Mengalir Bersama Kisah: Tercatat Tiga Tahun Beruntun di Daftar Top 2% Scientists Worldwide

Publish

22 September 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
52
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Mengalir Bersama Kisah: Tercatat Tiga Tahun Beruntun di Daftar Top 2% Scientists Worldwide

Oleh: Prof. Maila Dinia Husni Rahiem, M.A., Ph.D

Tahun ini, untuk ketiga kalinya berturut-turut (2023–2025), saya kembali tercatat dalam daftar Top 2% Scientists Worldwide atau Ilmuwan Paling Berpengaruh versi Stanford University/Elsevier. Pengakuan ini saya maknai sebagai amanah, penanda arah agar langkah riset tetap dekat dengan manusia—membantu guru dan orang tua, menguatkan kebijakan yang membumi, dan menumbuhkan keberanian anak-anak untuk belajar tanpa takut—bukan sebagai puncak.

Sering ada anggapan bahwa daftar tersebut identik dengan sains alam, teknik, atau komputasi. Memang, ekosistem publikasi Indonesia beberapa tahun terakhir kuat di bidang-bidang itu, sementara ilmu sosial, pendidikan, dan humaniora tumbuh dalam ritme berbeda. Pada arus seperti inilah narrative inquiry relevan: pendekatan yang mengajak menyimak cerita, menenun pengalaman, lalu menangkap makna yang kerap tersembunyi di balik angka.

Mengapa narrative inquiry penting bagi ekosistem ilmu Indonesia—bahkan dalam kerangka gerak dakwah kultural Muhammadiyah? Pertama, ia mengangkat suara yang sering hening: guru di sekolah negeri yang kreatif dengan sumber terbatas; orang tua yang bergulat dengan literasi; anak dan remaja yang membangun ketangguhan di tengah perubahan sosial; serta komunitas yang menafsirkan nilai agama dalam praktik keseharian. Narasi-narasi ini tidak sekadar cerita; ia memandu kebijakan yang lebih manusiawi, pendidikan yang lebih inklusif, dan intervensi sosial yang lebih peka konteks. Kedua, narrative inquiry menjembatani sains dan kemanusiaan. Dalam kebijakan pendidikan, angka capaian literasi dan numerasi memang penting, tetapi pemaknaan para pelaksana kebijakan, guru, dan peserta didik tidak kalah penting untuk memahami celah implementasi dan merancang perbaikan yang realistis. Pendekatan naratif membantu melihat blind spot di balik indikator, sehingga program berpeluang lebih hidup di lapangan. Ketiga, pendekatan ini kompatibel dengan semangat rahmatan lil ‘alamin. Muhammadiyah menekankan ilmu yang mencerahkan dan memberdayakan. Narasi yang jujur dan reflektif menjadi wahana memupuk empati, menimbang adab pengetahuan, dan menguatkan agency warga. Ia membantu membumikan sains agar tidak tercerabut dari manusia dan nilai.

Secara metodologis, narrative inquiry berangkat dari cerita kehidupan. Data utamanya ialah narasi—wawancara mendalam, catatan harian, dokumen, dan artefak—yang dibaca bukan sebagai rangkaian peristiwa semata, melainkan sebagai makna. Tiga porosnya ialah relasi sosial, lintasan waktu, dan konteks tempat. Pertanyaan yang dikejar tidak hanya “apa yang terjadi”, tetapi juga “bagaimana” dan “mengapa” manusia memaknai pengalaman, mengambil keputusan, bertahan, serta bertumbuh. Dengan cara ini, penelitian tidak berhenti pada potret keadaan; ia menolong pemahaman atas pola pikir, nilai, harapan, dan kegelisahan yang membentuk tindakan manusia.

Data tiga tahun terakhir menunjukkan arah yang kian menguat. Jumlah ilmuwan Indonesia yang tercantum pada daftar satu-tahun meningkat dari 92 orang pada 2023, menjadi 150 orang pada 2024, lalu 209 orang pada 2025. Sepanjang periode tersebut, lima bidang luas teratas konsisten dipimpin Kedokteran Klinis serta Teknologi Strategis dan Pendukung, diikuti Teknologi Informasi dan Komunikasi, Teknik, dan Kimia. Pada 2023, lima besar ialah Kedokteran Klinis (22), Teknologi Strategis dan Pendukung (18), Teknologi Informasi dan Komunikasi (13), Kimia (9), serta Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (6). Pada 2024, tiga teratas ialah Kedokteran Klinis (30) dan Teknologi Strategis dan Pendukung (30), disusul Teknologi Informasi dan Komunikasi (18), Teknik (16), dan Kimia (14). Pada 2025, Kedokteran Klinis (40) dan Teknologi Strategis dan Pendukung (38) tetap memimpin, diikuti Kimia (27), Teknik (24), serta Teknologi Informasi dan Komunikasi (22). Pola ini mengisyaratkan penguatan klaster kesehatan, teknologi strategis, komputasi, dan rekayasa—sekaligus membuka ruang kolaborasi lintas disiplin bagi pendidikan, sosial, dan humaniora untuk menerjemahkan temuan sains ke praktik yang membumi.

