Mengapa Kita Tak Bebas Menurut Sains, Tapi Punya Pilihan Menurut Islam?

Publish

10 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
44
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Mengapa Kita Tak Bebas Menurut Sains, Tapi Punya Pilihan Menurut Islam?

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas 

Sebuah pertanyaan fundamental yang memicu perdebatan sengit dalam agama dan sains adalah: Apakah nasib kita sudah ditentukan sejak awal atau kita memiliki kehendak bebas untuk memilih jalan hidup kita? Bagaimana kita bisa menemukan titik temu antara kedua pandangan yang bertolak belakang ini?

Dari perspektif sains, tampaknya argumen yang mengarah pada takdir lebih kuat. Mari kita lihat alasannya. Sains meyakini bahwa keberadaan manusia adalah hasil dari evolusi buta, sebuah proses panjang yang tak disengaja. Dalam pandangan ini, kita hanyalah produk dari proses materialistis yang dapat diukur dan diprediksi. Setiap tindakan kita saat ini bisa dilacak kembali ke serangkaian sebab-akibat, mulai dari pengalaman masa kecil hingga faktor genetik. Dengan demikian, apa yang kita lakukan seolah-olah tak terhindarkan—kita tidak bisa lari dari apa yang sudah ditetapkan.

Tak hanya itu, sains juga menawarkan konsep waktu yang revolusioner. Salah satunya adalah gagasan "alam semesta blok" (block universe), di mana masa lalu, masa kini, dan masa depan sudah ada secara bersamaan dalam satu kesatuan. Bayangkan hidup kita seperti sebuah film yang seluruh adegannya sudah ada di dalam gulungan film. Kita hanya bergerak dari satu adegan ke adegan berikutnya, tanpa bisa mengubah apa pun yang sudah tertulis dalam skenario. Konsep ini menunjukkan bahwa masa depan kita sudah ada dan terukir, menunggu kita untuk mengalaminya. Jadi, apakah kita benar-benar membuat pilihan, atau hanya mengikuti naskah yang sudah ada?

Dengan dua gagasan ilmiah tadi, sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa hidup kita telah ditentukan. Pertama, karena otak kita hanyalah hasil dari program sebab-akibat yang tak terhindarkan. Jika seseorang menjadi kriminal, sains berargumen, itu karena riwayat masa lalu atau genetiknya. Orang itu tidak punya pilihan lain. Kedua, jika kita memang hidup dalam "alam semesta blok," masa depan kita sudah final. Tidak ada jalan untuk mengubah apa yang sudah tertulis di sana. Meskipun beberapa ilmuwan mencoba mencari jalan tengah—konsep "kompatibilisme"—banyak dari mereka tetap berpegang pada dua konsep ini dan menyimpulkan: kita tidak benar-benar bebas.

Di sisi lain, gagasan takdir juga ada dalam agama. Sebagian pandangan agama meyakini bahwa pengetahuan dan ketetapan Tuhan membuat alam semesta berjalan layaknya sebuah naskah yang sudah selesai—persis seperti deskripsi para ilmuwan tentang "alam semesta blok." Bagi mereka, semuanya sudah tetap dan kita tak bisa berbuat apa-apa. Pandangan ini, misalnya, dianut oleh kaum Calvinis yang berpegang pada ide predestinasi. Konsep ini bahkan tertulis dalam salah satu surat Rasul Paulus di Alkitab, di mana istilah "ditakdirkan" secara eksplisit digunakan untuk menggambarkan pandangan ini.

Di kalangan umat Muslim, perdebatan tentang takdir dan kehendak bebas sudah berlangsung sejak lama. Apakah kita hanya boneka yang digerakkan oleh nasib, atau kita memiliki pilihan atas hidup kita? Mayoritas umat Muslim berpegang pada pandangan bahwa keduanya saling melengkapi. Ada hal-hal yang sudah ditentukan oleh Tuhan—seperti orang tua, tempat, dan waktu kelahiran—yang tak bisa kita ubah. Namun, ada juga hal-hal yang berada di luar takdir tersebut, seperti pilihan untuk berbuat dosa atau kebaikan, yang mana kita akan dimintai pertanggungjawaban.

Jadi, dalam Islam, takdir dan kehendak bebas bukanlah dua konsep yang saling meniadakan, melainkan kombinasi yang harmonis. Tuhan memberikan kita kebebasan terbatas di dalam " batasan yang telah Dia tetapkan.

Bayangkan hidup kita seperti berada di jalan tol. Kita tidak bisa keluar dari pagar pembatas, tetapi di dalam jalur tersebut, kita sepenuhnya bebas untuk berpindah lajur, memilih jalur cepat atau lambat, atau bahkan mengambil jalan keluar menuju destinasi yang berbeda. Pagar pembatas itu adalah takdir, sementara kebebasan berpindah lajur dan memilih jalan keluar adalah kehendak bebas kita. Dengan cara ini, kita memahami bahwa Tuhan telah menetapkan beberapa hal, tetapi di saat yang sama, Dia juga memberi kita ruang untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihan kita.

