Membaca Pembeda antara Citra dan Watak Asli

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
272
Foto Ilustrasi

Foto Ilustrasi

Membaca Pembeda antara Citra dan Watak Asli

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua PRM Legoso, Wakil Sekretaris LPCRPM PP Muhammadiyah

Saya pernah diajak oleh almarhumah Emmy Hafild (Allāhu yarḥamuhā) untuk bertemu dengan Prof. Juwono Sudarsono, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Dalam pertemuan tersebut, beliau meneguhkan niatnya untuk membangun sistem dan praktik pengadaan alat-alat pertahanan secara transparan dan akuntabel. Pada akhir diskusi, beliau berpesan agar kita hendaknya lebih cermat dalam menilai karakter manusia. Baginya, manusia bisa tampil (seolah) sempurna di dua tempat yang berbeda: di layar televisi dan di dunia nyata. Hasilnya bisa sangat bertolak belakang secara ekstrem.

Pesan itu begitu melekat dalam ingatan saya. Saat itu, belum ada media sosial. Wajah dan karakter para politisi sering kali dinilai berdasarkan tampilannya di layar televisi, selain juga melalui media cetak dan radio. Media televisi paling mudah “terbaca” karena mampu menghadirkan tampilan hidup: wajah, ekspresi, dan ucapan seseorang secara langsung. Melalui tampilan itulah, para penonton menyimpulkan kesan baik atau buruk sesuai dengan penilaian masing-masing. Kesan itu bisa berlanjut ke banyak hal, mulai dari pujian, rasa hormat, hingga pada puncaknya menjadi pilihan politik.

Dalam sebuah perbincangan santai antarwarga Persyarikatan Muhammadiyah dari berbagai daerah, ada seorang warga yang berkomentar dengan logat kental Banyumas, mengomentari warga dari Jawa Barat:

"Bapak sih seneng nduwé Bapak Gubernur kayak KDM, dong ana masalah sithik mbok apa bae langsung ditangani. Lha Gubernuré nyong sih ngapain, kok nyong ora tau krungu kabaré déwéké ngapa."

Artinya dalam Bahasa Indonesia:

"Bapak sih enak punya Gubernur seperti KDM, ada masalah sedikit saja langsung turun dan menangani. Lha, Gubernur saya tidak ketahuan kabarnya. Saya juga tidak tahu dia sedang apa."

Gubernur Jawa Barat, KDM (Kang Dedi Mulyadi), memang tengah menjadi perbincangan banyak orang di media sosial. Ada yang menganggapnya sebagai sosok gubernur keren yang mau mendengarkan keluhan warga dan tanggap dalam menyikapinya. Ketika ada masalah di wilayah Jawa Barat, ia langsung turun untuk mendengar dan mencari jalan keluar bersama.

Namun, apresiasi itu tidak seragam. Ada juga warga Jawa Barat yang memprotes gaya politik KDM, yang menurut mereka hanya gimmick: datang ke tempat terjadinya masalah, berkomitmen menyelesaikannya, tetapi aksi nyatanya “jauh panggang dari api”. Ada keluhan warga Kota Bogor yang aktivitasnya terganggu karena masalah longsor di dekat wilayah Batu Tulis yang tak kunjung selesai. Kehadiran KDM belum mampu mempercepat penyelesaian pembangunannya.

Ada juga yang berpandangan bahwa KDM sejatinya tengah memainkan jalan populisme untuk tujuan politik jangka panjang. Tentu saja, pola yang diperankannya saat ini berbeda dari gaya populis para aktor politik sebelumnya. Gaya boleh berbeda, namun tujuan akhirnya tetap sama: ingin meraih jabatan politik jangka panjang yang lebih tinggi. Cara itu tidak salah selama tidak melanggar undang-undang. Namun, apakah itu cocok dan pantas, tentu tidak bisa digeneralisasi.

Dalam hal pujian ataupun kritik, seorang pemimpin tentu harus menyiapkan mental yang kokoh untuk mampu menerima keduanya. Berharap hanya mendapatkan pujian secara seragam dari seluruh warga, itu sama seperti berharap turunnya hujan emas dan perak dari langit—alias mustahil terjadi.

Secara alamiah, antara pujian dan kritikan akan selalu berjalan beriringan dan terjadi secara seimbang. Ketika seorang pemimpin politik berusaha keras memoles citranya agar terkesan baik demi meraih suara, maka saat itu pula akan muncul gerakan perlawanan yang justru memperlihatkan sisi sebaliknya. Dua kenyataan berlawanan itu akan selalu ada, ditampilkan oleh manusia yang memang memiliki watak dasar mendua: ada cinta dan benci di dalam jiwanya.

Ketika seorang pemimpin hanya mau menerima sanjungan dan puja-puji, maka sadarilah bahwa hal itu tidak akan datang cuma-cuma. Jika lengah, maka sejatinya ia tengah menyeruput racun yang tercampur di dalam kopi hangatnya. Kelak, pada waktu yang tepat, ia akan tumbang, jatuh terkapar oleh karena pujian. Sebaliknya, segala kritik dan cacian yang dianggapnya sebagai serangan bisa jadi akan menjadi obat penawar yang menyelamatkan jiwa seorang pemimpin.

Menilai Karakter Orang

Jika tulisan di atas adalah tentang bagaimana seharusnya seorang politisi bersikap dalam merespons penilaian warga, lalu sebagai warga pemilih dalam kontestasi politik, bagaimana seharusnya kita menilai karakter (baik–buruk) dari seorang calon pemimpin?

Ada nasihat kecil dari seorang teman dalam obrolan santai sambil ngopi, usai jalan pagi di pinggir kali kecil dekat masjid. Dia mengkritik ketika saya bercerita tentang seorang pemimpin ideal yang bisa berperilaku adil dan bijaksana dalam melayani rakyatnya. Baginya, itu mustahil. Mengapa? Karena ketika seorang pemimpin dinilai adil oleh saya, bisa jadi ia tidak adil bagi orang lain. Dan begitu pula sebaliknya. Maka, di dunia ini, tidak ada keadilan dan kebijaksanaan yang keluar dari seorang pemimpin yang berlaku pada semua tempat dan waktu.

Sebagai warga negara, kita harus mampu menciptakan keseimbangan yang bermuara pada wajah yang selalu bertolak belakang: ada pro, ada kontra; ada pujian, ada kritikan. Dengan begitu, maka seorang pemimpin akan selalu merasa dikontrol dan diingatkan atas segala kesalahan yang (pasti) pernah dilakukan. Maqam tertinggi seorang pemimpin hanyalah sampai pada level berusaha untuk bisa adil dan bijaksana.

Meskipun demikian, kembali pada pesan yang pernah disampaikan oleh Prof. Juwono Sudarsono: saya memang harus belajar cermat dalam menilai kepribadian orang lain, termasuk calon pemimpin. Lumrahnya, untuk mengetahui karakter asli seseorang, jangan hanya melihat dari nama besarnya. Karena nama—yang kerap identik dengan bahasa agama—tidak selalu mencerminkan kemuliaan nilai agamanya.

Tidak juga menilai watak seseorang hanya berdasarkan keturunannya. Karena ada jurang pembeda yang sangat dalam antara orang tua, kakek, nenek, atau paman dengan anak-cucu mereka. Menilai atas dasar suku dan marga juga sering kali keliru. Watak seseorang sama sekali tidak ditentukan oleh suku dan marga yang melekat padanya. Meskipun agama identik dengan ajaran kebaikan, namun menilai seseorang hanya dari agama yang dianutnya juga tidak akan selalu akurat hasilnya.

Salah satu cara menilai watak seseorang adalah dengan melihat saat ia sedang memperjuangkan kepentingannya. Amati ketika seseorang sedang ingin mewujudkan egonya. Dengan atau tanpa disadari, cara-cara seseorang itu akan menampakkan jati diri, sifat asli, dan watak dasarnya yang tercermin dalam perilakunya. Semua akan tampak nyata, jika kita jeli dan cermat memperhatikan.

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Muhammadiyah Bermuhasabah Oleh: Saidun Derani Menjelang tutup tahun 2023 dan memasuki tahun 2024 s....

Suara Muhammadiyah

30 December 2023

Wawasan

"Mencari Simpati Hati dan Suara Pemilih" Oleh: Rumini Zulfikar Pemilu Tahun 2024 saat ini memasuk....

Suara Muhammadiyah

1 December 2023

Wawasan

Ibu Cinta Terbaik untuk Semesta Oleh: Dr. Amalia Irfani, M.Si, Dosen IAIN Pontianak/Sekretaris LPP ....

Suara Muhammadiyah

23 December 2024

Wawasan

Menjadi Orang Tua Ideal (Bijak) di Era Digital Oleh: Wakhidah Noor Agustina, S.Si., Ketua Cabang &l....

Suara Muhammadiyah

26 October 2024

Wawasan

Salam Hormat untuk Bapak Ibu Guru Prof. Dr. Imam Sutomo, Ketua PDM Salatiga 2010-2022, Rektor IAIN ....

Suara Muhammadiyah

17 July 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah