Mengapa Al-Qur'an Menyebut Pendeta sebagai Tuhan?

Publish

11 August 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
53
Dok Istimewa

Dok Istimewa

Mengapa Al-Qur'an Menyebut Pendeta sebagai Tuhan?

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas 

Saya hendak menyoroti salah satu ayat Al-Qur'an yang juga dijadikan sasaran kritik oleh pihak-pihak non-Muslim: Surah 9, ayat 31, "Mereka menjadikan orang-orang alim (pendeta) dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan (juga menjadikan) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan." Inti dari kontroversi ini adalah klaim yang terkandung dalam ayat tersebut bahwa umat Kristen dan Yahudi telah menganggap pemimpin agama mereka sebagai "tuhan-tuhan selain Allah."

Para kritikus Islam memang sering kali menuduh ayat ini sebagai kekeliruan fatal dalam Al-Qur'an. Alasan mereka adalah, baik umat Kristen maupun Yahudi, tidak pernah secara harfiah melakukan penyembahan terhadap pendeta atau rahib mereka. Kritik ini menunjukkan adanya kesenjangan pemahaman antara interpretasi harfiah dan makna yang lebih luas yang mungkin terkandung dalam ayat. 

Untuk mengklarifikasi makna Surah 9 ayat 31, saya ingin menyajikan argumen pertama yang bersumber dari sebuah hadits, yaitu catatan otentik mengenai perkataan, tindakan, atau persetujuan Nabi Muhammad. Hadits ini menceritakan sebuah dialog penting antara Nabi dan salah satu sahabatnya, Adi bin Hatim. Adi adalah seorang yang dulunya beragama Kristen sebelum memeluk Islam. Setelah mendengar ayat tersebut, ia mengungkapkan keberatan yang sama dengan para kritikus modern. Ia berkata kepada Nabi, "Kami tidak pernah menjadikan pendeta dan rahib kami sebagai tuhan-tuhan selain Allah."

Jawaban Nabi Muhammad SAW atas keberatan ini sangatlah mendalam dan menjadi kunci untuk memahami ayat tersebut. Beliau menjelaskan bahwa makna "menjadikan tuhan" dalam ayat itu tidak bersifat literal, melainkan merujuk pada otoritas yang diberikan kepada para pemimpin agama. Beliau bertanya kepada Adi, "Bukankah kalian mengikuti hukum dan fatwa yang mereka tetapkan, meskipun hal itu bertentangan dengan firman Allah?" Ketika Adi membenarkannya, Nabi menegaskan bahwa itulah bentuk "menjadikan mereka sebagai tuhan." Dengan kata lain, umat Kristen dan Yahudi secara tidak langsung telah menempatkan para pendeta dan rahib mereka pada posisi yang setara dengan Tuhan. 

Mereka lebih mengutamakan penafsiran manusia dan hukum buatan mereka daripada hukum ilahi yang telah ditetapkan Allah. Saya ingin menghubungkan penjelasan ini dengan kritik yang serupa yang pernah dilontarkan oleh Nabi Isa dalam Injil, di mana beliau mengecam orang-orang sezamannya karena membatalkan perintah Allah demi tradisi manusia. Dari sudut pandang Islam, hanya Allah, sebagai Pencipta alam semesta, yang memiliki hak tunggal untuk menetapkan aturan tentang apa yang halal (diperbolehkan) dan haram (dilarang). Oleh karena itu, ketika umat memberikan hak ilahi ini kepada pendeta dan rahib, mereka secara efektif mengangkat para pemimpin agama tersebut ke dalam peran yang seharusnya hanya dimiliki oleh Tuhan.

Saya juga ingin menawarkan perspektif yang jauh lebih dalam, menembus lapisan teologi Kristen yang kompleks. Ayat Al-Qur'an tersebut mungkin bukan kritik terhadap tindakan literal penyembahan, melainkan kritik teologis terhadap konsep pengilahian (atau theosis) yang sangat menonjol, terutama dalam tradisi Gereja Ortodoks Timur. Konsep ini meyakini bahwa manusia memiliki potensi untuk "diilahikan," yaitu menjadi seperti Tuhan atau bahkan mencapai status ketuhanan.

Bagi banyak penganut Ortodoks Timur, tujuan akhir kehidupan spiritual adalah apotheosis—proses transformasi untuk menjadi Tuhan. Ada kutipan pernyataan bersejarah dari salah satu bapa gereja awal, Irenaeus, yang mengatakan, "Tuhan menjadi manusia agar manusia dapat menjadi Tuhan." Kalimat ini dengan jelas menggambarkan keyakinan bahwa inkarnasi Yesus membuka jalan bagi manusia untuk mencapai tingkat ketuhanan. Kita bisa temukan adanya indikasi dalam Perjanjian Baru yang menyebutkan bahwa para pengikut Yesus akan "menjadi seperti dia" saat ia kembali. Jika keyakinan dasar adalah bahwa Yesus adalah Tuhan, maka pernyataan ini secara implisit berarti bahwa para pengikutnya juga akan mencapai status seperti Tuhan.

Dengan pemahaman ini, Al-Qur'an berbicara bukan tentang kesalahan faktual, melainkan kritik yang sangat tajam terhadap keyakinan teologis ini. Ketika Al-Qur'an menyatakan bahwa umat beragama menjadikan pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan, ini dapat diartikan sebagai teguran terhadap penghormatan yang berlebihan dan keyakinan akan potensi manusia untuk mencapai status ilahi. 

Dengan mengangkat pemimpin agama mereka ke posisi yang hampir suci atau bahkan menganggap mereka bisa mencapai status ilahi, mereka secara tidak sadar memberikan kehormatan yang seharusnya hanya milik Allah. Dengan demikian, Surah 9, ayat 31, bukan sekadar tuduhan keliru, melainkan sebuah analisis teologis yang mendalam dan sebuah peringatan untuk tidak mengaburkan batas antara Khalik dan makhluk.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Mempertimbangkan Perlunya Kampanye di Kampus Oleh: Dr Immawan Wahyudi PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI ....

Suara Muhammadiyah

22 September 2023

Wawasan

Oleh: Liliek Pratiwi, S.Kep., Ners., M.KM Tantangan disrupsi digital bagi mahasiswa yaitu sulit fo....

Suara Muhammadiyah

14 July 2025

Wawasan

Tentang Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) Oleh: Syamsul Anwar Kalender Hijriah Global Tunggal....

Suara Muhammadiyah

17 January 2024

Wawasan

Peran Orang Tua Mengajarkan Keselamatan pada Anak Oleh: Abdul Muhyi, Mahasiswa Institut Agama Islam....

Suara Muhammadiyah

14 December 2024

Wawasan

Problematika Wakaf Produktif di Indonesia Oleh: Ahmad Fauzi, Anggota LPCRPM PP Muhammadiyah Wakaf ....

Suara Muhammadiyah

15 March 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah