Ketika Amal dan Dalil Bertukar Tempat
Oleh: Rusydi Umar, Dosen S3 Informatika UAD, Anggota MPI PP Muhammadiyah (2015-2022)
“Amal dulu, dalil belakangan.”
“Dalil dulu, amal kemudian.”
Ungkapan ini sering muncul dalam diskusi ringan warga Muhammadiyah ketika membicarakan perbedaan tradisi keagamaan dengan Nahdlatul Ulama (NU). Di balik kalimat pendek ini, tersembunyi perbedaan mendasar dalam cara mendidik umat, membina fikih, dan menanamkan nilai ibadah.
Di kalangan NU, pengajaran fikih berjalan secara bertahap, berjenjang, dan sangat terstruktur. Bagi santri pemula, pengajaran dimulai dengan kitab Safinatun Najah. Kitab tipis ini berisi hukum-hukum pokok seperti wudhu, tayammum, shalat, puasa, dan haji. Bahasanya sangat ringkas, tidak memuat dalil-dalil panjang, karena memang ditujukan untuk memperkenalkan ibadah praktis terlebih dahulu.
Setelah menguasai Safinatun Najah, santri naik ke Sullam at-Taufîq dan Taqrib (juga dikenal sebagai Matan Abu Syuja’), yang mulai memuat hukum fikih lebih detail. Lalu berlanjut ke Fathul Mu’in, kitab yang lebih tebal dan mendalam, membahas cabang-cabang fikih tambahan. Kitab-kitab selanjutnya seperti I’anatut Thalibin dan Tuhfah digunakan untuk jenjang lebih tinggi, hingga para santri mencapai kitab Alfiyah untuk mendalami ilmu nahwu (tata bahasa Arab). Metode berjenjang ini menciptakan tradisi ngaji bandungan—mengaji kitab bersama-sama, guru membaca teks Arab, murid mendengarkan dan mencatat makna kata per kata (maknani). Perlahan, para santri akan menemukan dalil-dalil sumber jika sudah sampai di kitab tingkat lanjut. Namun, di tahap awal, tujuan utamanya adalah membiasakan amal: bisa wudhu, bisa shalat, bisa puasa dengan benar.
Filosofi NU adalah: jangan bebani masyarakat awam dengan dalil yang rumit di awal, tetapi biasakan mereka beribadah secara benar terlebih dahulu. Setelah terbiasa, barulah sedikit demi sedikit dijelaskan sumber dalilnya. Pendekatan ini terbukti efektif di lingkungan tradisional, terutama di pedesaan. Di sana, semangat kolektivitas dan menjaga tradisi lebih diutamakan. Amal menjadi pintu masuk utama agar masyarakat tetap terhubung dengan agama.
Dalil Sebagai Panglima
Berbeda dengan NU, Muhammadiyah memilih jalan yang terbalik. Muhammadiyah menekankan dalil sejak awal. Semua amal ibadah dan muamalah harus punya dasar yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Di Muhammadiyah, sejak pengajian dasar, umat sudah diajak kembali langsung ke Al-Qur’an dan hadits. Tradisi tarjih (pemilahan dalil) di Muhammadiyah mengajarkan agar setiap praktik agama selalu dikembalikan ke sumber primer, bukan sekadar ikut tradisi atau kebiasaan yang sudah berlangsung lama.
Contoh paling terkenal adalah soal qunut Subuh. Muhammadiyah memutuskan tidak mengamalkannya karena dalil yang mendukung qunut dinilai tidak cukup kuat dan tidak diamalkan secara konsisten oleh Nabi Muhammad SAW. Begitu pula dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal, Muhammadiyah secara tegas memilih hisab sebagai metode utama, berdasarkan penalaran rasional dan kepastian ilmu falak modern.
Pendekatan “dalil dulu” juga membuat Muhammadiyah lebih cepat menanggapi perkembangan zaman. Misalnya dalam persoalan zakat profesi, transaksi digital, atau teknologi reproduksi. Muhammadiyah membuka ruang ijtihad untuk masalah-masalah kontemporer, sepanjang ada pijakan dalil yang kuat.
Tradisi Muhammadiyah mendorong umat untuk berpikir kritis, tidak sekadar menerima begitu saja. Inilah yang membuat Muhammadiyah identik dengan pencerahan dan tajdid (pembaruan). Dalam pengajian-pengajian Muhammadiyah, sering muncul pertanyaan, “Apa dalilnya?”, pertanyaan yang bagi sebagian orang terasa berat, tetapi justru menjadi ciri khas Muhammadiyah sebagai gerakan yang berlandaskan ilmu.
Amal dan Dalil: Harus Berjalan Bersama
Jika diamati, sebenarnya NU dan Muhammadiyah sama-sama bertujuan agar umat bisa beribadah dengan benar. Hanya saja, jalannya berbeda. NU memilih “amal dulu,” supaya masyarakat langsung bisa praktik dan menjaga kesinambungan tradisi. Muhammadiyah memilih “dalil dulu,” supaya amal yang dijalankan tidak kehilangan ruh dan tidak sekadar ritual kosong.
Pendekatan Muhammadiyah yang berbasis dalil sangat relevan di era sekarang. Generasi muda semakin kritis dan tidak lagi puas dengan jawaban “sudah dari dulu begitu.” Mereka butuh penjelasan yang rasional dan argumentasi yang bisa dipegang. Muhammadiyah hadir menjawab kebutuhan itu: menyuguhkan dasar agama yang kuat dan memandu amal sesuai dalil.
Namun, penting juga diingat: dalil tanpa amal hanya akan menjadi teori kosong. Sebaliknya, amal tanpa dalil bisa menjauhkan umat dari substansi ajaran Islam yang sejati. Keduanya harus berjalan beriringan. Muhammadiyah meyakini, dalil adalah panglima, sedangkan amal adalah prajurit yang menerjemahkan dalil ke dalam tindakan nyata.
Di Muhammadiyah, umat diajak untuk memahami, bukan sekadar meniru. Beribadah dengan kesadaran penuh akan menumbuhkan keikhlasan dan memperdalam makna spiritual. Dengan demikian, dakwah Muhammadiyah tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga mencerahkan pikiran dan memperkokoh iman.
Akhirnya, kita bisa melihat perbedaan pendekatan ini bukan sebagai jurang pemisah, melainkan sebagai kekayaan khazanah umat Islam di Indonesia. Muhammadiyah tetap berkomitmen menuntun umat menuju Islam yang murni, berlandaskan dalil yang jelas, serta tetap mengedepankan amal saleh yang membumi.
Amal dan dalil bukan untuk dipertentangkan. Namun, dalam kerangka dakwah Muhammadiyah, dalil selalu diutamakan sebagai fondasi utama, agar amal menjadi benar, sahih, dan membawa keberkahan bagi diri sendiri, masyarakat, dan bangsa.