Memuliakan Perempuan, Antara Kodrat, Iman, dan Tanggung Jawab Zaman

Publish

23 December 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
62
Foto Ilustrasi

Foto Ilustrasi

Memuliakan Perempuan, Antara Kodrat, Iman, dan Tanggung Jawab Zaman

Oleh: Ratna Arunika, Anggota LLHPB  PWA Jawa Timur

Peringatan Hari Ibu masih bergema dibeberapa penjuru negeri. Ungkapan terima kasih yang khidmat dan doa-doa yang terdengar tulus. Ibu dipuji sebagai sumber kasih, tiang keluarga, dan sekolah pertama bagi manusia. Namun di tengah pujian itu, kita jarang berhenti sejenak untuk bertanya dengan jujur sudahkah perempuan benar-benar dimuliakan sebagaimana ajaran agama memuliakan manusia? Atau jangan-jangan, kita hanya mengagungkan peran keibuannya, sambil melupakan martabatnya sebagai subjek moral yang utuh yang berpikir, memilih, dan bertanggung jawab di hadapan Tuhan? Hari Ibu seharusnya tidak berhenti pada perayaan pengorbanan, melainkan menjadi ruang muhasabah tentang bagaimana iman, budaya, dan struktur sosial kita memperlakukan perempuan, bukan hanya sebagai ibu yang melayani, tetapi sebagai manusia yang dimuliakan oleh Sang Pencipta.

Identitas dan peran gender tidak pernah lahir dari satu sumber tunggal. Ia terbentuk melalui pertemuan antara tubuh biologis, pengalaman psikologis, serta konstruksi sosial dan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Modernitas sering menyederhanakan persoalan ini menjadi dikotomi apakah peran perempuan ditentukan oleh kodrat biologis atau sepenuhnya oleh konstruksi sosial? Tulisan ini berangkat dari posisi reflektif bahwa manusia baik perempuan maupun laki-laki hidup di antara keduanya.

Dalam kajian psikologi evolusioner (David Buss, 1995) dan biologi sosial (E.O. Wilson, 1975), terdapat pengakuan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan biologis bawaan yang memengaruhi kecenderungan perilaku dan strategi adaptif. Perempuan, melalui fungsi reproduksi dan pengaruh hormon seperti oksitosin dan estrogen, cenderung memiliki keunggulan dalam empati, afeksi, dan relasi sosial. Sementara itu, testosteron pada laki-laki lebih berkaitan dengan kecenderungan kompetitif, dominasi, agresi dan pengambilan risiko.

Namun, temuan-temuan ini tidak pernah dimaksudkan sebagai penentuan mutlak atas peran sosial. Biologi memberi posisi awal, namun bukan batasan final. Perempuan tidak "diprogram" hanya untuk ranah domestik, sebagaimana laki-laki tidak secara alamiah ditakdirkan hanya untuk ruang publik. Biologi menyediakan fondasi potensi, tetapi arah aktualisasi potensi tersebut sangat ditentukan oleh lingkungan, pendidikan, dan nilai sosial.

Budaya dan Konstruksi Sosial

Antropologi dan sosiologi menunjukkan bahwa posisi sosial perempuan berubah seiring perubahan sistem nilai masyarakat. Apa yang dianggap "kodrat perempuan" sering kali merupakan tafsir budaya atas perbedaan biologis, bukan realitas biologis itu sendiri. Hasil penelitian neurosains modern juga menegaskan bahwa otak manusia baik perempuan maupun laki-lakibersifat plastis artinya ia dapat berkembang dan berubah melalui pengalaman dan pembelajaran.

Secara filosofis, perempuan adalah manusia utuh dengan kapasitas rasional, moral, dan spiritual yang setara dengan laki-laki. Simone de Beauvoir mengutip dalam kalimatnya yang cukup terkenal “Perempuan tidak dilahirkan, tetapi menjadi.” Pernyataan ini menegaskan bahwa identitas dan peran perempuan dibentuk oleh sejarah, kebudayaan, dan pilihan sadar bukan semata oleh tubuh biologis. Maka batas peran perempuan bukanlah pembatasan kemampuan, melainkan keseimbangan antara kodrta dan tanggung jawab.

Psikologi modern termasuk psikologi positif (Martin Seligman) menekankan bahwa kesejahteraan manusia tercapai ketika individu dapat mengekspresikan kekuatan psikologisnya selaras dengan nilai diri, bukan di bawah paksaan sosial. Dalam konteks perempuan, ini berarti peran sosial ideal tidak menafikan kodrat alaminya, tetapi juga tidak boleh membatasi potensi intelektual, profesional, dan moral. Dengan demikian, persoalan utama bukan memilih antara kodrat atau konstruksi sosial, melainkan menemukan keseimbangan yang memungkinkan perempuan berkembang sebagai manusia seutuhnya.

