal seorang Kepala Sekolah. Nilai IPK seharusnya dimaknai sebagai Indeks Pemikiran, Indeks Penalaran, Indeks Pencerahan dan Indeks Peradaban yang tidak sekedar berisi angka-angka kuantitatif semata (nilai 0 sampai 4). 

Betapa banyak anak SD/SMP/SMA yang dulunya mendapat juara kelas dan kini bernasib melas. Begitu pula betapa banyak anak sekolah yang dahulu “nakal” (bukan jahat/kriminal) sekarang menjadi orang sukses di berbagai bidang kehidupan. Madrasah/Sekolah/Perguruan/Ponpes Muhammadiyah hanyalah wahana untuk mendidik, mengajari dan mendampingi anak-anak usia sekolah menjadi anak saleh. Agar generasi emas bangsa, umat dan persyarikatan tidak menjadi pribadi yang salah.

“Menyekolahkan anak di Muallimin-Muallimat maupun perguruan Muhammadiyah lainnya mesti diniati mencari keberkahan bagi anak dan orang tua”, kata saya kepada kawan dari pantura itu. Pada usia 1 (satu) Abad lebih, saya meyakini Madrasah Muallimin-Muallimat amat sangat kaya pengalaman dengan ribuan suka duka, plus minus dalam menjalankan sistem dan proses pendidikan bagi anak usia remaja. Selama tiga tahun (MTs) atau enam tahun (MTs+MA), setiap murid tidak hanya diajarkan bermacam mata pelajaran di kelas, tetapi diajari juga berbahasa Indonesia, bahasa Arab dan Inggris, serta penugasan lapangan.

Selain itu, murid dibiasakan untuk tertib belajar, tertib beribadah, tertib berorganisasi dan berinteraksi sosial budaya dengan teman sebaya dari 1340 suku bangsa dan 780 bahasa daerah, adat istiadat, jiwa nasionalisme serta ideologi Muhammadiyah, Islam wasathiyah dan rahmatal lil alamin. Tulisan saya ini terilhami isi obrolan di WA Group MPKSDI PP Muhammadiyah terkait adanya usulan beberapa wali murid yang ingin merubah hari libur Jumat pada Madrasah Muallimin Muallimat Muhammadiyah menjadi hari Ahad.

“Kalau toh ananda dapat menghafalkan beberapa juz al-Quran, ratusan hadits dan mahfudzat anggap saja sebagai bonus”, kata saya.

“Gimana, antum masih mau menyekolahkan anak di Muallimin Yogya?” kata saya memungkasi obrolan pagi.

“Insya Allah makin mantap tekad saya mencari keberkahan menyekolahkan anak di Muallimin”, jawabnya sambil berdiri dari kursi.

“Maturnuwun, nyong wis lego kiye (terimakasih, saya sudah lega sekarang)”, ucapnya sambil pamitan menjabat erat tangan kanan saya.

“Sami-sami, ati-ati ning ndalan. Yen kroso arep ngantuk maca shalawat (Sama-sama, hati-hati di jalan, Jika terasa mau mengantuk membaca shalawat nabi”, kata saya sambil mengantar dia ke mobil yang diparkir di halaman musala sebelah barat rumah kami.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Tidak Berhenti Pada Jilbab Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso, Ta....

Suara Muhammadiyah

16 August 2024

Wawasan

Oleh: Drh H Baskoro Tri Caroko LPCRPM PPM Bidang Pemberdayaan Ekonomi Menyimak acara seminar via z....

Suara Muhammadiyah

26 February 2024

Wawasan

Menjaga NKRI Melalui Pendidikan yang Mencerahkan  Oleh: Dr. Amalia Irfani, M.Si, Dosen IAIN Po....

Suara Muhammadiyah

28 November 2024

Wawasan

Menghayati Kebesaran dan Kasih Sayang Allah SWT Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta Di anta....

Suara Muhammadiyah

13 February 2025

Wawasan

The Study Quran: Sebuah Mahakarya Tafsir yang Membuka Dialog antara Tradisi dan Modernitas Oleh: Do....

Suara Muhammadiyah

9 December 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah