Kesunyian Semesta dan Isyarat Al-Qur'an: Benarkah Kita Sendirian di Alam Semesta?
Penulis: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Pernahkah Anda menatap langit malam dan bertanya-tanya: apakah kita benar-benar sendirian di alam semesta yang maha luas ini? Pertanyaan mengenai eksistensi makhluk cerdas di luar bumi selalu menjadi teka-teki yang memikat untuk diulas. Jika menilik dari kacamata sains, kemungkinannya tetap terbuka lebar. Hal ini dibuktikan dengan dedikasi para ilmuwan melalui proyek raksasa seperti SETI (Search for Extraterrestrial Intelligence) yang dipelopori Carl Sagan. Selama berpuluh-puluh tahun, mereka telah 'menebar jaring' dengan mengirimkan sinyal ke ruang angkasa, menanti jawaban dari kecerdasan lain. Meski hingga detik ini kita belum menerima balasan satu pun dan jejak karbon di planet tetangga masih menjadi misteri, pencarian ini tidak pernah surut. Secara fisik, penghuni lain di luar sana mungkin belum menampakkan diri, namun secara teoretis, peluang mereka untuk ada tetaplah nyata.
Sudut Pandang Islam
Apabila kita mengalihkan pandangan dari teleskop sains menuju cakrawala keimanan Islam, kita akan menemukan sebuah realitas yang jauh lebih luas dan menakjubkan. Dalam Islam, keyakinan terhadap eksistensi makhluk cerdas di luar manusia bukanlah hal asing. Kita mengimani keberadaan malaikat—entitas yang dianugerahi kecerdasan luar biasa namun tidak terikat oleh hukum ruang dan waktu duniawi. Meskipun mereka tidak kasat mata dan berada di luar jangkauan indrawi manusia, malaikat adalah bagian nyata dari kehidupan yang eksis dalam dimensi spiritual. Di atas segalanya, kita meyakini keberadaan Sang Pencipta, Allah SWT, yang melampaui segala bentuk materi. Tuhan bukanlah makhluk fisik yang bisa kita raba atau lihat dengan mata kepala; Dia adalah sumber dari segala eksistensi yang melampaui keterbatasan dimensi fisik ini.
Spektrum kehidupan dalam Islam pun menjadi kian kompleks dengan adanya konsep tentang golongan Jin. Menariknya, pemikiran ini memiliki kemiripan dengan keyakinan dalam tradisi Kristiani mengenai adanya roh-roh, namun dengan pemahaman yang lebih spesifik. Dalam perspektif Muslim, Jin adalah komunitas makhluk yang memiliki kehendak bebas layaknya manusia; ada di antara mereka yang saleh (baik) dan ada pula yang ingkar (buruk), termasuk entitas jahat yang kita kenal sebagai Setan atau Iblis. Keanekaragaman makhluk ini menunjukkan bahwa alam semesta versi Islam bukanlah sebuah panggung kosong, melainkan sebuah ekosistem yang penuh dengan berbagai jenis kehidupan yang berbeda karakter dan asal-usulnya.
Berangkat dari fondasi keimanan tersebut, konsep mengenai adanya makhluk cerdas lain di sudut semesta yang jauh menjadi sangat masuk akal bagi seorang Muslim. Kita tidak membatasi kekuasaan Allah hanya pada penciptaan di Bumi. Sangat mungkin terdapat entitas cerdas lainnya—baik yang bersifat spiritual maupun organik—yang mendiami bagian lain dari ciptaan-Nya. Mengenai bagaimana rupa mereka, apakah mereka memiliki peradaban yang serupa dengan kita, atau seberapa jauh perbedaan biologis mereka, itu semua tetap menjadi rahasia besar yang melampaui daya imajinasi manusia. Namun, satu hal yang pasti: keberadaan mereka hanya akan semakin menambah kekaguman kita terhadap keagungan Sang Pencipta yang melukiskan kehidupan dalam berbagai bentuk di seluruh penjuru alam semesta.
