Ketika Film Lebih Lantang dari Upacara Kemerdekaan

Publish

22 August 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
198
Dok Istimewa

Dok Istimewa

Ketika Film Lebih Lantang dari Upacara Kemerdekaan

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua PRM Legoso, Wakil Sekretaris LPCRPM PP Muhammadiyah

Perayaan 17 Agustus selalu dirayakan semarak dengan pesta rakyat di jalan-jalan dan lapangan terbuka. Ada pawai, lomba-lomba, bazar, senam, dan pertunjukan musik yang dikemas dengan berbagai kreativitas bernuansa daerah. Keunikan ini selalu berulang setiap tahun. Pesta rakyat selalu meriah dan dibiayai secara swadaya oleh warga sendiri. Momen itu menjadi ajang perjumpaan antarwarga yang selama ini disibukkan oleh rutinitas kerja. Semua turun ke lapangan, ikut serta, bergembira, dan bahagia tanpa banyak biaya.

Hari Minggu itu, saya memilih duduk menikmati layar media sosial. Tiba-tiba muncul potongan adegan film Cina bergenre silat yang cukup menarik. Saya memilih untuk memutarnya dalam versi yang lebih lengkap. Ternyata, film itu mengisahkan pergolakan perlawanan rakyat Tiongkok melawan penjajah Jepang, berlatar belakang tahun 1840-an.

Adegan silat yang ditampilkan menarik. Ada tentara Jepang berpenampilan gagah, rapi, berseragam cokelat lengkap dengan pedang tajam di tangan kanannya, namun bertindak kasar kepada rakyat jajahan dari bangsa Tiongkok yang miskin papa. Meski berjumlah banyak dan bersenjata api, mereka lari kocar-kacir, bahkan banyak yang terkapar, kalah oleh satu orang Cina yang berpakaian gembel ala pengemis, namun sangat piawai bermain kungfu. Pemuda Cina itu mampu mengalahkan puluhan tentara Jepang walau sambil mabuk.

Saya hanya menonton film itu. Saya pun juga bukan orang Tiongkok, namun perasaan saya bisa larut dalam kisah dalam film tersebut. Saya ikut jengkel melihat tingkah tentara Jepang yang ketika mabuk gemar menganiaya pedagang kecil di jalanan kota. Tidak cukup sampai di situ, setelah mengobrak-abrik dagangan, para tentara itu juga dengan ganas melecehkan para perempuan yang sedang berbelanja di pasar. Perilaku tentara Jepang itu terhenti berkat jasa seorang laki-laki berpenampilan pengemis, namun sangat pandai bermain silat. Para tentara itu dibuat babak belur saat beradu silat dengan laki-laki pesilat Cina tersebut.

Saya merindukan hadirnya sebuah film Indonesia yang mampu menggugah perasaan penontonnya. Dalam tahap tertentu, film itu mampu membangkitkan rasa kecintaan saya kepada negara Indonesia. Sineas Indonesia cukup berjasa dalam membuat film-film bertemakan perjuangan melawan penjajah Belanda. Seperti: Soekarno (2013), Kartini (2017), Tjoet Nja' Dhien (1988), Sang Kiai (2013), Jenderal Soedirman (2015), Merah Putih Trilogy (2009–2011) yaitu Merah Putih (2009), Darah Garuda (2010), Hati Merdeka (2011); Bumi Manusia (2019), Nyai Ahmad Dahlan (2017), Si Pitung (1970), Naga Bonar (1987), Serangan Fajar (1982), Pahlawan Goa Selarong (1971), dan Tapak-Tapak Kaki Sang Guru (1982).

Film-film tersebut digarap dengan serius. Alur ceritanya juga diambil dari karya sastra yang ditulis oleh penulis-penulis mumpuni. Kualitas akting para pemainnya pun jauh lebih keren dari para pemeran film silat produksi Tiongkok. Sayangnya, film-film Indonesia yang berkualitas itu jarang sekali muncul di media sosial. Mungkin, salah satu alasannya karena dikemas terlalu serius dan minim adegan seru yang menarik, ringan dan cocok untuk hiburan instan di era digital.

Perayaan di Medsos

Di luar persoalan film, lain pula cara penikmat media sosial dalam merespons momentum 17-an. Apa yang muncul di layar media Anda? Di layar saya, banyak sekali kiriman video dan poster sebagai respons atas perayaan Hari Kemerdekaan. Ia dikemas dalam bentuk TikTok, video pendek, gambar lengkap dengan narasi provokatif. Kesan saya, pesan yang disampaikan nyaris tidak menunjukkan kebanggaan terhadap perjuangan para pahlawan dalam meraih kemerdekaan. Ia lebih mencerminkan sikap kurang empati, cenderung sinis, penuh olok-olok, disertai dengan aneka kritik tajam terhadap pemerintah rezim Prabowo.

