Menakar Ulang Kepemimpinan IMM di Era Digital: Transformasi atau Degradasi?

Publish

3 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
28
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Menakar Ulang Kepemimpinan IMM di Era Digital: Transformasi atau Degradasi?

Oleh: Ahmad Syafii Hafid , Kader IMM Kota Makassar

Saya sering bertanya kepada diri sendiri: apa artinya menjadi pemimpin mahasiswa di zaman sekarang? Dulu, senior-senior kita bercerita tentang forum panjang di ruang diskusi, aksi jalanan, atau pamflet yang disebarkan dari kampus ke kampus. Hari ini, wajahnya berbeda. Satu unggahan di Instagram bisa lebih cepat menyebar daripada selebaran seribu lembar. Satu cuitan bisa menggerakkan massa lebih cepat daripada orasi di mimbar. Dan saya, sebagai Ketua Umum IMM Fakultas Pertanian Unismuh Makassar, merasakan langsung bagaimana era digital ini mengubah ritme kepemimpinan mahasiswa.

Tugas saya bukan hanya mengelola organisasi di ruang fisik rapat, diskusi, musyawarah tetapi juga merawat narasi di ruang digital. Kadang saya merasa dua dunia ini saling tarik-menarik. Di ruang nyata, kita bicara konsep, gagasan, dan strategi jangka panjang. Tapi di ruang digital, perhatian publik bisa hilang dalam hitungan detik jika kita tak segera mengemas pesan dengan singkat dan menarik. Di sinilah dilema itu muncul: bagaimana menjaga kedalaman tanpa kehilangan daya tarik?

IMM lahir dengan trilogi & trikoda yang khas: Religiusitas, Intelektualitas, dan Humanitas. Dan saya percaya, tiga nilai itu adalah kompas bagi kita untuk tetap tegak di tengah derasnya arus digital. Religiusitas mengingatkan saya untuk tetap berpegang pada nilai-nilai spiritual meski dunia maya sering bebas nilai. Intelektualitas menuntut agar setiap unggahan bukan sekadar konten viral, tetapi berakar pada bacaan, refleksi, dan diskusi serius. Humanitas menegaskan bahwa kepemimpinan IMM tidak boleh berhenti di layar gawai, tetapi harus berpihak pada rakyat kecil, pada persoalan nyata di sekitar kita.

Sebagai mahasiswa yang sedang belajar memimpin, saya melihat era digital bisa jadi jalan transformasi. Bayangkan jika IMM menggunakannya untuk memperluas kaderisasi: menggelar kelas virtual tentang Islam berkemajuan, membuat konten advokasi tentang krisis pangan yang saya lihat langsung di Gowa, atau menyuarakan nasib petani lewat kanal resmi organisasi. Semua itu mungkin. Saya sendiri merasakannya: saat kami menulis dan membagikan narasi perjuangan IMM Faperta di media sosial, suara itu bergema lebih luas daripada sekadar di ruang kampus.

Tapi saya juga khawatir, era digital bisa menjelma degradasi. Saya pernah melihat bagaimana forum musyawarah di komisariat lebih sepi daripada grup WhatsApp. Saya pernah mendapati kader lebih sibuk mengurus desain unggahan dibanding membaca materi kajian. Dan saya tahu, godaan untuk menjadikan organisasi sebagai panggung pencitraan pribadi itu nyata. Jika itu dibiarkan, maka kepemimpinan IMM hanya akan riuh di permukaan, tapi kosong di kedalaman.

Karena itu, saya ingin belajar menyeimbangkan. Saya ingin tetap hadir di forum musyawarah, tetap membaca buku, tetap menyapa petani yang menjadi mitra kegiatan IMM Faperta, tetapi juga tidak abai terhadap dinamika digital. Saya ingin memastikan bahwa setiap unggahan bukan sekadar gambar indah, tetapi juga pesan yang membawa trilogi IMM.

Bagi saya, menjadi pemimpin IMM di era digital bukan berarti tunduk pada algoritma, tapi berani menggunakannya untuk memperluas dakwah, kaderisasi, dan advokasi. Kepemimpinan hari ini bukan sekadar tentang siapa yang paling banyak pengikutnya, tapi siapa yang paling setia menjaga nilai.

Saya menulis ini untuk mengingatkan diri saya sendiri: bahwa menjadi pemimpin di masa depan bukan hanya tentang strategi, tapi juga tentang kejujuran pada nilai. IMM sudah memberi saya kompas itu. Tugas saya adalah memastikan kompas itu tetap memandu langkah, meski dunia terus berubah, meski layar gawai terus berganti, meski algoritma terus berputar.

Dan pada akhirnya, saya percaya IMM bukan sekadar organisasi mahasiswa. Ia adalah sekolah kepemimpinan yang menyiapkan kita bukan hanya menjadi pengurus komisariat, tetapi menjadi pemimpin bangsa. Maka, mari kita jaga IMM dari degradasi, mari kita dorong IMM menuju transformasi. Karena dari IMM, kita belajar satu hal penting: kepemimpinan bukanlah soal siapa yang paling depan, melainkan siapa yang paling setia berjalan bersama nilai.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Mencari Dunia Tanpa Harus Melupakan Akhirat Oleh: Suko Wahyudi,  PRM Timuran Yogyakarta  ....

Suara Muhammadiyah

25 January 2025

Wawasan

Catatan Buku "Andaikan Muhammadiyah Cuti Melayani" Oleh: Moh Yamin Darsyah, Mahasiswa S3 Philipines....

Suara Muhammadiyah

30 May 2025

Wawasan

Meneguhkan Sikap Beriman Terhadap Allah Oleh: Dr. Masud HMN, Dosen Universitas Muhammadiyah Prof. D....

Suara Muhammadiyah

10 May 2024

Wawasan

Membangun Sekoci-Sekoci Perkaderan Muhammadiyah di DIY Oleh: Iwan KC Setiawan (Wakil Ketua PWM DIY....

Suara Muhammadiyah

18 September 2023

Wawasan

Antara Tawakal dan Ikhtiar Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta Tawakal merupakan ibadah hat....

Suara Muhammadiyah

6 February 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah