Klaten, Suara Muhammadiyah - "Tanpa disadari, apa yang kita ucapkan dengan sebuah kata-kata bisa menjadi luka bagi orang lain."
Dalam sebuah kesempatan, penulis (Mbah Nini) dalam sebuah kajian keluarga menyampaikan beberapa hal pada anak-anak dan isterinya. Akan rasa syukur atas apa yang kita terima, selain itu juga dalam menghadapi ujian hidup sebagai cara dari Tuhan agar manusia itu dalam menyikapinya harus bijak dan objektif. Jangan lantas kita dengan mudah berprasangka buruk (Su’udzon), tapi harus berprasangka baik (Husnudzon). Oleh karena itu, sang penulis memberikan materi kajian keluarga yang mengulas Surat Al-Anfal ayat 17. Setelah itu penulis mengambil tiga amplop yang sudah disiapkan. Setiap amplop berisi uang mulai dari sepuluh ribuan, dua puluh ribu, serta tiga puluh ribu, dan sudah diberi kode angka di luar amplop.
Menurutnya, setiap yang menerima amplop dengan kode angka tersebut ada makna di balik kode itu. Maka setiap yang menerimanya harus paham dan menghayati apa makna kode angka itu, terang sang penulis (Mbah Nini).
Yang pertama, sang anak laki-laki Mas Ahmad menerima amplop berkode angka 1. Di dalamnya ada uang Rp10.000,- yang bermakna bahwa saat ini sang anak laki-laki sedang mencari jati dirinya karena menginjak remaja.
Sedangkan anak perempuannya menerima amplop berkode angka 2. Di dalamnya ada uang Rp20.000,- yang bermakna bahwa di usia 21 tahun ke atas, ia mempunyai dua hal yang harus dipersiapkan, yaitu menata kedudukan atau pekerjaan, dan mempersiapkan masa depannya dengan menjemput jodoh. Maka kematangan mental dan spiritual harus kokoh.
Yang ketiga, ketika sang isteri menerima amplop yang isinya Rp30.000,-, mempunyai makna: pertama, orang tua harus mempersiapkan anak-anaknya dengan daya upaya agar anaknya lebih baik; kedua, seorang ibu harus bisa menjadi jembatan yang baik untuk anak-anaknya agar paham dan menghayati kehidupannya; ketiga, seorang ibu mempunyai rasa tanggung jawab baik pada suami maupun keluarga besarnya.
Setelah selesai menerangkan pada isteri dan kedua anaknya, penulis (Mbah Nini) mengatakan bahwa nanti setelah selesai sholat Isya berjamaah, ia meminta kedua anaknya untuk sungkem pada ibunya. Dan sudah disiapkan ember yang sudah diisi air karena sang penulis (Mbah Nini) ingin mengajarkan nilai-nilai dan tata krama pada orang tuanya, terutama ibu yang harus dimuliakan.
Diawali anak perempuannya, ia membasuh kedua kaki sang ibu sambil meneteskan air mata dengan permohonan maaf, dan sang ibu dengan meneteskan air matanya dengan legawa memberikan maaf pada sang anak. Sang anak perempuan menyadari kesalahannya yang membuat kecewa dan menyakiti hati seorang ibu.
Hal yang sama juga dilakukan anak laki-lakinya, memohon maaf pada sang ibu. Sang ibu pun memberikan maaf serta memberikan petuah agar menjadi anak yang sukses dan juga anak yang sholeh.
Sebuah contoh di atas, kalau kita jujur, pasti setiap keluarga pernah mengalaminya. Dalam kehidupan ini, kadang kita dalam berinteraksi satu sama lain tidak disadari membuat luka hati seseorang, entah itu dalam konteks seorang anak kepada orang tuanya, orang tua kepada anaknya, seorang atasan kepada bawahannya, atau sebaliknya. Dan itu tidak bisa dipungkiri atau dihindari. Kita mungkin mendengar sebuah ungkapan dalam bahasa Jawa yaitu "Nglengganani lan Legawa." Sebuah ungkapan dua kalimat itu mengandung dua pesan.
Pertama, Nglengganani adalah sebuah sikap atau tindakan jika seseorang berbuat salah maka orang tersebut harus menyadarinya (Ngrumangsani) akan kesalahan yang ia perbuat, dengan meminta maaf pada orang yang disakitinya, dengan benar-benar tulus dan ikhlas.
