JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Berpangkal pada tahun 1919, langit di Yogyakarta sekonyong-konyong gelap gulita. Biang keroknya karena Gunung Kelud di Jawa Timur meletus, menewaskan 5.160 orang. Di sinilah kepekaan Kiai Sudjak hidup. “Minta izin kepada Kiai Dahlan ke Jawa Timur untuk menolong korban,” kata Budi Setiawan.
Tapi, tidak lama Kiai Sudjak kembali lagi ke Yogyakarta. “Kiai, menolong sebanyak orang tidak bisa hanya perorangan,” kata Sudjak, ditirukan Budi. Inilah kemudian, fajar PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) itu muncul bulan Februari tahun 1923. Kemunculannya sebagai respons dari kepedulian terhadap kemanusiaan.
“Siapa yang ditolong? Semuanya yang membutuhkan pertolongan. Tidak ditanya di Muhammadiyah atau bukan, agamanya apa. Itulah gerakan solidaritas yang tumbuh secara oleh Kiai Sudjak dan kawan-kawan,” terangnya saat Pengajian Pimpinan Pusat Muhammadiyah Aula Kantor Gedung Dakwah Muhammadiyah Menteng Raya, Jakarta Pusat, Jumat (19/12).
Dari waktu ke waktu, kata Ketua Lembaga Resiliensi Bencana PP Muhammadiyah itu, kisah di atas menjadi sangat menarik. “Gerakan kemanusiaan bisa menjadi kegiatan berkelanjutan,” tambahnya. Yang paling monumental dari konsep PKO itu merupakan pelembagaan semangat membantu sesama menuju masyarakat bermartabat.
“Semangat membantu “mereka yang membutuhkan” sebagai pengamalan Al Maun,” sambung Budi, dengan menekankan aktivitas Muhammadiyah dalam kebencanaan sebagai bagian dari Al Maun. “Ini menjadi sesuatu yang menarik. Jadi secara substansi, dulu itu memang kemudian semangatnya menolong orang lain,” tegas Budi.
Semangat yang dihadirkan itu akan berjalan efektif manakala tersistematisasi secara terlembaga. “Lebih efektif kalau dilakukan secara bersama-sama dan tertata,” tambahnya. Begitulah yang terjadi sampai sekarang, gerakan ini berjalan dengan baik dan menarik.
“Sebuah kenyataan,” ucapnya. Dan, tidak hanya berfokus pada kebencanaan, manifestasi lainnya dikerucutkan Budi mencakup menolong rumah anak yatim, menolong anak miskin, dan mendirikan rumah sakit.
“Ini menjadi penting,” katanya, dengan menggarisbawahi panti asuhan yang didirikan tahun 1921, sistem pengasuhannya setiap pengurus atau anggota Muhammadiyah diwajibkan mengasuh dan mendidik beberapa anak asuh di dalam rumah mereka masing-masing.
“Ini menunjukkan pelembagaan yang kemudian bisa berjalan dengan baik. Sehingga sampai sekarang tentu dikembangkan lebih tertata lagi,” sebutnya. (Cris)

