Cerpen Papi Sadewa
Sampai pertengahan bulan ini hujan juga tak kunjung turun. Bahkan di pagi hari beberapa kali kabut pekat menyelimuti kampungku. Anak-anak sekolah, pengendara motor dan mobil semua menyalakan lampu, untuk keamanan. Benarkah akan terjadi kemarau panjang, pertanyaanku dalam hati.
Aku jadi ingat kakekku, 60 tahun yang lalu. Jika terang bulan sering mengajak tiduran di sela” rumah depan dan belakang. Kakekku memperkenalkan nama bintang-bintang, ada Panjerino, Lintang Luku, Bimasakti, dll. Di samping itu posisi-posisi bintang tersebut berpengaruh terhadap musim, sudah dekat musim penghujan atau lamanya musim kemarau. Hal tersebut untuk mempersiapkan musim tanam padi atau sebaliknya masih memungkinkan untuk menanam palawija.
“Tit...tit...tit tit tirr,” tiba – tiba terdengar jeritan burung kedasih yang memilukan. Langsung saja aku mengajak masuk kakekku. Aku berlari masuk rumah sementara kakekku mengemasi tikar di halaman tengah.
“Jangan takut, ceritanya besok lagi ya. Sekarang cepat tidur. Anak kecil tidak boleh tidur larut malam,” kata kakek. Aku segera masuk kamar ditemani nenekku, sambil menyelimuti badanku. Tapi mataku tak kunjung terpejam, sekalipun aku diam saja.
Tiba-tiba kakekku duduk dan berdiri meninggalkan kami, dengan membawa baterai dan sabit. Dalam hati aku bertanya kenapa Kakek sering meninggalkan kami di malam hari. Nenek juga tak pernah menjelaskan, kenapa Kakek sering keluar malam dan baru masuk rumah ketika terdengar adzan subuh.
***
Sekitar jam 09.00 pagi aku di ajak Kakek ke lading samping rumah. Menyelusup-menyelusup di bawah pohon singkong. Kakek saya terus menggelar tikar yang masih tergulung di situ.
“Semalam kakek di sini, Zul,” kata kakek.
“Tidur sini Kek?” sahutku dengan polos.
“Tidak tidur, Kakek berjaga-jaga!”
“Kenapa, Kek?”
“Kamu kan juga mendengar ada suara burung semalam.”
“Lalu kenapa Kakek berjaga di bawah pohon singkong?”
“Burung Kedasih itu kalau berbunyi malam–malam itu sebagai firasat”, kata Kakek meyakinkan.”
“Firasat apa Kek?”
“Akan terjadi larang pangan dan keadaan yang kacau!”
“Maksudnya gimana Kek?” tanyaku mengejar Kakek menarik nafas panjang dan tidak menjawab pertanyaanku, seperti ada sesuatu yang dirahasiakan. Malah mengajak rebahan di tikar, di bawah pohon singkong.
“Tit... Tit... Tit... Tit... Tirr!”
“Tuh burungnya bernyanyi lagi kek, pertanda apa kalau berkicau pagi hari. Saya tidak takut mendengarnya,” aku menunjukkan keberanian.
“Kalau bernyanyi pagi dia itu kontrol pada petani dan kegiatan warga,” jawab Kakek.
“Termasuk aku kek?”
“Iya. Kamu berangkat sekolah tidak.
“Aku kan masih kecil,” kataku.
Kedasih itu kalau berkicau seperti menjerit, menyayat hati. Dan pasti memilih di ranting yang paling tinggi. Sehingga suaranya bisa terdengar dari kejauhan.
“Saya ingin memelihara Kek, agar aku tidak jadi penakut,” kataku.
“Bagus!” Kakek memberi semangat.
“Besok kita cari sarangnya Kek.”
“Sulit sekali,” jawab Kakek sambil mengerutkan dahi.
“Karena di pohon tinggi Kek.”
“Bukan! Dia itu kalau bertelur pakai strategi jahat!” jawab kakek semakin menambah penasaran.
“Strategi itu apa kek?”
“Kedasih itu kalau bertelur jahat sekali, telurnya dititipkan kesarang burung lain. Dan telur burung yang dititipi dibuang sehingga yang mengerami sampai menetas ya burung lain itu. Induk burung itu baru sadar kalau anaknya itu mulai besar. Kok beda dengan dirinya. Tapi karena terlanjur sayang anak burung itu tetap dirawat sampai besar. Induknya semakin kaget dan bingung ketika sudah mulai berkicau, kok beda dengan suaranya seperti kedasih,” penjelasan kakekku.
“Tit... Tit... Tit... Tit... Tirr,” Kedasih memanggil dengan lantang.
Anak- anak burung yang dititipkan ke sarang-sarang burung lain semua mendekat kepada induk yang sebenarnya. Begitulah perjuangan kedasih meneruskan kehidupannya!
“Kamu tahu maksudnya Zul?” Simbah bertanya.
“Bingung Kek...”
“Maka Sekolahlah yang tinggi suatu saat kamu akan tahu maksudnya.”
***
Kemiskinan dan kebodohan ternyata saling terkait bahkan mungkin merupakan hukum kausalitas. Disaat saya kecil, saat bersama Kakek hal tersebut tidak saya rasakan. Semua berjalan biasa saja baik-baik saja. Orang–orang di kampung makanannya nasi jagung, umbi-umbian yang direbus atau dibakar.
Tetapi setelah saya dewasa hal tersebut merupakan potret yang memprihatinkan. Saya tidak bisa bertanya pada Kakek Nenekku, karena beliau telah dipanggil Tuhan.
Saya membuka buku–buku sejarah ternyata kondisi saat itu memang disengaja agar masyarakat miskin gampang dipengaruhi, untuk tujuan tertentu.
Nah, apa bedanya dengan zaman sekarang. Sejak minyak goreng naik, BBM naik, Pajak naik, dll, sungguh pahit kehidupan ini. Sekalipun demikian ada sebagian masyarakat justru merasakan kegembiraan, karena mereka mendapat BLT, sembako dan bantuan-bantuan lain dari Pemerintah. Mungkinkah mereka akan berpikir lain di waktu yang akan datang, setelah ada perubahan dan pembanding?
***
Suara Kedasih di malam hari saat ini terdengar lagi. Orang-orang yang seusia denganku pasti tau apa maknanya.
“Begini Bapak-Bapak dan Mas-Mas semua. Saya punya kiat agar Kedasih tidak liar dan bisa jinak,” kata Mbah Mangun yang memberi penyuluhan di Balai Desa. Sekalipun burung Kedasih menjadi seperti hantu di malam hari, tapi kalau diperlakukan dengan kejam aku tidak tega juga melihatnya.
“Bagaimana Kedasih tidak liar dan jinak,” kata Mbah Mangun sambil mencabuti seluruh bulu burung itu, mengangkat sayapnya sebelah berkali-kali, dan terakhir kedua jarinya memiting leher kedasih sampai lemas dan tak berdaya. Orang-orang melongo melihatnya.
“Lihatlah sekarang, Jinak kan?” kemudian Mbah Mangun menaruh makanan di tangannya. Kedasih itu mendekati tangan tersebut sambil makan dengan lahapnya.
“Ya, beginilah cara menjinakkan kedasih.”
Mbah Mangun menutup kata-katanya, sambil tersenyum lega.•
Wates, September 2023