Memuliakan Tamu Kondangan (2)
Oleh: Mohammad Fakhrudin/Warga Muhammadiyah Magelang
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membebani hamba-Nya di luar kemampuan hamba itu. Hal itu dinyatakan di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2): 286
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦ ۖ وَٱعْفُ عَنَّا وَٱغْفِرْ لَنَا وَٱرْحَمْنَآ ۚ أَنتَ مَوْلَىٰنَا فَٱنصُرْنَا عَلَى ٱلْقَوْمِ ٱلْكَٰفِرِينَ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa), "Ya, Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya, Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya, Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami."
Salah satu contoh yang perlu kita pahami baik-baik adalah perintah shalat. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan muslim mukmin memenuhi panggilan-Nya agar shalat lima waktu sehari semalam. Namun, pada pelaksanaannya, bagi muslim mukmin yang mempunyai uzur tertentu misalnya masyafir, ada kemudahan berupa shalat jama’ qashar. Muslim mukmin yang tidak mampu berdiri untuk shalat, diberi kemudahan duduk. Jika duduk pun tidak mampu, ada kemudahan berikutnya, yakni berbaring.
Demikian pula halnya kewajiban berpuasa Ramadhan. Ada keringanan bagi muslim mukmin yang mempunyai uzur syar’i. Ada pilihan: qada atau membayar fidyah.
Betapa santunnya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia memberikan pilihan kemudahan kepada hamba-Nya dalam beribadah. Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya adalah teladan kita. Oleh karena itu, semestinya kita wajib berusaha mencontohnya.
Tuturan Opsional
Telah diuraikan di dalam “Memuliakan Tamu Kondangan” yang dipublikasi di Suara Muhammadiyah online 26 April 2025 bahwa ada tiga skala kesantunan berbahasa yang dipaparkan oleh Geoffrey Leech di dalam buku Principles of Pragmatics (1983:107-110). Satu di antara skala kesantunan berbahasa yang telah dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai kesantunan berbahasa sahibulhajat adalah biaya-keuntungan. Di dalam paragraf terakhir terdapat kalimat, “Betapa indahnya jika tamu dan sahibulhajat yang sama-sama beribadah saling memuliakan! Kita yakin bahwa hal itu pasti mendatangkan keberkahan.”
Isi kedua kalimat tersebut perlu mendapat penekanan kembali karena cukup banyak sahibulhajat yang berharap mendapat berkah, tetapi di dalam ikhtiarnya ada yang tidak sejalan. Hal ini dapat dilihat dari cara mengundang tamu, menyambut tamu, dan menjamu tamu.
Menurut skala kesantunan keopsionalan, tuturan dinyatakan santun jika mitra tutur (orang lain) diberi pilihan sebanyak-banyaknya. Untuk mengundang orang yang dihormati biasanya sahibulhajat hadir bersemuka dengan orang tersebut. Dia menyampaikan maksudnya secara lisan lebih dahulu sebagai pengantar. Jika hadir di rumah, biasanya sahibulhajat yang hadir adalah suami istri dan/atau calon pengantin.
Tuturan yang digunakannya cukup panjang. Berikut ini adalah penggalan contohnya,
“Terima kasih Bapak dan Ibu berkenan menerima kami. Maksud kedatangan kami, pertama untuk bersilaturahmi. Alhamdulillah Bapak dan Ibu dalam keadaan sehat. Kedua, insyaallah kami akan menikahkan anak kami Sabtu, 13 Dzulqa'dah 1446, bertepatan dengan 10 Mei 2025. Jika tidak ada uzur, Bapak dan Ibu kami mohon berkenan hadir untuk memberikan doa kepada kami.”
Di dalam tuturan sahibulhajat tersebut terdapat frasa, “Jika tidak ada uzur”. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna kata uzur dijelaskan, antara lain, halangan (yang menyebabkan orang tidak dapat pergi, bekerja, dan sebagainya). Tuturan tersebut memberikan pilihan kepada orang lain (mitra tutur). Pilihannya adalah (1) Jika tidak ada uzur, tamu diharap hadir sesuai dengan undangan dan (2) jika ada uzur, tamu dapat hadir sebelum atau sesudahnya.
Berkenaan dengan itu, semestinya sahibulhajat mempersiapkan diri kalau-kalau ada tamu yang hadir tidak sesuai dengan undangan. Dengan demikian, mereka pun disambut dan dijamu dengan baik. Jika hal ini dilakukan, pintu berkah dari langit dan bumi dibuka oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tindakan sahibulhajat tersebut merupakan salah satu wujud bahwa dia beriman dan bertakwa. Memuliakan tamu dengan cara memberikan kemudahan merupakan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya.. Dengan kata lain, dia tidak membebani orang lain di luar kemampuan orang itu.
Geoffrey Leech boleh jadi sama sekali tidak pernah membaca ayat 286 surat Al-Baqarah (2). Namun, di dalam karyanya yang berjudul The Pragmatics of Politeness (2014:96) dia menasehati agar penutur memberikan nilai rendah kepada kewajiban orang lain kepadanya. Timbul pertanyaan: apa yang dijadikan rujukan muslim mukmin menulis kalimat, “Tanpa mengurangi rasa hormat kami, mohon maaf kami tidak menerima tamu di rumah?”
Tuturan Insyaallah
Biasanya orang yang diundang mengucapkan, “Terima kasih dan senang sekali kami menerima undangan Bapak dan Ibu. Insyaallah kami hadir.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintah kita berucap insyaallah untuk perkara pada waktu yang akan datang sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat al-Kahfi (18): 23-24.
وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا
إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا
“Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan itu besok pagi,” (23) “kecuali (dengan mengatakan), “Insya Allah.” Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberi petunjuk kepadaku agar aku yang lebih dekat (kebenarannya) daripada ini.” (24)
Muhammad Zaenul Mujahid di dalam artikelnya yang berjudul “Kalimat Insyaallah dan Asal Usul Disyariatkannya” mengutip pendapat Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi bahwa setiap perbuatan manusia setidaknya mengandung lima unsur; pelaku, objek, waktu, tempat, dan sebab. Semua itu ada dalam kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kiranya sangat tepat ketika orang yang diundang berucap, “insyaallah”, sahibulhajat sudah mempersiapkan diri untuk menerima tamu yang hadir tidak sesuai dengan undangan. Berkaitan dengan itu, sahibulhajat telah siap dengan jamuan sejak H-1 sampai H+1 atau bahkan, sejak H-2 sampai H÷2. Bagi orang-orang tertentu, antisipasi yang demikian dianggap “ribet” (tidak praktis), dan menambah biaya.
Di dalam bahasa Jawa terdapat ungkapan, “Yen wani, aja wedi-wedi. Yen wedi, aja wani-wani.” (‘Jika berani, jangan bertindak setengah hati dan jangan takut menanggung resiko. Jika takut, jangan sok berani’.)
Tuturan Taklangsung
Skala kesantunan berbahasa ketiga yang dikemukakan oleh Geffrey Leech adalah ketaklangsungan. Penyampaian maksud penutur (baik pembicara maupun penulis) dapat dilakukan dengan cara langsung atau taklangsung.
Dengan merujuk kepada pendapat Asim Gunarwan di dalam artikelnya “Persepsi Kesantunan Direktif di dalam Bahasa Indonesia di antara Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta”, Rustono dan Mohammad Fakhrudin di dalam bukunya Pokok-Pokok Pragmatik (2024:119) menyatakan makin langsung penyampaian maksud tuturan, makin tidak santun suatu tuturan. Sebaliknya, makin tak langsung, makin santun. Tentu saja dalam konteks tertentu sebagaimana dikemukakan oleh Rustono dan Mohammad Fakhrudin di dalam buku tersebut (hlm.99) kelangsungan penyampaian maksud justru diutamakan.
Tuturan yang digunakan oleh sahibulhajat ketika akan menyampaikan undangan sebagaimana telah dikemukakan dan tuturan yang ditulis pada undangan umumnya memenuhi kesantunan berbahasa. Sahibulhajat menyampaikan maksudnya dengan memberikan pengantar lebih dulu.
Kalaupun ada, kiranya sangat sedikit sahibulhajat yang menyampaikan maksud mengundang (apalagi kepada orang yang sangat dihormatinya) dengan cara misalnya,
“Mohon kehadiran Bapak/Ibu/Saudara dalam resepsi pernikahan anak kami ….”
Sebelum kalimat tersebut, pasti ada kalimat yang difungsikan sebagai pengantar.
Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Santun. Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah insan mulia paling santun. Kita wajib berusaha mencontohnya.