Muhammadiyah Aset Bangsa

Publish

20 February 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
225
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Muhammadiyah Aset Bangsa

Oleh: Saidun Derani

Dalam perjalanan pulang dari Kota Serang menuju Ciputat pasca menghadiri Rapat Koordinasi antar Majelis  yang digagas PWM Banten, atas usulan dari Majelis Pendayagunaan Wakaf, berlangsung Sabtu, 17 Februari 20024 bertempat di Pusat Gedung Dakwah PWM Banten, ada beberapa hal yang didiskusi dengan Dr. Afrizon Safri, M. Si, A. Kt, CA, seorang fakar keuangan dan financial serta seorang akademisi UMT dan Trisakti Jakarta. Beliau ini di Majelis Pendayagunaan Wakaf periode 2022-2027 sebagai Bendahara Wakaf Uang yang penulis sendiri adalah Ketuanya. 

Tema dan topik yang menjadi fokus diskusi adalah merespons berbagai jok-jok yang dilontarkan Ketua PWM Banten ketika memberi arahan dalam rapat yang dimaksud. Kelihatan sepele dan sederhana hal-hal biasa apa yang disampaikan Ketua PWM Banten tersebut. Akan tetapi jika dipikir secara detail dan mendalam persoalan menjadi serius dan diperlukan  pemikiran yang memfokus sistemik dan terukur.

Misalnya klu-klu yang disampaikan Dr. KH. M. Syamsuddin ketika menyebut Majelis Ekonomi, Wakaf dan Tabligh jangan sampai Asset Muhammadiyah yang seharusnya menjadi Omzet tiba-tiba di audit terakhir menjadi autside. Selain itu ada lagi jok-jok yang beliau sampaikan antara lain, nilai asset PWM Banten bagaimana supaya menjadi “lautan” kelipatannya bukan sebaliknya semakin mengecil sehingga menghilang dan tidak “terdengar” lagi hutan rimbanya sembari beliau tertawa terkekeh-kekeh. 

Demikianlah sepanjang jalan kenangan Serang-Ciputat  diselingi kemacetan ala Indonesia dan pernak pernik  manusia di pinggir jalan mencari “sesuap nasi” cukup juga menjadi “bumbu” diskusi kali ini.

Penulis terlupakan mengingatkan pembaca bahwa yang dimaksud asset adalah semua kekayaan yang dimiliki individu atau kelompok masyarakat dan bangsa  yang berwujud maupun tidak  berwujud yang memiliki nilai akan manfaat bagi setiap orang atau company dan  atau bangsa. Bisa berupa tanah, emas, barang berharga dll dan sebaliknya asset yang tak berwujud kebalikan dari asset yang berwujud.

Sedangkan Asset bisa diubah menjadi omzet dengan berbagai catatan, kata Ketua PWM Banten di atas. Harus memiliki jiwa visioner dan kreatif serta inovatif orang-orang yang dipercaya menjadi pengurus Muhammadiyah dan pengelola di AUM. 

Dalam konteks inilah maka omzet dimaknai dengan kelipatan hasil keseluruhan dari penjualan dan atau usaha sebuah produk yang memiliki nilai tambah. Demikianlah dalam hubungan  kelipatan hasil ini maka peranan team audit sangat penting untuk melihat naik turun sebuah asset dan keberhasilan pengurus PWM dan pengelola AUM

Kontribusi Muhammadiyah

Tidak ada yang meragukan mulai dari para pengamat Sosial, Sejarah, Politik dan Pendidikan serta Keagamaan bahwa Muhammadiyah memiliki peranan dan kontribusi yang sangat besar terhadap bangsa ini.  Apalagi orang yang pernah mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan Muhammadiyah dan pernah dibantunya seperti Dr. Dahnil Simanjuntak, Jubir Kementrian Pertahanan sekarang, untuk menyebut salah satu contohnya, ketika pendidikan SLTP/SLTA-begitu berarti bagi karirnya ke depan. Satu lagi Saidun Derani dan Dr. Sukidi orang yang memang dibantu secara material dalam karir akademisnya sehingga menjadi kayak sekarang.