Di balik angka-angka itu terlihat ekosistem yang makin kolaboratif. Pada 2023, daftar Indonesia diwarnai kontribusi kuat kampus besar dan lembaga riset berjejaring internasional. Pola ini menguat pada 2024 dan 2025, ketika institusi papan atas tetap menonjol berdampingan dengan kampus daerah serta lembaga non-universitas yang kian produktif. Dari sisi gender, proporsi peneliti laki-laki memang masih lebih besar, tetapi jumlah peneliti perempuan meningkat dari 13 orang (2023) menjadi 18 orang (2024) dan 38 orang (2025). Kenaikan ini memberi harapan atas perbaikan keragaman dan kesempatan; pekerjaan rumah untuk memperkecil kesenjangan tetap perlu, terutama pada bidang-bidang yang selama ini sangat maskulin seperti teknologi strategis dan rekayasa. Di titik inilah narrative inquiry dapat membantu memetakan hambatan yang tidak terlihat—norma kerja, beban pengasuhan, dan akses jejaring—agar kebijakan afirmatif kampus serta lembaga riset lebih tepat sasaran.

Dalam keseharian, narrative inquiry hadir di tiga ranah. Di kelas dan sekolah, praktik ini menarasikan bagaimana guru menghidupkan STEM yang mudah, murah, menggembirakan, bermakna, dan mindful. Anak-anak menakar hujan di halaman, merawat kompos di kebun, atau merakit alat peraga dari bahan sederhana. Proyek-proyek kecil itu menyalakan logika sains sekaligus empati pada lingkungan. Di keluarga dan komunitas, narasi merekam perjalanan orang tua dan remaja menghadapi guncangan—mulai dari perubahan ekonomi hingga tantangan kesehatan mental—serta cara mereka membangun daya lenting. Di ranah kebijakan dan pelatihan, narrative inquiry mengurai proses para pelaksana program memahami pedoman, berinovasi dalam keterbatasan, dan berkolaborasi lintas lembaga agar gagasan tidak berhenti di dokumen.

Apakah kerja kualitatif seperti ini dapat berkontribusi pada pengakuan yang lazim diasosiasikan dengan sains eksperimental? Saya percaya dapat, dengan tiga syarat yang dijaga. Pertama, ketat metodologi—transparansi proses, keteguhan etik, dan kejelasan alur analisis. Kedua, relevansi dan kebaruan—temuan yang memberi kosa kata baru bagi praktik pendidikan dan kebijakan sosial, serta membuka jembatan antardisiplin. Ketiga, keberaksesan global—penulisan yang jernih, kanal publikasi bereputasi, dan jejaring kolaborasi yang hidup. Jika tiga hal ini dirawat, sitasi dan dampak hadir sebagai konsekuensi, bukan tujuan. Pada titik itu, pengakuan bibliometrik berfungsi sebagai pengingat agar ilmu setia pada realitas.

Pencantuman tiga tahun beruntun saya maknai sebagai undangan untuk memperluas manfaat. Ke depan, saya berkomitmen menjaga keilmuan publik—menulis dengan bahasa yang dapat diakses guru, orang tua, dan pengambil kebijakan tanpa mengorbankan ketelitian. Saya akan terus merawat jejaring lintas disiplin—mempertemukan sains data dan sains cerita agar kebijakan berbasis bukti sekaligus berakar pada pengalaman warga. Saya juga meneguhkan orientasi kemaslahatan—ukuran tertinggi riset ialah manfaatnya bagi kehidupan, terutama bagi mereka yang suaranya pelan dan kerap tidak terdengar. Bila pengakuan itu memacu untuk lebih sabar mendengar, lebih rapi menulis, dan lebih berani membela yang lemah suaranya, maka ia sudah berada di tempat yang tepat: menjadi pengingat agar ilmu tidak menjauh dari manusia.

Prof. Maila Dinia Husni Rahiem, M.A., Ph.D. adalah Guru Besar Pendidikan Anak Usia Dini dan Kesejahteraan Sosial di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau adalah Penasihat Ahli Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah serta Penasihat Ahli di Pusat Studi Kebijakan Publik Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, dan aktif sebagai ketua majelis PAUD Dikdasmen Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah Bojongsari. Fokus riset mencakup narrative inquiry, pendidikan dan resiliensi anak, serta implementasi STEM berbiaya rendah yang inklusif. Tiga tahun berturut-turut (2023–2025) tercatat dalam daftar Top 2% Scientists Worldwide versi Stanford University/Elsevier.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Bahagia Bersama 'Aisyiyah Oleh: Amalia Irfani, LPPA PWA Kalbar Bahagia merupakan keinginan atau tu....

Suara Muhammadiyah

14 January 2024

Humaniora

Melihat dari Dekat Negeri Tiongkok Melalui Provinsi Xinjiang dan Guangdong (1) Oleh: Ahmad Dahlan, ....

Suara Muhammadiyah

28 August 2024

Humaniora

Haedar Nashir dan Anwar Ibrahim Oleh: Sonny Zulhuda, Dosen International Islamic University Malaysi....

Suara Muhammadiyah

6 March 2025

Humaniora

Pagi Ceria di Klinik Aisyiyah "Rahmijah Kaduppa" Gowa Oleh: Haidir Fitra Siagian  Sebenarnya ....

Suara Muhammadiyah

3 August 2024

Humaniora

Anak Kampung: Belajar Bersama Prof Romo KH Abdul Mu’ti  Oleh: Saidun Derani, Dosen ....

Suara Muhammadiyah

21 October 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah