Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Sekarang kita akan membahas tiga ayat dari surah Al-An’am, ayat 76, 77 dan 78, "Ketika malam telah gelap menutupi dirinya, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: 'Inilah Tuhanku.' Tetapi tatkala bintang itu terbenam, dia berkata: 'Saya tidak suka kepada yang terbenam.' Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata: 'Inilah Tuhanku.' Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: 'Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.' Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: 'Inilah Tuhanku, ini lebih besar.' Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: 'Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).'”
Ayat-ayat suci ini jelas merujuk pada sosok Ibrahim. Namun, bagi para ulama, muncul tantangan dalam menafsirkannya. Mereka berupaya keras untuk menyelaraskannya dengan keyakinan yang mendasar dalam Islam, yaitu kemaksuman para nabi—‘ishmah (عِصْمَة). Doktrin ini meyakini bahwa Allah menjaga utusan-Nya dari kesalahan besar.
Meskipun diakui bahwa sebagai manusia, para nabi mungkin melakukan kekhilafan kecil dalam pertimbangan, layaknya kita semua, mereka dipastikan terlindungi dari dosa-dosa besar dan, yang lebih krusial, dari keyakinan yang menyimpang, terutama yang dapat merusak esensi tauhid atau monoteisme. Ini mencakup bukan hanya tindakan ibadah, tetapi juga fondasi keyakinan itu sendiri.
Penggalan kisah ini melukiskan perjalanan spiritual Nabi Ibrahim dalam mencari hakikat Ilahi. Di tengah kegelapan malam, ia terpukau pada gemintang, lalu rembulan yang bersinar, bahkan mentari yang perkasa. Namun, setiap kali cahaya itu meredup, hatinya bertanya, 'Mungkinkah ini Tuhan?' Hingga akhirnya, Ibrahim menyadari bahwa hanya Sang Pencipta langit dan bumi yang layak disembah, dan ia pun berlepas diri dari segala bentuk penyekutuan. Kisah pencarian ini begitu menginspirasi, hingga lantunannya seringkali mengawali ibadah harian umat Islam.
Menghadapi implikasi literal ayat tersebut, para ahli tafsir mengambil beberapa pendekatan. Ada yang berteori bahwa Ibrahim masih dalam usia kanak-kanak ketika mengucapkan kata-kata itu, sehingga ia dianggap tidak bertanggung jawab atas pernyataannya, dan kemaksuman nabi tetap terlindungi.
Sementara itu, riwayat dari Ibnu Abbas menyebutkan bahwa kejadian ini hanya berlangsung dalam rentang waktu yang singkat, seolah hanya dalam sehari, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai keyakinan yang salah dan mendalam. Lebih jauh lagi, muncul interpretasi yang menyatakan bahwa Ibrahim sebenarnya sedang bertanya, bukan menyatakan keyakinannya. Ucapan 'Ini Tuhanku' dianggap sebagai pertanyaan provokatif, bukan sebuah deklarasi iman
Kita memahami bahwa dalam bahasa Inggris dan Arab, mengajukan pertanyaan tidak selalu memerlukan tanda tanya tertulis. Dalam percakapan, kita mengandalkan intonasi. Kedua bahasa juga memiliki beragam kata tanya. Uniknya, bahasa Arab memiliki partikel 'a' di awal kalimat yang berfungsi sebagai penanda tanya, berbeda dengan tanda tanya visual dalam bahasa Inggris.
Namun, dalam percakapan sehari-hari, penanda ini seringkali tidak terucap, dan intonasi menjadi kunci untuk mengenali pertanyaan. Berangkat dari analisis linguistik ini, beberapa penafsir menyimpulkan bahwa perkataan Ibrahim bukanlah pernyataan, melainkan pertanyaan. Dengan demikian, ia tidak sedang mengungkapkan keyakinannya. Ini adalah salah satu pendekatan yang digunakan untuk menafsirkan bagian tersebut.
Ada pandangan lain yang patut dipertimbangkan. Beberapa berteori bahwa Ibrahim sengaja menirukan keyakinan kaumnya sebagai langkah awal untuk membuktikan kepalsuannya. Namun, penting untuk diingat bahwa kita sedang menganalisis teks Al-Qur`an yang eksplisit. Sebaiknya kita berpegang pada makna literal kecuali ada justifikasi yang kuat untuk menafsirkannya secara berbeda. Jika doktrin ‘ishmah adalah prinsip yang fundamental dalam Al-Qur`an, mungkin interpretasi non-literal bisa dibenarkan. Namun, doktrin ini muncul belakangan.
Ini adalah konsep yang bermanfaat untuk memperkuat kepercayaan kita pada integritas pesan para nabi, karena mereka terlindungi dari pelanggaran moral dan keyakinan yang salah. Akan tetapi, dalam konteks Ibrahim, terutama jika ia masih muda dan tengah merumuskan keyakinannya, kisah ini justru mengilustrasikan bahwa pertumbuhan spiritual adalah sebuah perjalanan. Ini bisa menjadi sumber harapan bagi mereka yang telah melalui pencarian spiritual yang serupa, menjelajahi berbagai keyakinan sebelum akhirnya berlabuh dalam Islam. Mereka dapat melihat Ibrahim sebagai teladan, yang melalui proses pemikiran dan evaluasi diri yang mendalam, akhirnya menemukan kebenaran.