Sukidi, seorang Pemikir Kebangsaan, alumni S1 Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ketika ingin meneruskan karir akademisnya ke Amerika Serikat khususnya di Harvard University,  uluran tangan Ketua PP Muhammadiyah 1998-2005, Prof. Dr. Buya Syafii Maarif (w. 2022) sebagai penjamin studi di sana.

Begitu juga dengan Saidun Derani, Anak  Rantau Bangka ini, ketika studi awal di IAIN Syahid Jakarta, tahun 1977-1978, merasakan sumbangan tempat tingal di Asrama Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) depan Kampus IAIN Jakarta, di mana penulis  mendapat tumpangan  di sana selama 1 tahun tampa STT (Sumbangan Tempat Tinggal) bersama Prof. Fathurahman Jamil, Prof.  Sudarnoto Abdul Hakim dan Buya Waliyul Amri karena sakin inginnya menjadi “orang” bukan “orang-orangan”. 

Sungguhpun hanya dapat mondok satu (1) tahun karena faktor harus bayar,  akan tetapi suasana asrama kayak medan “pertempuran” yang keras bagi membentuk mental dan sikap anak-anak muda yang ingin “menguasai” jagad dunia pendidikan. Jadilah alumni Asrama Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Ciputat secara mentality tahan banting dan ada kecendrungan berani mengambil resiko. 

Dengan kata lain kontribusi apalagi yang mau didustakan kepada Muhammadiyah oleh Saidun Derani, Sudarnoto Abdul Hakim, Fathurman Jamil, Waliyul Amri, dan Dahnil Simanjuntak, dan yang lain-lainnya, yang mereka ini sekarang telah ikut secara signifikan memberi sumbangan kepada rakyat Indonesia dalam hal mencerdaskan kehidupan anak bangsa. 

Dalam konteks inilah yang penulis sebut Muhammadiyah begitu berarti bagi orang-orang ini sehingga mereka sekarang dipandang Indek Manusia Indonesia  sebagai Manusia Indonesia yang berprestasi untuk Bangsa dan Negara. Tentu masih banyak lagi teman-teman penulis mondok di asrama tersebut yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Pra Kemerdekaan

Tonggak kelahiran Persyarikatan Muhammdiyah adalah 12 November 1912 bertempat di Kauman Yogyakarta dalam suasana kebudayaan Jawa yang kental. Ini artinya Muhammadiyah 33 tahun mendahului kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia  (NKRI) yang baru Merdeka pada 17 Agustus 1945.

Kalau ditelusuri latar belakang mengapa KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah sejauh studi penulis lakukan merupakan buah dan hasil dari interaksi beliau dengan tokoh-tokoh pergerakan khususnya keaktifan beliau di Budi Utomo dan inspirasi studi di Timur Tengah Haramain. Bahkan dikatakan bahwa para temannya di BO ini ikut memberi masukan tentang organisasi yang akan beliau dirikan.

Mbah Dahlan sangat gelisah dan peduli pasca pulang studi dari Haramain dengan anak bangsa di lembaga pendidikan  yang didirikan Belanda sebagai implementasi dari “Politik Asosiasi” Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang konseptornya adalah Prof. Christian Snouck Hurgronje (w. 1936). Sedangkan mereka ini dipersiapkan sebagai Pangreh Praja yang akan menjadi elite birokrasi dalam sistem budaya kolonial.

Dalam konteks inilah memahami perlawanan Mbah Dahlan terhadap sistem budaya penjajah yang digagas Pemerintah Kerajaan Protesthan Belanda. Dalam praktek di lapangan beliau sengaja meminta waktu untuk menyampaikan ajaran Islam kepada pada siswa yang belajar  di sekolah Belanda itu, yang secara resmi hanya Pastur dan Pendeta yang dibenarkan menyampaikan ajaran agama penjajah di sekolah-sekolah tersebut.

Mbah Dahlan juga menggagas pendidikan kaum perempuan dan hizbul Wathon sehingga lengkap lah sudah kegelisahan dan kepedulian beliau terhadap Nasib bangsa pada masa itu. Dampak dan pengaruh dari apa yang dilahirkan Dahlan sangat dahsyat menyadarkan anak bangsa betapa pentingnya menjadi bangsa yang merdeka dan terdidik.

Salah satu hasil didikan Muhammadiyah yang jarang diketahui rakyat Ibu Pertiwi adalah lahir seorang pemimpin bangsa Ir. H. Soekarno  yang dikemudian hari dikenal dengan “Diregent”  NKRI bersama Bung Hatta sebagai tokoh proklamator kemerdekaan RI.

Demikianlah kontribusi Muhammdiyah pra kemerdekaan terhadap bangsa Indonesia ini begitu besar melalui perlawanan non-fisik mengemanasi kesadaran rakyat melalui berbagai lembaga  pendidikan, PKU/kesehatan, sosial-home care sehingga sadar-sesadarnya  arti sebuah   kemerdekaan bagi sebuah bangsa. 

Dalam konteks  berbangsa dan bernegara ini juga Muhammadiyah lah yang  memplopori lahirnya sistem pendidikan yang tidak memisahkan makna spiritual (sakral) dan profan (dunia ansich) sehingga pemuda Indoensia tidak terbelah jiwanya sebagaimana manusia Barat yang sekuler. Tentu banyak kontribusi Muhammadiyah ketimbang narasi di sini pra kemerdekaan yang tidak bisa penulis sebutkan.

Pasca Kemerdekaan

Ada suatu peristiwa yang lepas dari penulisan resmi Sejarah Nasionan Indonesia (SNI) berjumlah 6 jilid dipimpin Prof. Sartono Kartodirdjo dari UGM tentang peran yang sangat signifikan salah satu tokoh yang melegendaris di Indonesia anak didik dan aktivis Muhammadiyah Banyumasan. Siapa dia dan dalam konteks apa kajadiannya?

Pasca Perang Dunia II 1945 sebagai pemenang perang Sekutu membuat sebuah Keputusan hasil meeting di Eropa Barat, Jerman,  bahwa negara-negara bekas jajahan negara pemenang PD II akan diambil kembali negara tersebut. 

Misalnya Ibu Pertiwi mantan jajahan Kerajaan Protesthan Belanda akan diserahkan kembali kepada negara Belanda. Demikinalah hasil rapat petinggi negara-negara super power waktu itu dengan Inggris dan Amerika Serikat sebagai komandannya.

Persoalan menjadi lain ketika mereka datang ke Indonesia bahwa rakyat Indonesia sudah menyatakan kemerdekaan dari penjajah Asia Negara Jepang, yang kalah perang untuk wilayah Asia Pasifik pada tanggal 17 Agustus 1945 dan bertekad bulat akan mempertahankan kemerdekaan itu. 

Mengapa bertekad bulat mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamirkan karena rakyat Indonesia sudah merasakan tidak enaknya menjadi rakyat terjajah, yang secara psikis direndahkan dan secara ekonomi diekploitasi untuk induk semang negara penjajah.

Tentara Sekutu datang ke Indonesia  29 September 1945 dipimpin Jenderal Sir Philip Christison  dengan membonceng NICA (Netherlands Indies Civil Administration-Pemerintah Sipil Hindia Belanda) merupakan otoritas sipil dan meliter yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah Belanda tahun 1944 sampai tahun 1947 untuk wilayah yang merupakan bekas jajahannnya.

NICA inilah yang berulah dan membuat keributan dengan menembak rakyat semaunya sehingga menimbulkan masalah serius terhadap eksistensi kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Kisah ini dapat dibaca dalam karya Kevin W. Fogg “Indonesia’s Islamic Revolution” terbitan Cambridge University Press, tahun 2020, agak lumayan luas wilayah kajiannya walaupun pembaca harus kritis menelaahnya.

Studi Saidun Derani, dkk dengan judul “Hizbullah: Kontribusi Para Meliter Islam Indonesia Masa Revolusi Pisik 1945-1949”, tahun 2019, menemukan bahwa perilaku  NICA di Jakarta, Bogor dan Jawa Tengah, membangkitkan kemarahan rakyat yang pada akhirnya semakin membulatkan tekad mempertahankan kemerdekaan Indonesia hidup atau mati.

Periode awal kemerdekaan administrasi negara dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) belum bagus-bagus amet. Sebagai salah satu contoh semangat juang tentara yang umumnya alumni didikan KNIL Belanda umumnya jiper alias takut karena faktor kalah dari aspek persenjataan. Kepada siapa Proklmator berharap?

Dalam situasi Indonesia yang rawan dan kebingungan  ini, Presiden RI Soekarno-Hatta, mengutus Jenderal Soedirman untuk menemui Mbah Hasyim di Jombang Jawa Timur mengabarkan situasi dan kondisi riil Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan apa tindakan yang harus dilakukan.

Tanpa pikir berlama-lama Mbah Hasyim mengundang elite NU dan umat Islam seluruh Jawa dan Madura mengadakan pembicaraan masalah yang diminta Presiden RI melalui utusannya seorang anak didik dan aktifis Muhammadiyah Jawa Tengah, Jenderal Soedirman, di Surabaya, dari tanggal 20-22 Oktober 1945. Hasil rapat memutuskan bahwa seluruh umat Islam wajib membela dan mepertahankan kemerdekaan di mana pun mereka berada. Dalam Sejarah Indonesia Keputusan rapat inilah dikenal dengan sebutan “Resolusi Jihad” 

Studi ini menemukan begitu dahsyat dampak dari Resolusi Jihad itu. Salah satunya adalah kasus Peristiwa 10 November 1945 sebagaimana disebutkan Prof Muhammad Wildan Gubes Sejarah dan Peradaban Islam di UIN Suka Yogyakrta,  di mana simbol-simbol Islam menjadi pembakar keberanian rakyat melawan tentara Belanda dan Sekutu.

Di Jakarta para ulama yang tadinya hanya mengajar di pondok-pondok pesantren menyikapi hasil Keputusan Surabaya itu bangkit melawan tentara Sekutu dan NICA dipimpin KH. Noor Ali, KH. Muhammad Arif, KH. Simbromalisi dan Kyai yang lainnya. Karena Jakarta menjadi pusat kekuatan Sekutu dan NICA akhirnya perlawanan rakyat terpaksa mereka melakukan di luar Jakarta. 

Di Bogor tidak jauh berbeda dipimpin para ulama melakukan perlawanan terhadap tantara Belanda. Bahkan di Jawa Tengah khususnya di Ambarawa tentara Sekutu dan Belanda dengan Teori Capit Udang Soedirman, dipaksa menyerahkan kalah.

Bukankah pimpinan perlawanan Hizbullah ini salah satunya adalah Mr. Kasman Singodimejo dari Muhammadiyah dan Jenderal Soedirman juga anak didik dan aktivis Muhammadiyah. Demikianlah betapa besar peran Muhammadiyah dalam konteks mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang waktu itu diambang kehancuran akibat ulah tantara Sekutu dan Belanda.

 Belum lagi peran Guru Muhammadiyah AUM di Jakarta kelahiran Garut, Ir. H. Djuanda, sebagai Perdana Menteri, mengendalikan negara tahun 1957, menjembatani keinginan  Bapak Revolusi dan ummat Islam di mana DN Aidit dkk mewakili PKI semakin besar pengaruhnya di Indonesia yang berakhir dengan lahirnya G 30 S PKI tahun 1965, sudah seharusnya mendapat apresiasi baik dari internal Muhammadiyah dan apalagi NKRI.