Banyak orang salah paham tentang wahyu sebagai "tulisan ilahi" dalam Islam. Mereka menganggapnya sebagai naskah final yang membuat semua tindakan manusia sudah pasti dan tak bisa diubah. Namun, pandangan ini terlalu sederhana. Dalam Islam, takdir bisa ditulis secara bersyarat. Bayangkan, Tuhan menuliskan semua skenario hidup, bukan sebagai satu jalan tunggal, melainkan sebagai sebuah peta dengan berbagai kemungkinan.

Sebagai contoh, pikirkan seorang pemuda yang mendaftar ke beberapa universitas. Tuhan mungkin telah menuliskan: "Jika pemuda ini kuliah di Universitas A, ia akan bertemu calon istri dan membangun keluarga. Namun, jika ia memilih Universitas B, ia akan bertemu calon istri yang lain dan memiliki keluarga yang berbeda."

Dengan cara ini, segalanya sudah tercatat dalam lauhul mahfuz (lempengan ilahi), tetapi tulisan itu berbentuk "jika-maka." Manusia tetap memiliki kebebasan penuh untuk memilih jalan hidupnya, dan tulisan itu akan mengikuti setiap pilihan yang ia buat.

Meskipun Tuhan memiliki kendali penuh atas alam semesta, Dia memberi kita ruang untuk berkehendak. Ini berbeda dengan pandangan di kalangan ilmuwan yang meragukan apakah kita benar-benar punya kehendak bebas, bahkan beberapa di antaranya menyimpulkan bahwa kita hanya berperilaku seolah-olah kita bebas.

Konsep Islam menawarkan solusi yang lebih mendalam: kita memang memiliki kebebasan terbatas. Kita bebas bergerak dan membuat pilihan dalam batasan yang telah Tuhan tetapkan, dan di situlah letak tanggung jawab kita. Jika kehendak bebas hanyalah ilusi, maka hidup akan terasa tanpa makna. Bayangkan jika seorang ilmuwan berargumen bahwa penjahat melakukan kejahatan karena "sudah terprogram" oleh gen atau masa lalu. Jika demikian, bagaimana kita bisa menghukumnya?

Kita mungkin akan berpikir, "Kita tidak menghukum, kita hanya memenjarakannya untuk mencegah bahaya." Namun, bagaimana dengan hukuman lain seperti denda? Denda berfungsi sebagai pencegah, tapi jika seseorang memang ditakdirkan untuk mengulang kejahatannya, apakah denda akan efektif? Hal ini menciptakan teka-teki yang sulit dipecahkan: jika kita hanya berpura-pura bebas, berarti kita hidup dalam kebohongan besar.

Jalan keluar dari dilema ini adalah dengan kembali pada konsep Islam yang sederhana namun mendalam: Tuhan memegang kendali penuh, tetapi Dia memberi kita ruang untuk memilih. Kita memiliki kebebasan terbatas, yang memungkinkan kita membuat pilihan dalam batasan yang telah Tuhan tetapkan. Kita tidak bisa keluar dari parameter ini, tetapi di dalamnya, pilihan kita adalah milik kita sepenuhnya.

Jadi, untuk menjawab pertanyaan besar, "Apakah kita ditakdirkan atau bebas?" jawabannya adalah keduanya. Kita ditakdirkan dalam beberapa hal, tetapi kita juga bebas dalam beberapa hal. Dan hanya untuk hal-hal di mana kita memiliki kebebasan inilah kita akan dimintai pertanggungjawaban di Hari Penghakiman.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Trilogi Bagian Kedua: Suami istri Saling Menutupi Ketidaksempurnaan Pasangannya Oleh: M. Rifqi Ros....

Suara Muhammadiyah

24 November 2023

Wawasan

Against Zionist Narrative, Preventing The Next “Nakba” Mansurni Abadi  At dawn on....

Suara Muhammadiyah

16 October 2023

Wawasan

Mengenal Baitul Arqam dalam Muhammadiyah Baitul Arqam adalah suatu bentuk sistem perkaderan Muhamma....

Suara Muhammadiyah

15 April 2024

Wawasan

Homo Digitalis Kehilangan Titik Referensi Oleh: Agusliadi Massere Dalam narasi-narasi semiotik Yas....

Suara Muhammadiyah

10 November 2023

Wawasan

Mengurai Makna 'Nusyuz': Studi Komparatif Surah An-Nisa Ayat 34 dan 128 Oleh: Donny Syofyan, Dosen ....

Suara Muhammadiyah

19 April 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah