Literasi Umat di Era AI: Tantangan Baru Majelis Pustaka dan Informasi
Oleh: Rusydi Umar, Dosen S3 Informatika UAD, Anggota MPI PP Muhammadiyah 2015-2025
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah membawa perubahan yang masif dalam kehidupan manusia. AI bukan lagi sekadar wacana futuristik, melainkan realitas yang kini mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan: pendidikan, bisnis, kesehatan, dan bahkan cara umat beragama memperoleh informasi. Pertanyaan penting yang muncul adalah: di mana posisi umat Islam dalam menghadapi era ini? Dan bagaimana Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Muhammadiyah mengambil peran strategis?
Era AI memberikan dua wajah: kemudahan dan tantangan. Di satu sisi, AI mempermudah akses informasi, mempercepat kerja, dan membuka peluang inovasi dakwah digital. Namun di sisi lain, ia membawa gelombang informasi yang tak terkendali. Disinformasi, hoaks, manipulasi opini, hingga algoritma yang membentuk “ruang gema” (echo chamber) adalah tantangan serius.
Ironisnya, kemajuan teknologi tidak otomatis meningkatkan kualitas literasi umat. Banyak yang mengira literasi berarti sekadar “mampu membaca”, padahal dalam konteks digital dan AI, literasi mencakup kemampuan kritis menilai informasi, etika penggunaan teknologi, serta kesadaran terhadap dampak sosialnya.
Survei literasi digital di Indonesia menunjukkan skor masih rendah, khususnya pada aspek critical thinking dan keamanan digital. Ini berarti umat berpotensi menjadi konsumen informasi yang pasif, bahkan korban propaganda digital, jika tidak dibekali kecakapan literasi baru.
Majelis Pustaka dan Informasi: Garda Depan Literasi Umat
Muhammadiyah sejak awal dikenal sebagai gerakan pencerahan (tanwir), yang menjadikan ilmu dan teknologi sebagai instrumen dakwah. Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) lahir untuk memastikan semangat ini terus hidup dalam lanskap digital. Namun, masuknya era AI mengharuskan MPI memperbarui strategi.
Tantangan MPI hari ini tidak sekadar mengelola arsip atau media, melainkan mengawal literasi digital umat di tengah arus algoritmik. Informasi kini bukan hanya teks dan gambar, melainkan produk AI seperti deepfake video, chatbot generatif, dan konten otomatis yang sulit diverifikasi. Jika umat tidak dibekali literasi yang memadai, maka hoaks keagamaan, fatwa instan berbasis AI, hingga manipulasi identitas digital bisa menjadi fitnah besar.
MPI perlu memposisikan diri sebagai kurator informasi terpercaya. Artinya, tidak hanya memproduksi konten dakwah yang berkualitas, tetapi juga memberikan panduan kepada umat: bagaimana mengenali kebenaran informasi, bagaimana menggunakan AI untuk kebaikan, dan bagaimana membangun budaya digital yang beradab.
AI adalah teknologi netral. Yang menentukan adalah bagaimana manusia menggunakannya. Di sinilah pentingnya etika Islam. Dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah, prinsip maslahah (kemaslahatan) dan adl (keadilan) harus menjadi rujukan. Pertanyaannya: apakah kita membiarkan AI menjadi alat kapitalisasi dan komodifikasi data umat? Ataukah kita menjadikannya sarana dakwah dan pemberdayaan? Jawaban ini sangat menentukan arah tajdid Muhammadiyah di era digital. MPI perlu mendorong pengembangan konten AI yang berorientasi pada amar ma’ruf nahi munkar sekaligus mencegah penyalahgunaan teknologi.
Contoh sederhana, chatbot AI bisa menjadi asisten dakwah yang membantu menjawab pertanyaan fikih dasar, tetapi harus dilengkapi dengan pengawasan manusia agar tidak menyesatkan. MPI juga bisa mengembangkan basis data digital untuk literatur Islam yang autentik, sehingga umat tidak terjebak pada sumber yang tidak sahih.
Strategi Literasi di Era AI
Lalu, apa langkah konkret MPI? Ada beberapa strategi yang dapat dijalankan:
Gerakan Literasi Digital Berbasis Masjid dan Sekolah. Masjid dan sekolah Muhammadiyah harus menjadi pusat literasi AI. Kajian rutin bukan hanya membahas fikih ibadah, tetapi juga fikih digital: bagaimana bermedia sosial yang beretika, bagaimana memahami privasi data, hingga bagaimana memanfaatkan AI untuk pendidikan dan bisnis yang halal.
Pelatihan dan Kurikulum AI untuk Umat. MPI bisa menggandeng Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) seperti perguruan tinggi untuk menyusun modul AI literacy. Materi ini penting agar umat tidak sekadar jadi pengguna, tetapi juga kreator teknologi yang berdaya saing.
Pusat Informasi Terpercaya dan Fact-Checking. Membangun portal informasi yang kredibel dengan verifikasi berbasis AI. MPI dapat mengembangkan sistem fact-checking untuk menangkal hoaks yang kerap beredar di media sosial.
Kolaborasi dengan Majelis Lain dan Ormas Islam. Tantangan AI bukan hanya masalah Muhammadiyah, tetapi umat Islam secara umum. Kolaborasi dengan Majelis Tarjih, Majelis Tabligh, bahkan lintas ormas diperlukan untuk membangun kesadaran kolektif.
Menyiapkan Umat Berkemajuan
Kita tidak bisa mematikan arus AI, tetapi kita bisa mengendalikannya dengan nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Literasi umat bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan. MPI harus menjadi penggerak utama, agar umat tidak sekadar “melek digital”, tetapi juga melek nilai. Era AI adalah ujian baru. Jika kita lengah, umat akan menjadi objek, bukan subjek. Namun jika kita sigap, AI justru menjadi ladang dakwah dan amal saleh. Sebagaimana pesan Kiai Ahmad Dahlan: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.” Kini, kita bisa menambahkan: “Hidup-hidupilah literasi, agar AI menjadi rahmat, bukan fitnah.”