Peringati Hari Guru Nasional, Tiga Pilar Utama untuk Jawab Tantangan Pendidikan Global
JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Dalam peringatan Hari Guru Nasional yang jatuh pada 25 November, Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) dan Pendidikan Nonformal (PNF) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Didik Suhardi, Ph.D., menyampaikan pidato yang mengobarkan semangat "Guru Hebat Muhammadiyah Pembangun Peradaban Bangsa".
Didik Suhardi membuka sambutannya dengan mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh guru Muhammadiyah yang dengan penuh kesabaran, keikhlasan, dan dedikasi telah mencerdaskan kehidupan bangsa di seluruh pelosok negeri. Ia menekankan bahwa cahaya pendidikan Muhammadiyah tidak hanya menyala di kota-kota besar, tetapi tetap berkilau di desa terpencil, wilayah pesisir, dataran tinggi, dan daerah yang sulit dijangkau, berkat pengabdian para guru yang bekerja tanpa pamrih.
Menilik sejarah, Didik menegaskan bahwa guru telah menjadi pilar utama yang membangun fondasi intelektual, moral, dan sosial bangsa Indonesia sejak Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada 1912. Saat itu, pendidikan menjadi jantung gerakan pembaruan untuk menjawab ketertinggalan umat. Para guru Muhammadiyah, lanjutnya, tidak hanya berperan sebagai pengajar ilmu, tetapi juga sebagai pembawa obor pencerahan yang menanamkan nilai dan membentuk karakter generasi yang beriman, berilmu, dan berkemajuan, sekaligus merawat keberagaman dan menanamkan semangat kebangsaan.
Menghadapi kompleksitas tantangan global yang didorong oleh transformasi teknologi dan dinamika sosial, Didik menyampaikan tiga agenda utama yang harus dijalankan. Pertama, guru Muhammadiyah perlu memperkuat Pembelajaran Mendalam (Deep Learning) untuk menggerakkan proses belajar yang menekankan pemahaman konseptual yang mendalam, kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah, serta kepekaan sosial dan kesadaran diri melalui pengalaman belajar yang kontekstual, kolaboratif, dan penuh makna. Pendekatan ini diyakini dapat mencetak generasi yang tidak hanya cerdas akademik tetapi juga cerdas spiritual.
Kedua, adalah integrasi Koding dan Kecerdasan Artifisial (KKA) dalam kurikulum. Didik menekankan bahwa di era di mana kecerdasan buatan mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan, guru memiliki tanggung jawab untuk mengenalkan pemikiran komputasional, memanfaatkan KKA sebagai alat bantu pembelajaran, dan yang terpenting, mengajarkan etika penggunaan teknologi sesuai nilai-nilai Islam. Tujuannya adalah mendorong siswa menjadi inovator yang mampu bersaing secara global, bukan sekadar menjadi konsumen teknologi.
Ketiga, yang menjadi fondasi dari semua kemajuan teknologi adalah pengokohan Pendidikan Karakter. Di sinilah, menurut Didik, keunggulan guru Muhammadiyah berada: membangun manusia utuh yang unggul dalam ilmu, kokoh dalam akhlak, dan peduli pada kemanusiaan. Pendidikan karakter yang dimaksud meliputi penanaman nilai kejujuran, disiplin, empati, pola pikir bertumbuh (growth mindset), kemampuan kerja sama dalam keberagaman, dan keteguhan pada nilai-nilai Islam berkemajuan, dengan keteladanan guru sebagai metode yang paling efektif.
Didik menegaskan bahwa keberhasilan ketiga agenda ini memerlukan dukungan menyeluruh dari semua pihak. "Tidak adil jika kita meminta guru membangun kualitas bangsa, jika kita tidak membangun kualitas lingkungan kerja dan ekosistem pendidikan yang positif," ujarnya. Ia menyerukan kepada pemerintah, pimpinan persyarikatan, satuan pendidikan, dan masyarakat untuk bersama-sama menyediakan pelatihan berkelanjutan, memperkuat infrastruktur digital, menciptakan ekosistem yang aman dan menumbuhkan, serta memastikan kesejahteraan dan perlindungan profesi guru.
Didik Suhardi kembali menyampaikan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada seluruh guru Muhammadiyah. "Bapak dan Ibu adalah penjaga pencerahan dan pewaris perjuangan Kiai Dahlan. Dari tangan Bapak dan Ibu lahir generasi bangsa yang berakhlak, berilmu, dan siap menghadapi masa depan," pungkasnya.