Isyarat di Dalam Al-Qur'an
Lantas, apa sebenarnya yang menghalangi sebagian orang untuk meyakini eksistensi makhluk cerdas di luar sana? Jika kita menilik tradisi keagamaan lain, hambatan utamanya sering kali berakar pada doktrin teologis tertentu, seperti konsep penebusan dosa yang sangat terfokus pada kemanusiaan di Bumi. Dalam pandangan tersebut, Bumi seolah-olah menjadi panggung tunggal dan pusat dari seluruh drama keselamatan semesta. Namun, Islam menyajikan perspektif yang berbeda secara fundamental. Di dalam Islam, tidak ada konsep penebusan dosa yang tersentralisasi hanya pada satu planet atau satu spesies.
Hubungan antara hamba dan Sang Pencipta bersifat langsung dan personal; jika kita terjatuh dalam dosa, kita cukup bersimpuh dan memohon ampunan secara mandiri kepada Allah, dan Dia—dengan kasih sayang-Nya yang tak terbatas—akan mengampuni. Prinsip ini memberikan ruang yang sangat luas bagi kemungkinan adanya kehidupan lain. Kita dapat memiliki hubungan spiritual yang intim dengan Tuhan di Bumi ini, tanpa menutup kemungkinan bahwa di galaksi yang jauh sana, makhluk cerdas lainnya juga tengah menjalin hubungan yang sama harmonisnya dengan Sang Pencipta. Keberadaan mereka tidak akan mengurangi sedikit pun nilai hubungan kita dengan Tuhan, demikian pula sebaliknya.
Diskusi ini juga menjawab sebuah keresahan eksistensial yang sering muncul: Di tengah jagat raya yang begitu masif, di mana Bumi hanyalah setitik debu di lautan bintang, mengapa Tuhan mau mempedulikan kita? Mengapa Sang Maha Kuasa menaruh perhatian pada makhluk sekecil manusia? Dalam perspektif Islam, jawabannya sangat menenangkan sekaligus komprehensif: Tuhan peduli pada kita bukan karena kita adalah satu-satunya ciptaan-Nya, melainkan karena kasih sayang Tuhan merangkul setiap inci dari ciptaan-Nya tanpa kecuali. Kepedulian Tuhan tidak bersifat eksklusif; Dia adalah Tuhan bagi manusia, Tuhan bagi malaikat, Tuhan bagi jin, dan Tuhan bagi setiap nyawa yang mungkin berdenyut di planet lain yang belum kita temukan.
Kita dapat menyatakan dengan penuh keyakinan bahwa kemungkinan adanya makhluk cerdas lain di luar sana adalah sesuatu yang sangat selaras dengan nalar iman. Meskipun keberadaan mereka mungkin masih tersembunyi dari jangkauan teknologi kita, mereka tidak pernah tersembunyi dari pandangan Allah. Mereka adalah hamba-hamba-Nya, bagian dari barisan panjang makhluk yang tunduk pada hukum-Nya. Islam menawarkan sebuah visi yang sangat luas dan visioner—sebuah cara pandang yang menjembatani wahyu suci Al-Qur'an dengan rasa ingin tahu ilmiah kita. Kita tidak sendirian dalam menyembah-Nya, dan dalam keluasan ciptaan-Nya, kita menemukan bukti nyata atas keagungan Allah yang tiada tara.
Menariknya, visi spiritual ini selaras dengan temuan astronomi modern. Para ilmuwan memperkirakan bahwa matahari kita hanyalah satu titik kecil di antara seratus miliar bintang di galaksi Bima Sakti, sementara ada ratusan miliar galaksi lain di luar sana. Dengan triliunan bintang yang memiliki karakteristik serupa matahari, kemungkinan adanya planet-planet yang memiliki ekosistem layak huni seperti Bumi bukanlah sekadar fantasi, melainkan probabilitas statistik yang sangat nyata.
Al-Qur’an pun melangkah lebih jauh dalam menggambarkan penghuni langit. Dalam Surah An-Nahl ayat 49, disebutkan bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, mulai dari 'Dabbah' (makhluk bergerak/melata) hingga para malaikat, semuanya bersujud menyembah Allah. Istilah Dabbah secara linguistik merujuk pada makhluk hidup yang berpijak atau bergerak di atas permukaan tanah. Penempatan kata ini di dalam konteks 'langit' memicu sebuah pemikiran yang mendalam: mungkinkah ada planet lain di luar sana yang menjadi tempat berpijak bagi makhluk-makhluk yang juga tunduk kepada Sang Pencipta? Jika makhluk-makhluk melata itu ada di sana, maka sangat masuk akal jika entitas cerdas yang menyerupai manusia juga mendiami tempat-tempat tersebut.
Lebih lanjut, Surah Al-Muddatstsir ayat 31 menegaskan, "Dan tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri." Istilah 'bala tentara' di sini merujuk pada seluruh hamba dan makhluk yang tunduk di bawah perintah-Nya. Ayat ini seolah meruntuhkan dinding keterbatasan pikiran kita; kita tidak boleh membatasi jumlah hamba Tuhan hanya pada apa yang terlihat di Bumi. Sangat mungkin bahwa di galaksi-galaksi yang jauh, di planet-planet yang belum terjangkau teleskop tercanggih sekalipun, terdapat jutaan hamba Allah lainnya yang menjalankan tugas mereka masing-masing. Alam semesta adalah sebuah kerajaan yang maha luas, dan hamba-hamba-Nya tersebar di seluruh penjuru penciptaan, melampaui batas cakrawala manusia.
Pandangan yang Komprehensif
Lantas, apa sebenarnya yang menghalangi sebagian orang untuk meyakini eksistensi makhluk cerdas di luar sana? Jika kita menilik tradisi keagamaan lain, hambatan utamanya sering kali berakar pada doktrin teologis tertentu, seperti konsep penebusan dosa yang sangat terfokus pada kemanusiaan di Bumi. Dalam pandangan tersebut, Bumi seolah-olah menjadi panggung tunggal dan pusat dari seluruh drama keselamatan semesta. Namun, Islam menyajikan perspektif yang berbeda secara fundamental. Di dalam Islam, tidak ada konsep penebusan dosa yang tersentralisasi hanya pada satu planet atau satu spesies.
Hubungan antara hamba dan Sang Pencipta bersifat langsung dan personal; jika kita terjatuh dalam dosa, kita cukup bersimpuh dan memohon ampunan secara mandiri kepada Allah, dan Dia—dengan kasih sayang-Nya yang tak terbatas—akan mengampuni. Prinsip ini memberikan ruang yang sangat luas bagi kemungkinan adanya kehidupan lain. Kita dapat memiliki hubungan spiritual yang intim dengan Tuhan di Bumi ini, tanpa menutup kemungkinan bahwa di galaksi yang jauh sana, makhluk cerdas lainnya juga tengah menjalin hubungan yang sama harmonisnya dengan Sang Pencipta. Keberadaan mereka tidak akan mengurangi sedikit pun nilai hubungan kita dengan Tuhan, demikian pula sebaliknya.
Diskusi ini juga menjawab sebuah keresahan eksistensial yang sering muncul: Di tengah jagat raya yang begitu masif, di mana Bumi hanyalah setitik debu di lautan bintang, mengapa Tuhan mau mempedulikan kita? Mengapa Sang Maha Kuasa menaruh perhatian pada makhluk sekecil manusia? Dalam perspektif Islam, jawabannya sangat menenangkan sekaligus komprehensif: Tuhan peduli pada kita bukan karena kita adalah satu-satunya ciptaan-Nya, melainkan karena kasih sayang Tuhan merangkul setiap inci dari ciptaan-Nya tanpa kecuali. Kepedulian Tuhan tidak bersifat eksklusif; Dia adalah Tuhan bagi manusia, Tuhan bagi malaikat, Tuhan bagi jin, dan Tuhan bagi setiap nyawa yang mungkin berdenyut di planet lain yang belum kita temukan.
Sebagai kesimpulan, kita dapat menyatakan dengan penuh keyakinan bahwa kemungkinan adanya makhluk cerdas lain di luar sana adalah sesuatu yang sangat selaras dengan nalar iman. Meskipun keberadaan mereka mungkin masih tersembunyi dari jangkauan teknologi kita, mereka tidak pernah tersembunyi dari pandangan Allah. Mereka adalah hamba-hamba-Nya, bagian dari barisan panjang makhluk yang tunduk pada hukum-Nya. Islam menawarkan sebuah visi yang sangat luas dan visioner—sebuah cara pandang yang menjembatani wahyu suci Al-Qur'an dengan rasa ingin tahu ilmiah kita. Kita tidak sendirian dalam menyembah-Nya, dan dalam keluasan ciptaan-Nya, kita menemukan bukti nyata atas keagungan Allah yang tiada tara.

