Kriteria Awal Waktu Shubuh
Pengetahuan tentang waktu shalat sangatlah penting, karena mengetahui masuknya waktu shalat menjadi dasar sah atau tidaknya shalat itu. Para ulama menyepakati, sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi saw, bahwa awal waktu shalat shubuh adalah saat terbit fajar sadik. Hanya saja kapan fajar sadik itu terbit, hal ini menjadi perdebatan yang sejak lama terjadi di kalangan para fukaha dan ulama Islam. Dalam kitab al-‘Urf asy-Syażī bi Syarḥ Sunan at-Tirmiżī (I: 173) ditegaskan bahwa terbit fajar menurut ulama falak adalah ketika matahari berada di bawah ufuk pada kedalaman 15º, tetapi pandangan ini dibantah oleh Ibn Ḥajar al-Makkī yang menyatakan bahwa terbit fajar bisa lebih cepat dan bisa lebih lambat. Dalam praktik, umat Islam berbeda-beda menentukan saat terbit fajar (sadik) antara -20º seperti di Indonesia, -19,5º seperti di Mesir, -18º, dan lain-lain.
Di Mesir Institut Nasional Penelitian Astronomi dan Geofisika Hulwan sejak tahun 1984 menyatakan bahwa waktu shubuh di Mesir terlalu dini, dan beberapa kali mengadakan seminar hasil penelitian yang kesimpulannya adalah waktu shubuh -14,7º, namun dalam praktik hingga sekarang Mesir masih tetap mempraktikkan -19,5º. Di Indonesia untuk waktu lama masyarakat mempraktikkan -20º. Namun praktik di masayarakat Indonesia mulai ditunjau ulang kembali sejak munculnya tulisan yang dimuat secara serial dalam Majalah Qiblati dan kemudian dibukukan dengan judul Koreksi Awal Waktu Shubuh yang menyatakan bahwa awal waktu shubuh di Indonesia terlalu pagi (24 menit sebelum kemunculan fajar sadiq). [Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi, dan Agus Hasan Bashori, Koreksi Awal Waktu Shubuh, cet. I, (Malang: Pustaka Qiblati, 1431/2010), hlm.5]. Pendapat ini didasarkan pada kesaksian di beberapa lokasi saat azan aubuh terdengar, fajar sadiq belum terbit. Kasus ini akhirnya memperoleh perhatian para pengkaji astronomi Islam di Indonesia untuk mengkaji dan melakukan penelitian tentang awal waktu shubuh.
Isu meninjau ulang waktu shubuh di Indonesia sebelum Syeikh Mamduh telah dilakukan oleh Hanafi S. Djamari dalam artikelnya yang berjudul “Menelaah Kembali Awal Shalat Shubuh” dimuat di Harian Republika, 21 Mei 1999. Pandangan ini sejalan dengan Susiknan Azhari dalam artikelnya yang berjudul “Awal Waktu Shalat Shubuh Perspektif Syar’i dan Sains”, dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah, No. 2, Tahun ke-92, 16-31 Januari 2007.
Selama ini di Kawasan anggota MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) Indonesia termasuk yang terpagi dengan ketinggian (altitude) matahari -20° jika dibandingkan dengan waktu Shubuh di negara-negara lain. Muhammadiyah sebagaimana dinyatakan dalam Pedoman Hisab Muhammadiyah juga berpedoman bahwa ketinggian matahari untuk shubuh -20°. Ini berbeda dari hasil kajian dan penelitian awal waktu shubuh yang menunjukkan ketinggian matahari lebih rendah daripada - 20°.
Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar dan Tajdid yang bersumber kepada Al-Qur’an dan al-Sunah (Pasal 4 ayat (1) Anggaran Dasar Muhammadiyah), berkepentingan untuk melakukan kajian dan penelitian awal waktu shubuh dengan memadukan aspek syar’i dan sains agar hasilnya sesuai dengan pesan nas dan perkembangan zaman.
A. Dalil-Dalil yang Terkait Waktu Shubuh
Melalui Al-Qur’an dan hadis waktu-waktu shalat fardu telah disebutkan sebagai berikut:
1. Firman Allah dalam surah an-Nisā’ [4] ayat 103,
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah ketika kamu berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring. Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka laksanakanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (QS an-Nisā’ [4]: 103).
2. Firman Allah dalam surah al-Isrā’ [17] ayat 78,
اَقِمِ الصَّلٰوةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ اِلٰی غَسَقِ الَّیْلِ وَقُرْاٰنَ الْفَجْرِ ؕ اِنَّ قُرْاٰنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا ۟
Laksanakanlah shalat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (laksanakan pula shalat) Shubuh. Sungguh, shalat Shubuh itu disaksikan (oleh malaikat) (QS al-Isrā’ [17]: 78).
3. Firman Allah dalam surah at-Takwīr [81] ayat 18,
وَٱلصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ
Demi Shubuh apabila fajar telah menyingsing (QS at-Takwīr [81]:18).
4. Firman Allah dalam surah al-Baqarah [2] ayat 187,
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ
Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam ... (QS al- Baqarah [2]: 187).
5. Hadis dari ‘Āisyah yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī,
أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ قَالَتْ كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنْ الْغَلَسِ
Bahwasannya ‘Āisyah telah mengabarkan kepadanya, dan ia mengatakan,”kami wanita- wanita mukminat pernah ikut shalat bersama Rasulullah saw. dengan menutup wajahnya dengan kerudung, kemudian kembali ke rumah mereka masing-masing setelah selesai shalat tanpa diketahui oleh seorang pun karena hari masih gelap (HR al-Bukhārī).
6. Hadis dari Abdullah bin ‘Amr bin al-Āṣ yang diriwayatkan oleh Muslim,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو بْنِ العَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ وَوَقْتُ صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ فَأَمْسِكْ عَنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ
Dari ‘Abdullah bin ‘Amar bin ‘Āṣ, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Waktu Zuhur apabila matahari tergelincir sampai bayang-bayang seseorang sama dengan tingginya yaitu selama belum masuk waktu Asar. Waktu Asar selama matahari belum menguning. Waktu magrib selama mega merah belum hilang. Waktu Isya sampai tengah malam. Waktu Shubuh mulai terbit fajar selama matahari belum terbit. Apabila matahari telah terbit, maka jangan kamu lakukan shalat, karena matahari itu muncul di antara dua tanduk setan. (HR Muslim).
7. Hadis dari Ibnu ‘Abbās, yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzī
أَخْبَرَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَمَّنِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ فَصَلَّى الظُّهْرَ فِي الْأُولَى مِنْهُمَا حِينَ كَانَ الْفَيْءُ مِثْلَ الشِّرَاكِ ثُمَّ صَلَّى الْعَصْرَ حِينَ كَانَ كُلُّ شَيْءٍ مِثْلَ ظِلِّهِ ثُمَّ صَلَّى الْمَغْرِبَ حِينَ وَجَبَتِ الشَّمْسُ وَأَفْطَرَ الصَّائِمُ ثُمَّ صَلَّى الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ ثُمَّ صَلَّى الْفَجْرَ حِينَ بَرَقَ الْفَجْرُ وَحَرُمَ الطَّعَامُ عَلَى الصَّائِمِ وَصَلَّى الْمَرَّةَ الثَّانِيَةَ الظُّهْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ لِوَقْتِ الْعَصْرِ بِالْأَمْسِ ثُمَّ صَلَّى الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَيْهِ ثُمَّ صَلَّى الْمَغْرِبَ لِوَقْتِهِ الْأَوَّلِ ثُمَّ صَلَّى الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ حِينَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ أَسْفَرَتِ الْأَرْضُ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ جِبْرِيلُ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ وَالْوَقْتُ فِيمَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ
Ibn 'Abbas telah mengabarkan kepadaku bahwa Nabi saw bersabda: Jibril a.s. pernah mengimami saya shalat di Baitullah dua kali. Kemudian shalat Zuhur ketika matahari tergelincir dan membentuk bayang-bayang sepanjang tali sepatu. Kemudian shalat Asar pada saat bayang-bayang sama panjang dengan bendanya. Kemudian shalat Magrib ketika matahari terbenam dan orang berbuka puasa. Kemudian shalat Isya ketika mega merah telah hilang. Kemudian shalat Shubuh ketika terbit fajar dan ketika makanan tidak boleh dimakan oleh orang yang berpuasa. Kemudian pada keesokan harinya, ia shalat Zuhur ketika bayang- bayang sama panjang dengan bendanya. Kemudian shalat Asar ketika bayang-bayang dua kali panjang bendanya. Kemudian shalat Magrib pada waktu awal (ketika matahari terbenam). Kemudian shalat Isya ketika telah selesai sepertiga malam. Kemudian shalat Shubuh ketika hari sudah terang. Kemudian ia berpaling kepadaku dan berkata: Wahai Muhammad, ini adalah waktu shalat para nabi sebelummu. Waktu shalat itu adalah antara kedua waktu ini (HR at- Tirmidzī).
Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis di atas dapat dipahami bahwa awal waktu shubuh ditunjukkan dengan fenomena matahari berupa terbit fajar. Dalam praktik Rasulullah saw shalat shubuh ketika galas dan pernah pula saat isfār (sudah terang). Galas (الغلس) didefinisikan oleh Badruddīn al-‘Ainī dalam Syarḥ Sunan Abī Dāwūd (II: 245) sebagai berikut,
Galas adalah kegelapan akhir malam ketika bercampur dengan cahaya Shubuh, dan yang dimaksud dengan galas itu bukan sebelum terbit fajar sadik, tetapi yang dimaksud adalah bahwa beliau shalat Shubuh di awal waktunya, yaitu saat terbit fajar sadik, dan ini adalah galas.
B. Kontribusi Para Astronom Muslim tentang Fajar
Beberapa astronom Muslim yang ikut menyumbangkan pemikiran tentang kriteria waktu shubuh adalah sebagai berikut:
| No. | Nama Tokoh |
Abad H/M |
Ketinggian Matahari | Sumber | Instrumen |
| 1. |
Jābir al-Battānī (w. 317/929) |
4/10 | -18° | Zīj al-Battānī | Astrolabe |
| 2. |
Kusyyār al-Jīlī (w. 350/961) |
4/10 | -18° | Risālah fī al-Usṭurlāb | - |
| 3. |
‘Abd ar-Raḥmān aṣ-Ṣūfī (w. 376/986) |
4/10 | -18° |
Dikutip dari “Īḍāḥ al-Qaul al-Ḥaqq…”² |
Astrolabe |
| 4. |
Abū Raiḥān al-Bīrūnī (w. 440/1048) |
5/11 | -18° |
Al-Qānūn al-Mas’ūdī |
- |
| 5. | Abū Raiḥān al-Bīrūnī (w. 440/1048) | 5/11 | -18°/-17° | Istīʻāb al-Wujūh al- Mumkinah fī Ṣunʻat al-Usṭurlāb | - |
| 6. |
Az-Zarqalī (w. 493 H/1100 M) |
5/11 | -18° |
Dikutip dari “Īḍāḥ al-Qaul al-Haqq…”. |
- |
| 7. |
Naṣīruddīn aṭ-Ṭūsī (w. 672/1273) |
7/13 | -18° | at-Tażkirah fī ‘Ilm al-Hai’ah | - |
| 8. |
Mu’ayyid ad-Dīn al-‘Urḍī (w. 664/1266) |
7/13 | -18°/-19° | Kitāb al-Hai’ah | - |
| 9. | Ibn Syāṭir (w. 777/1375) | 8/14 | -19° |
Risālat an-Nafʻ al-‘Āmm fī al-‘Amal bi ar-Rubʻ al- ‘Āmm |
- |
| 10. |
Ibn Syāṭir (w. 777/1375) |
8/14 | -19° | az-Zīj al-Kabīr | - |
| 11. |
Jamāluddīn al Mardinī (w. 806/1403) |
9/15 | -19° | Risālat ad-Durr al-Manṡūr fī al-‘Amal bi Rubʻ ad-Dustūr | - |
| 12. |
Al-Qāḍī Zādah (w. 840/1436) |
9/15 | -18° |
Syarḥ Mulakhkhash al-Jighminy fī al-Hai’ah |
- |
| 13. |
Aḥmad bin Rajab al-Majdī (w. 850/1446) |
9/15 | -19° |
Gunyat al-Fahīm wa aṭ-Ṭarīq Ilā Ḥall at-Taqwīm |
- |
| 14. |
‘Izzuddīn al-Wafā’ī (w. 879/1474) |
9/15 | -19° |
An-Nujūm az-Zāhirāt fī al-‘Amal bi Rubʻ al-Muqanṭarāt |
- |
| 15. |
‘Izzuddīn al- Wafā’ī (w. 879 H/1474 M) |
9/15 | -19° |
Risālah fī al-‘Amal bi Rubʻ ad-Dā’irah |
- |
| 16. |
‘Izzuddīn al-Wafā’ī (w. 879 H/1474 M) |
9/15 | -19° | Risālat Dā’irat al-Mu’addal | - |
| 17. |
Sibṭ al-Mardinī (w. 912/1506) |
10/16 | -19° |
Risālah fī al-‘Amal bi ar-Rubʻ al-Mujayyab |
- |
| 18. | Sibṭ al-Mardinī (w. 912/1506) | 10/16 | -19° | ar-Risālah al-Fathiyyah fī al-Aʻmāl al-Jaibiyyah | |
| 19. | Sibṭ al-Mardinī (w. 912/1506) | 10/16 | -19° |
Risālah fī al-‘Amal bi ar- Rubʻ al-Marsum bi al-Muqantharāt |
- |
| 20. | Sibṭ al-Mardinī (w. 912/1506) | 10/16 | -19° |
Hāwy al-Mukhtasharāt fī al- ‘Amal bi Rubʻ al-Muqantharāt |
- |
| 21. | Aḥmad Zainī Daḥlān (w. 1304/1886) | 14/19 | -19° |
al-Mukhtaṣar fī Ma’rifat as-Sinīn wa ar-Rubʻ al-Musytahir |
- |
| 22. | Husain Zaid Mesir (w. 1887 M) | 19 | -19° |
al-Maṭlaʻ as-Sa’īd fī Ḥisābāt al-Kawākib ‘alā ar-Raṣd al-Jadīd |
- |
| 23. | Muḥammad bin Yusūf al-Khayyāṭ | - | -19° |
La’alā’ ath-Thall an-Nadiyah Syarḥ al-Bākūrah al- Janiyyah fī ‘Amal al-Jaibiyyah |
- |
| 24. |
Aḥmad Khaṭīb Minangkabau (w. 1334/1915) |
14/20 | -19° | al-Jawāhir an-Naqiyyah fī al- Aʻmāl al-Jaibiyyah | - |
| 25. |
Muhammad Mukhtar bin ‘Atharid Bogor (w. 1349/1930) |
14/20 | -19° | Taqrīb al-Maqṣad fī al-‘Amal bi ar-Rubʻ al-Mujayyab | - |
| 26. |
Muhammad Ma’shum bin Ali (w. 1351 H/1933 M) |
14/20 | -19° | ad-Durūs al-Falakiyyah | - |
| 27. |
Hasan bin Yahya Jambi (w. 1940 M) |
20 | -19° |
Nail al-Maṭlūb fī Aʻmāl al-Juyūb |
- |
| 28. |
Zubair Umar al- Jailani (w. 1411 H/1990 M) |
15/20 | -18° | Al-Khulāṣhah al-Wafiyyah | - |
| 29. |
Muhammad Wardhan Diponingrat (w. 1411 H/1991 M) |
15/20 | -19° | Kitab Ilmu Falak dan Hisab | - |
²“Īḍāḥ al-Qaul al-Ḥaqq fī Miqdār Inḥiṭāṭ asy-Syams Waqt Ṭulūʻ al-Fajr wa Gurūb asy-Syafaq” oleh Muhammad bin ‘Abd al-Wahhāb bin ‘Abd ar-Razzāq al-Andalūsī.
C. Hasil Observasi Fajar
Sesuai rekomendasi Musyawarah Nasional Tarjih ke-27 pada Tanggal 16-19 Rabiul Akhir 1431 H/ 1-4 April 2010 tentang persoalan awal Shubuh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengamanatkan kepada 3 lembaga untuk melakukan kajian dan observasi fajar yaitu Observatorium Ilmu Falak (OIF) yang berada di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Medan, Pusat Studi Astronomi (Pastron) yang berada di Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta, dan Islamic Science Research Network (ISRN) yang berada di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA), Jakarta. Penelitian menggunakan serangkaian instrumen modern dan metode analisis untuk menginterpretasikan hasil penelitian.
OIF UMSU menggunakan alat Sky Quality Meter (SQM) untuk menguantitasi perubahan tingkat kecerahan langit (TKL). Pengambilan data dilakukan di kota Medan, Pantai Romantis (Kabupaten Deli Serdang), dan Barus (Kabupaten Tapanuli Tengah). Lokasi penelitian di OIF berada pada daerah dengan polusi cahaya yang buruk. Sementara itu, polusi cahaya di lokasi Pantai Romantis dan Barus lebih baik daripada di OIF. Durasi pengambilan data dari tahun 2017 – 2020 (Ramadan 1438 H - Zulkaidah 1441 H) dengan SQM diarahkan ke 0°, 30°, 45°, dan 90° (zenit). Hasil penelitian diolah dengan menggunakan metode Moving Average. OIF UMSU menyimpulkan bahwa polusi cahaya berpengaruh terhadap ketinggian Matahari sebagai penentu awal waktu shubuh. Selain itu, tinggi Matahari yang terendah yaitu - 16,48° untuk data SQM yang mengarah ke Zenit.
Pastron UAD juga menggunakan SQM yang diarahkan ke Zenit. Pengambilan data dilakukan di Kabupaten Bantul, Kota Yogyakarta, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunungkidul. Polusi cahaya di Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunungkidul lebih baik daripada kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Penelitian dilakukan pada 2016 (Syakban 1437 H - Rabi'ul Awal 1438 H), 2017 (Rabi'ul Akhir 1438 H - Rabi'ul Akhir 1439 H), dan 2020 (Syakban 1441 H). Moving Average juga digunakan untuk mengolah data SQM. Pastron UAD menyimpulkan nilai TKL dipengaruhi oleh fase Bulan selain adanya polusi cahaya. Hal ini juga memengaruhi nilai tinggi Matahari sebagai awal waktu Shubuh. Semakin tinggi polusi cahaya maka awal waktu shubuh yang diperoleh dari pengolahan data menjadi lebih siang daripada waktu dengan menggunakan perhitungan ketinggian Matahari -20°. Tinggi Matahari yang terendah yang berhasil diukur yaitu -15,75°.
ISRN UHAMKA selain menggunakan SQM juga memakai kamera DSLR, kamera All-Sky, kamera smartphone, dan kamera Drone. Pengambilan data dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia (Depok, Bogor, Bekasi, Tangerang, DKI Jakarta, Cirebon, Gunung Kidul, Labuanbajo, Bitung, Balikpapan, Manokwari) dan luar negeri (Inggris, Amerika Serikat, Malaysia, Mesir, Turki, dan Saudi Arabia). Pengambilan data dilakukan dari 2017-2020 (Jumadil Akhir 1438 H - Zulkaidah 1441 H). ISRN menyimpulkan dari 750 hari data Shubuh (data terbit fajar) berbagai daerah di dunia beragam, yaitu -18,4°, -18°, -17°, -16°, -15°, -14°, - 13°, -12°, -11°, -10°, -9°, -8°, -7°. (selengkapnya lihat lampiran 1).
Selain hasil riset 3 lembaga internal tersebut, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengundang para pakar astronomi dari Institut Teknologi Bandung, yaitu, Dr Dhani Herdiwijaya, MSc dan Dr Mahasena Putra. Hasil kajian keduanya dapat dipahami bahwa mayoritas ketinggian matahari awal Shubuh adalah minus 18o. Hasil riset yang sama disampaikan oleh para peserta Munas Tarjih, seperti Sugeng Riyadi, Bahrul Ulum, dan Adi Damanhuri. Begitu pula hasil riset yang berjudul Reevaluation of The Sun's Altitude for Determination Beginning of Fajr Prayer Times in Malaysia oleh Mohd Zambri Zainuddin dkk menyimpulkan bahwa ketinggian matahari awal waktu shubuh minus 18°. Sebagai perbandingan, sejumlah negara juga menggunakan kriteria awal waktu Shubuh pada ketinggian matahari minus 18° seperti, Turki, Inggris, Perancis, Nigeria, dan Malaysia.
Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa persoalan penentuan saat terbit fajar sebagai awal waktu shubuh merupakan persoalan ijtihadi. Untuk itu, melalui proses kajian yang mendalam baik aspek Syar’i maupun hasil observasi sesuai Manhaj Tarjih yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid dan mempertimbangkan kemaslahatan, maka Munas Tarjih ke-31 pada tanggal 14 Rabiul Akhir-5 Jumadil Awal 1442 H/ 29 November–20 Desember 2020 menetapkan ketinggian matahari awal waktu shubuh adalah -18° (minus 18 derajat) di ufuk bagian timur.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM Edisi 19 Tahun 2021