Sejarah menunjukkan bahwa posisi perempuan sangat bervariasi antarbudaya. Dalam hukum Romawi dan tafsir Aristotelian, perempuan diposisikan sebagai makhluk sekunder, tidak ada memiliki hak bicara dalam pernikahan atau transaksi lainnya dan tidak ada peran sosial yang diberikan untuk wanita. Tanpa hak hukum penuh, wanita dianggap berada dibawah perwalian.  Dalam Kode Hammurabi, perempuan berada di bawah otoritas laki-laki. Di beberapa tradisi India kuno, status perempuan sangat bergantung pada suami, bahkan hingga setelah kematian.

Dalam tradisi Yahudi klasik tertentu, perempuan dipandang sebagai pihak yang harus tunduk kepada laki-laki, sebagian karena narasi teologis tentang Hawa. Di Barat, hingga awal abad ke-20, perempuan lajang sering dianggap tidak cakap secara hukum tanpa wali. Perubahan signifikan baru terjadi melalui gerakan emansipasi di Inggris, Kanada, dan Prancis pada awal abad ke-20.

Perempuan dalam Sejarah Nusantara

Sejarah Nusantara memperlihatkan narasi yang lebih beragam. Dalam epos La Galigo atau Sureq Galigo (Bugis), perempuan menempati posisi sakral dan strategis, tidak sekedar sebagai pendamping laki-laki. Mereka berperan sebagai sebagai penasihat, penjaga moral, dan penentu keputusan politik. Seperti yang digambarkan dalam tokoh We Tenriabeng. Beberapa tokoh dalam La Galigo memiliki status bangsawan.  Sistem kekerabatan Bugis pra-Islam yang bersifat bilateral descent memberi perempuan status kehormatan sosial yang tinggi. Dalam epos ini menggambarkan perempuan dengan citra yang kompleks, memiliki peran aktif dalam menentukan arah kehidupan komunitasnya. Peneliti seperti Christian Pelras dan Nurhayati Rahman menegaskan bahwa konsep siri’ na pacce (harga diri dan empati) berlaku setara bagi semua gender. La Galigo memperlihatkan kesetaraan gender bukan ide modern, tetapi telah berakar dalam sistem budaya Bugis tradisional.

Pada era Hindu–Buddha, perempuan bangsawan memainkan peran penting dalam politik dan spiritualitas. Tokoh seperti Ratu Sima, Pramodhawardhani, Tribhuwana Tunggadewi, dan Gayatri Rajapatni menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan bukanlah anomali historis. Perempuan dihormati karena dianggap sebagai sumber kehidupan.

Dalam era Islam Nusantara, perempuan tetap berperan aktif dalam pendidikan, keagamaan, dan pemerintahan. Sultanah Aceh, Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Nyi Ageng Serang, dan Ratu Kalinyamat adalah contoh nyata keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan dan perjuangan melawan penjajahan.

Pada masa kolonial peran perempuan mengalami penyempitan dan tekanan, tetapi juga melahirkan kesadaran nasional  dan gerakan emansipasi. Dampak kolonialisme menyebabkan struktur patriarkal Eropa membatasi perempuan pada ranah domestik. Pendidikan untuk perempuan sangat terbatas, hanya bagi kalangan elit dan priyayi.

Namun kondisi ini justru melahirkan kesadaran perjuangan dan kebangkitan nasional. Sejarah Kongres perempuan 1 yang diadakan pada tanggal 22 desember 1928 yang akhirnya diambil sebagai peringatan Hari Ibu di Indonesia. Dalam kongres tersebut para utusan perempuan mengangkat isu pendidikan untuk anak perempuan, penghapusan kawin paksa, hak bersuara di ruang publik, dan perjuangan akan kesetaraan, martabat dan masa depan bangsanya.

Beberapa perempuan pelopor lahir di era kolonial ini, seperti tokoh emansipasi wanita, Raden Ajeng Kartini dari Jepara. Dewi Sartika, pendiri sekolah khusus perempuan di Bandung, Maria Walanda Maramis, penggerak hak politik dan penedidikan perempuan dari Minahasa. Martha Christina Tiahahu dari Maluku dan Cut Nyak Dien pejuang bersenjata melawan kolonial. Nyai Ahmad Dahlan (Siti Walidah) mulai merintis kegiatan pendidikan untuk kaum perempuan sejak tahun 1914 melalui kelompok pengajian bernama Soporesno. 

Lembaga pendidikan formal pertama yang didirikan di bawah naungan organisasi yang ia pimpin, Aisyiyah, adalah Taman Kanak-kanak (TK) Aisyiyah Bustanul Athfal (TK ABA) pada tahun 1919. Organisasi Aisyiyah sendiri diresmikan pada tanggal 19 Mei 1917. 

Melalui Aisyiyah, Nyai Ahmad Dahlan aktif mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama, serta program pendidikan Islam bagi perempuan, yang menjadi pelopor pendidikan perempuan di Indonesia pada masa itu

Dari keterbatasan kolonial lahirlah kesadaran nasional perempuan yang menjadi fondasi gerakan kemerdekaan. Pasca kemerdekaan, perempuan Indonesia memasuki babak baru, dari peran domestik menuju peran aktif dalam politik, ekonomi, pendidikan, dan pembangunan nasional. Meskipun banyak kemajuan, perempuan masih menghadapi tantangan dan ketimpangan. Seperti halnya kekerasan berbasis gender. Diskriminasi di tempat kerja Tantangan reprersentasi politik yang masih terbatas. Diskriminasi dan kesenjangan di dunia kerja, perempuan sering menghadapi diskriminasi gaji dan suliit mencapai posisi strategis. Hambatan akses pendidikan dan stereotip budaya yang masih kuat di sebagian wilayah.

Islam dan Martabat Perempuan

Dalam Islam, perempuan diakui sebagai subjek moral dan hukum. Al-Qur’an menegaskan bahwa nilai manusia ditentukan oleh amal, bukan jenis kelamin . Pada masa Nabi Muhammad saw., perempuan memiliki hak berbicara, belajar, dan mewarisi, sebuah perubahan progresif pada masanya. Tokoh seperti Sayyidah Aisyah r.a. menjadi rujukan ilmu pengetahuan dan hukum bagi laki-laki dan perempuan. Perempuan mendapat perlakuan istimewa seperti yang disampaikan putra khalifah Umar, Abdullah berkata, “kami memperlakukan wanita lebih baik saat Rasululllah saw. masih hidup karena kami khawatir akan datangnya ayat yang mengubah hal tersebut.”

Islam memandang perbedaan gender sebagai relasi saling melengkapi, bukan kompetisi. Perempuan memiliki fungsi rahmah, tarbiyah, dan hikmah, serta tidak dibatasi dari peran publik selama menjaga etika moral dan keseimbangan kehidupan.

Allah berfirman dalam Qs. Ali Imran (3):195

فَٱسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّى لَآ أُضِيعُ عَمَلَ عَٰمِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ ۖ بَعْضُكُم مِّنۢ بَعْضٍ ۖ فَٱلَّذِينَ هَاجَرُوا۟ وَأُخْرِجُوا۟ مِن دِيَٰرِهِمْ وَأُوذُوا۟ فِى سَبِيلِى وَقَٰتَلُوا۟ وَقُتِلُوا۟ لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّـَٔاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ ثَوَابًا مِّنْ عِندِ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلثَّوَابِ

“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan. (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain…..”

Dalam ayat tersebut Allah menyampaikan bahwa amalan seseorang dinilai tidak dari jenis kelamin. Namun Islam juga menetapkan fitrah berbeda antara  laki-laki dan perempuan saling melengkapi, bukan saling menyaingi. Perempuan memiliki fungsi rahmah (kasih sayang), tarbiyah (pendidikan), dan hikmah (kebijaksanaan). Islam tidak membatasi perempuan dalam bidang publik, selama menjaga etika moral dan keseimbangan peran keluarga.

Perempuan dan laki-laki tidak harus sama untuk menjadi setara. Kesetaraan terletak pada martabat dan peluang, bukan pada penyeragaman peran. Jika biologi adalah fondasi, maka budaya adalah arsitektur sosial. Tantangan manusia modern bukan meniadakan perbedaan biologis, melainkan mengolahnya menjadi harmoni sosial dan kemaslahatan bersama.Keseimbangan antara kodrat dan kebudayaan adalah kunci bagi kemanusiaan yang utuh di mana perempuan dapat berperan aktif dalam kemajuan zaman tanpa kehilangan jati diri biologis dan psikologisnya.

Dalam cahaya iman dan pengalaman sejarah, perempuan tidak pernah diciptakan untuk berada di pinggir kehidupan. Mereka hadir sebagai penopang peradaban, penjaga nilai, dan mitra sejajar dalam membangun masyarakat yang beradab. Hari Ibu, dengan demikian, bukan sekadar perayaan kasih, melainkan pengingat sunyi bahwa kemuliaan perempuan diukur bukan dari seberapa banyak ia berkorban, tetapi dari seberapa sungguh-sungguh martabatnya dijaga oleh keluarga, masyarakat, dan negara.

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Ketika Punakawan Harus Ikut Cacut Tali Wanda Oleh: Rumini Zulfikar Dalam pewayangan, kita mengenal....

Suara Muhammadiyah

12 February 2025

Wawasan

Klik Cepat, Berpikir Lambat: Filsafat Terabaikan oleh Masyarakat Instan Oleh: Riki Saputra, Pengaja....

Suara Muhammadiyah

30 July 2025

Wawasan

Implementasi Zakat untuk Pendidikan: Aktualisasi Nilai Agama yang Sesungguhnya Oleh: Muhammad Zakki....

Suara Muhammadiyah

14 February 2025

Wawasan

Oleh: Irwan Akib, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Sejak berdirinya 19 Mei 1917 hingga usia yang k....

Suara Muhammadiyah

19 May 2025

Wawasan

Pendidikan Nasional dan Kebangkitan Nasional Oleh: Mohammad Fakhrudin Ketika Perang Dunia II, pada....

Suara Muhammadiyah

18 May 2024