Kedua, Legawa adalah sebuah sikap seseorang dengan berbesar hati, ketulusan, dan kebersihan hati menerima permintaan maaf dari seseorang yang telah menyakitinya. Dengan cara sungkem, yaitu sikap merunduknya seseorang yang meminta maaf kepada orang yang dimintai maaf.
Dalam konteks budaya Jawa, sungkem mempunyai makna yang luas berdasarkan konteks, yaitu sungkeman dalam pernikahan, sungkem di hari raya, sungkem seorang anak kepada orang tuanya, entah itu meminta maaf atas kesalahannya atau meminta doa restu dari kedua orang tuanya.
Sungkem antara Kultur dan Makna Kehidupan dalam Budaya Jawa
Dalam konteks ini, sebuah peradaban Jawa yang mengajarkan kultur yang baik dan penuh makna, para leluhur kita mengajarkan dengan "Sungkem" atau sungkeman.
Sebuah ungkapan dalam bahasa Jawa di atas mempunyai makna yang dalam, yaitu adanya kesadaran pada diri seseorang yang melakukan kesalahan atau kekhilafan terhadap orang tua atau orang lain sehingga perbuatannya bisa mengakibatkan rasa kecewa atau sakit hati.
Dengan menyadari kesalahan atau kekhilafan itulah, budaya sungkem mempunyai makna yang begitu dalam, yang mana para leluhur mengajarkan pentingnya nilai-nilai unggah-ungguh atau suba sita itu sendiri. Karena sungkemnya seorang anak kepada kedua orang tuanya menunjukkan baktinya seorang anak kepada bapak/ibunya. Dalam beberapa literatur diungkapkan makna dan filosofi dari sungkem itu sendiri, di antaranya adalah:
Wujud Bakti dan Hormat. Hal ini mempunyai pesan bahwa seorang anak harus taat dan berbakti kepada orang tuanya, dan bagaimanapun seorang anak harus menghargai dan menghormati kedua orang tuanya dalam interaksi sehari-hari.
Permohonan Maaf. Manusia pada hakikatnya sempurna dalam penciptaan, tetapi di balik kesempurnaan itu ada kekurangan yang manusiawi dan sunatullah. Kadang anak melakukan kesalahan pada orang tuanya atau sebaliknya. Maka dengan sungkem itu sebagai media untuk saling meminta maaf dan memberi maaf.
Rasa Syukur. Anak harus mempunyai rasa syukur kepada Allah bahwa melalui wasilah orang tuanya ia bisa tumbuh besar dan tercukupi, baik jasmani maupun kebutuhan rohaninya.
Mempererat Tali Silaturahim. Kadang karena kesibukan anak atau orang tua, komunikasi berkurang. Walaupun sekarang ada teknologi seperti video call, bertatap muka langsung tetap lebih terasa.
Nilai-nilai Luhur. Budaya sungkem mengandung nilai tentang pentingnya etika, moral, dan adab yang harus dijunjung sebagai bentuk implementasi nilai agama itu sendiri.
Introspeksi Diri. Lewat sungkem, ada pesan pentingnya introspeksi diri atas tutur kata, perilaku, dan tindakan kita terhadap kedua orang tua.
Penguatan Spiritual. Memberikan pesan bahwa kedua orang tua sebagai wakil Tuhan, karena dalam hadits dikatakan bahwa "Ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tua." Maka pentingnya seorang anak mendapatkan restu orang tua, baik dalam urusan jodoh, pekerjaan, dan sebagainya.
Pentingnya Merawat Tradisi Sungkeman
Seiring waktu dan perkembangan zaman di era disrupsi (perubahan) yang begitu cepat, kita tidak bisa melawan, tetapi kita harus beradaptasi tanpa meninggalkan kultur atau tradisi yang baik dan tidak bertentangan dengan agama yang kita anut. Budaya yang telah diajarkan dan diwariskan pada kita ini mempunyai nilai yang harus dijaga, dirawat, dan dilestarikan. Karena itu bagian dari menghargai warisan yang adi luhur.
Dari situ akan membentuk:
1. Memperkuat Jati Diri
2. Membangun Karakter
3. Mempererat Hubungan dalam Keluarga
4. Menjaga Harmoni Sosial
Maka dengan demikian, kita bisa menyelaraskan antara agama sebagai keyakinan kita dengan budaya sungkem sebagai bagian dari nilai yang diajarkan agama itu sendiri. Tradisi dan kultur ini perlu mendapat perhatian di tengah derasnya arus zaman di era modern yang membuat degradasi moral bangsa.