Alih-alih menarasikan semangat kebanggaan terhadap perjuangan para pendahulu, pesan yang tersebar lebih banyak bernada bantahan terhadap data capaian pemerintah yang disampaikan dalam pidato kenegaraan oleh Presiden Prabowo. Mulai dari data tentang lapangan kerja, pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dampak baik dari program makanan bergizi gratis, dan seterusnya. Saya melihat sisi positif dari sikap seperti ini. Kemerdekaan setiap orang untuk menyampaikan pandangan terkait situasi sosial, politik, dan ekonomi harus tetap dijamin agar demokrasi tetap sehat.

Bentuk kecintaan warga negara terhadap negara memang tidak harus seolah-olah semua dalam kondisi baik-baik saja. Aksi penuh rekayasa, memuja dengan mata buta hingga kehilangan sikap kritis dan mematikan akal sehat harus dicegah. Sikap kritis warga yang disampaikan dalam berbagai varian di medsos harus diterima dengan lapang dada. Kepemimpinan yang tangguh bukan tanpa kritik. Kekuasaan akan rapuh ketika ia hanya bertumpu pada bangunan budaya puja-puji penuh kepalsuan yang acap disampaikan dengan harapan memperoleh irisan kue kekuasaan. Kritik tajam yang disuarakan di hari kemerdekaan bisa menjadi cermin dari sebuah kecintaan tulus terhadap negeri yang dicintai.

Upacara dan Nasionalisme

Perayaan hari kemerdekaan selalu dilakukan melalui upacara bendera. Kegiatan ini dinilai sakral karena dilakukan sebagai sarana untuk menumbuhkan nilai cinta bangsa dan tanah air. Betulkah upacara bendera mampu menumbuhkan rasa cinta dan nasionalisme bagi warga negara?

Saya tidak bisa mengeneralisasi jawabannya. Bagi saya pribadi, tidak! Batin saya lebih tersentuh oleh propaganda yang dilakukan melalui film atau medium kesenian lainnya. Lagu, puisi, lukisan, mural, pertunjukan drama, ataupun pengerahan massa di tempat terbuka bisa lebih mengena. Bahkan saat menyaksikan pertandingan sepak bola atau bulu tangkis antara Indonesia vs Malaysia saja, rasa kecintaan saya kepada tim Indonesia bisa tumbuh menggebu.

Hal yang menyentuh lainnya Adalah perilaku baik yang dicontohkan oleh aparatur negara dalam kehidupan sehari-hari, serta layanan terbaik yang diberikan oleh negara kepada warganya. Itu adalah syarat mutlak untuk mampu menumbuhkan rasa cinta kepada tanah air.

Selesai upacara hari kemerdekaan, para pejabat kembali ke rumah masing-masing menggunakan mobil mewah berpengawal lengkap dengan raungan sirine yang meneror pengguna jalan raya untuk menepi dan mengistimewakan mereka. Di pinggir jalan raya ada suara teriakan keras dari lelaki bertubuh kurus karena kurang makan, “Hoei… kami merayakan kemerdekaan dengan biaya sendiri. Kalian para pejabat, merayakan kemerdekaan dengan uang dari keringat rakyat. Sekarang rakyat kalian suruh minggir hanya karena kalian hendak lewat, kampret!”

Kurang nasionaliskah pemekik suara itu?


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Pelajari Bahasa Arab untuk Memahami Al-Qur`an  Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya....

Suara Muhammadiyah

7 June 2024

Wawasan

Simpul Kader Muhammadiyah: Mendayung di Antara Tiga Pasangan Calon Oleh: Ahmad Ashim Muttaqin, Kade....

Suara Muhammadiyah

8 December 2023

Wawasan

Trilogi Bagian Kedua: Suami istri Saling Menutupi Ketidaksempurnaan Pasangannya Oleh: M. Rifqi Ros....

Suara Muhammadiyah

24 November 2023

Wawasan

Lebaran Mengajarkan Kita Arti Rindu, Maaf, dan Kasih Sayang Oleh: Furqan Mawardi Ketua Lembaga Peng....

Suara Muhammadiyah

1 April 2025

Wawasan

Semangat Pahlawan Memerangi Kemiskinan dan Kebodohan  Oleh: Wakhidah Noor Agustina, S.Si. Lit....

Suara Muhammadiyah

10 November 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah