Menuntut Ilmu dengan Membaca Tanpa Guru
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr.wb.
Bakda salam, saya anggota Muhammadiyah dan pembaca Majalah Suara Muhammadiyah. Selama ini dalam pikiran saya selalu ada ganjalan, yaitu tentang ilmu. Kebetulan saya tidak menuntut ilmu di pesantren, hanya sekolah tamat PHIN Yogyakarta muridnya alm. Mbah KH Baqir Sholeh dan Mbah KH Bachron Edrees, sehingga ilmu yang saya dapatkan paska sekolah adalah dengan cara membaca. Akhir-akhir ini saya sering membaca di media sosial terutama postingan dari warga salah satu ormas Islam, bahwa ilmu yang didapat dengan cara membaca adalah sesat sebab ilmu agama harus digurukan melalui pesantren, dan orang yang mendapat ilmu dengan cara membaca (di buku, majalah bahkan kitab-kitab terjemah dari salah satu ormas Islam) tidak boleh berdakwah. Atas kasus ini, saya mohon pencerahan dari Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan mohon dimuat dalam rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah.
Nasrun minallahi wa fathun qarib.
Wassalamu ‘alaikum wr.wb.
H M Mashduqi Syam, Pimpinan Cabang Muhammadiyah Ayah, Kebumen (Disidangkan pada Jumat, 1 Rabiulawal 1443 H / 8 Oktober 2021 M)
Jawaban:
Wa‘alaikumussalam wr.wb.
Terima kasih atas pertanyaan yang diajukan. Substansi pertanyaan Bapak sebenarnya pernah dibahas oleh Tim Fatwa pada rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 18 Tahun 2016 dengan judul Bersambungnya Sanad Ilmu. Silakan Bapak membaca fatwa tersebut. Meskipun demikian, kami akan berupaya menjawab pertanyaan Bapak yang apabila disimpulkan sekurang-kurangnya terdapat dua pokok pembahasan, yaitu,
Pertama, tentang ilmu yang didapatkan tanpa perantara guru. Islam adalah agama yang memuliakan ilmu. Setiap ajaran yang terkandung di dalamnya membutuhkan ilmu untuk mempelajari dan mengamalkannya. Bukan tanpa sebab, Allah sendiri telah menyebutkan tentang keutamaan orang yang beriman sekaligus berilmu dalam Al-Qur’an sebagai berikut,
... يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ.
... niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan [Q.S. al-Mujadalah (22): 11].
Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim, sebagaimana hadis riwayat dari Anas bin Malik sebagai berikut,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
Dari Anas bin Malik (diriwayatkan) ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim [H.R. Ibnu Majah, no. 224].
Banyak cara atau jalan yang bisa ditempuh untuk mendapatkan ilmu, salah satunya dengan cara berguru. Hal ini senada dengan firman Allah swt berikut ini,
... فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ
Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui [Q.S. an-Nahl (16): 43].
Dari ayat 43 surah an-Nahl di atas dapat ditarik pemahaman bahwa ada salah satu metode dalam mencari ilmu berupa bertanya langsung kepada orang yang ahli atau memiliki penguasaan terhadap ilmu tertentu. Namun demikian, seiring dengan perkembangan zaman, proses pembelajaran atau thalabul-‘ilm mengalami perubahan yang signifikan. Pada zaman yang serba digital sekarang ini, belajar tidak hanya terbatas pada lingkungan pendidikan formal saja. Era keterbukaan informasi membuat orang dengan mudah mengakses segala hal bahkan dengan menggerakkan jempol saja. Di samping itu, buku-buku pengetahuan juga mudah dijumpai di mana-mana, sehingga ilmu bisa dengan mudah didapatkan.
Membaca merupakan anjuran kepada umat Islam sebagai salah satu metode dalam menambah wawasan keilmuan. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai berikut,
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan [Q.S. al-‘Alaq (96): 1].
Selain itu, membaca buku juga mendapat porsi yang tidak kalah penting dalam proses belajar. Bahkan hal tersebut merupakan salah satu metode dalam meriwayatkan hadis, yaitu dengan cara al-munawalah, berupa murid yang mengambil hadis dari gurunya dengan perantara kitab atau buku yang diberikan oleh guru tersebut. Dengan kata lain, buku yang dibaca sudah masuk dalam kategori sanad yang sama bersambung dan sama kedudukannya dengan berguru selama dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual. Pendapat ini juga diperkuat dengan mahfudzat bahasa arab yang digubah oleh al-Mutanabi, seorang penyair kenamaan pada era Khilafah Abbasiyah, yaitu,
خَيْرُ جَلِيسٍ فِي كُلِّ الزَّمَانِ كِتَابٌ
Sebaik-baik (teman) duduk sepanjang waktu adalah buku.
Pandangan ini sekaligus menguatkan posisi membaca dalam belajar. Lebih dari itu, buku memiliki kedudukan yang sama dengan guru dalam perspektif faedahnya, yaitu sumber ilmu dan pengetahuan. Bahkan, buku memiliki keunggulan khusus seperti keleluasaan untuk dipelajari bagi semua kalangan dibandingkan guru yang pada masa kini memerlukan proses pendidikan formal yang cenderung eksklusif dan memerlukan persyaratan khusus.
Adapun mengenai sanad keilmuan, secara umum bukanlah tradisi yang disyariatkan dan hanya sebatas anjuran dalam menuntut ilmu. Namun demikian, eksistensinya tetap diperlukan dalam beberapa disiplin ilmu tertentu, dalam beberapa bidang ilmu seperti periwayatan hadis yang menuntut ketersambungan sanad, sebab hadis berfungsi sebagai dalil agama. Pertimbangan ini juga hendaknya menjadi perhatian bahwa dalam memilih sumber bacaan atau buku, sebab walaupun tidak memerlukan sanad, sikap selektif hendaknya tetap harus dipegang guna menghindari miskonsepsi dalam memahami ilmu. Buku atau bacaan harus bersumber dari penulis yang dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan keilmuannya.
Kedua, tentang berdakwah dengan menggunakan ilmu yang didapat dari membaca. Berdakwah, hakikatnya merupakan suatu kewajiban, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an berikut ini,
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung [Q.S. Ali Imran (3): 104].
Ayat di atas secara jelas menyebutkan mengenai anjuran untuk berdakwah melaksanakan amar makruf nahi mungkar, yaitu mengajak kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran. Kebajikan dalam hal ini ialah hal yang benar dan masih dalam batas koridor Islam. Adapun kepastian mengenai batas kebenaran ini ialah dengan bersumber langsung kepada Al-Qur’an dan as-Sunah. Kemudian jalan menuju kedua sumber tersebut haruslah dengan ilmu yang bisa didapat melalui membaca maupun berguru secara langsung. Hal inilah yang menjadi modal utama dalam berdakwah.
Hal yang perlu dihindari justru berdakwah tanpa ilmu yang memadai. Sebab, keadaan tersebut bisa memicu disinformasi yang menimbulkan pemahaman yang kurang tepat bahkan bisa berujung kepada penyesatan publik. Situasi inilah yang pernah diperingatkan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadis,
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا [رواه البخاري].
Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash (diriwayatkan bahwa) ia berkata : aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda : Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan [H.R. al-Bukhari, no. 100].
Pada hadis tersebut Rasulullah mengingatkan segenap umatnya untuk berhati-hati dengan karakteristik orang yang berfatwa tanpa ilmu. Selain itu, hal tersebut juga memuat pesan supaya umat Islam tidak terjatuh ke dalam sifat tercela tersebut. Peringatan ini sekaligus merupakan nasihat untuk tetap bermuhasabah dan mawas diri untuk senantiasa belajar dan menghindarkan diri dari perilaku merasa cukup. Sikap inilah yang menjaga diri dari pribadi yang jahil, yang salah satu indikasinya ialah sesat lagi menyesatkan, sebagaimana hadis di atas.
Adapun mengenai ketidakbolehan berdakwah sebab tidak belajar dari seorang guru, pada dasarnya merupakan tindakan kehati-hatian (ihtiyat) dari pemahaman yang kurang utuh apabila belajar tanpa guru. Tetapi apabila pemahaman pada suatu ilmu itu sudah memadai, maka tidak ada masalah berdakwah dengan ilmu yang didapat dari membaca.
Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami bahwa mempelajari ilmu dapat ditempuh dengan berguru kepada para ulama dan cendikiawan yang memiliki integritas dan kompetensi keilmuan dalam bidangnya dan dapat juga dilakukan dengan cara membaca buku atau kitab secara selektif dari para penulis yang juga memiliki integritas dan kompetensi keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga ilmu yang didapatkan diyakini kebenarannya. Ilmu yang diperoleh dengan berguru secara langsung maupun membaca buku tersebut boleh digunakan sebagai bekal untuk berdakwah, selama tidak menyelisihi perkara-perkara pokok agama seperti akidah dan keimanan.
Namun demikian perlu dimengerti pula bahwa ada ilmu yang memang harus dipelajari dengan bimbingan guru atau ulama, ilmu syariat misalnya. Ketika seseorang mempelajari ilmu syariat, maka ia harus belajar di bawah bimbingan guru atau yang kompeten di bidangnya. Ilmu syariat tidak dapat dipelajari secara otodidak atau dengan guru yang salah, sebab jika hal itu terjadi, maka ia bisa terjebak pada kesesatan dan penyimpangan tentang makna dan tujuan syariat. Hal ini akan membahayakan bagi dirinya dan umat. Tetapi, jika seseorang pernah belajar ilmu agama (seperti Ulumul-Qur'an, Nahwu, Sharaf, Fikih, dan sebagainya) secara mendalam dengan guru atau ulama yang kompeten, kemudian ia ingin mengulangi untuk mempelajarinya, maka ia boleh mempelajarinya sendiri dengan maksud mendalaminya.
Di sisi lain, ilmu-ilmu duniawi yang mengharuskan keberadaan guru dalam mempelajarinya, maka ilmu itu pun tidak boleh dipelajari dan dipraktikkan secara otodidak, sebab hal itu akan berbahaya bagi keselamatan umat manusia (misalnya ilmu kedokteran, penerbangan, navigasi pesawat, dan sebagainya). Sementara itu, ilmu-ilmu duniawi yang siapa pun bisa mempelajarinya secara otodidak, karena tidak terkait langsung dengan keselamatan umat manusia, maka tidak mengapa baginya untuk belajar tanpa guru.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 05 Tahun 2022