Bahkan di akhir hidupnya Ir. Soekarno bertanya mengapa tidak diminta uang kewajiban  sebagai anggota persyarikatan Muhammadiyah dan solat jenazahnya beliau meminta dipimpin oleh Buya Hamka. Pesan beliau ini dilaksanakan oleh keluarga biologisnya. Akan tetapi sayang sekali dalam Matkul PTM dan Mata Ajaran AIK di lembaga pendidikan Muhammadiyah termasuk Pak Harto sebagai orang Muhammadiyah kurang mendapat tempat sebagaimana mestinya.

Dr. Adian Husaini dalam karyanya “Beginilah Pendidikan Nasional Yang Ideal: Konsep, Aplikasi, Tantangan dan Aplikasinya” terbitan Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa Depok, tahun 2022, menyebutkan bahwa begitu penting belajar karakter dari tokoh Sejarah. Pada salah satu entri dengan judul “Pendidikan Sejarah Yang Benar, Kunci Kebangkitan Intelektual”, halaman 149-152 beliau menyimpulkan tidak diragukan lagi begitu central peran pendidikan sejarah dalam kebangkitan intelektual umat Islam.

Kemudian beliau menyebutkan bahwa sebagian besar isi Kitab Suci Alqur’an adalah Sejarah. Dengan mengutip Muhammad Asad, dalam bukunya “Islam at the Crossroads” dijelaskan suatu peradaban tidak akan berkembang jika sudah terputus dari sejarahnya sendiri.

Dalam konteks inilah mengapa penulis menyebutkan orang-orang Muhammadiyah yang sudah dinyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai pahlawan nasional sudah seharusnya pemikiran mereka diajarkan kepada para mahasiswa dan dikenalkan kepada para siswa mulai dari Tingkat Dasar dan Menengah. Bukankah mereka ini bagian dari asset bangsa bagian penting dari perjalanan NKRI dan perjalanan Persyarikatan Muhammadiyah.

Zaman Reformasi

Dengan melewati periode zaman Orde Baru di bawah presiden salah satu anggota persyarikatan Haji Mohammad Soeharto tulisan ini langsung melihat kontribusi yang signifikan pada periode reformasi. Salah satu peristiwa penting dalam periode ini adalah Indonesia dan umumnya negara-negara di dunia mengalami Penyakit Pandemi Covid 19 yang menyebabkan pola pearilaku dan budaya hidup masyarakat berubah secara total.

Situasi Covid 19 mulai menyerang Indonesia awal tahun 2020 dan dinyatakan berakhir pada tahun 2021 kemudian berangsur-angsur dianggap normal kembali pada tahun 2022. Apa yang ingin penulis sampaikan dalam konteks peristiwa ini adalah bahwa begitu besar sumbangan Muhammadiyah dalam membantu negara ketika dalam kesulitan berupa financial. Malahan disebutkan sampai sekarang NKRI masih berhutang kepada Muhammadiyah dalam masalah ini.

Hal-hal semacam ini penting diketahui keluarga besar Muhammadiyah dalam konteks pembentukan karakter mahasiswa dan siswa melalui pendidikan yang diajarkan secara sistemik dan terukur sehingga masalah-masalah yang penulis sebutkan di atas mengapa sampai sekarang belum dianggap urgent. Spikolog menyebutkan bahwa keberhasilan seseorang apakah sebagai pemimpin rumah tangga, AUM, Presiden, Perusahaan, Persyarikatan sumbangan terbesar adalah memiliki Karakter Berkemajuan yang sekarang menjadi Topik Kajian pada Pengajian Bulanan PP di seluruh Indonesia.

Belum lagi kalau penulis lihat di internal Muhammadiyah di bidang Pendidikan, Kesehatan dan Sosial-kalau bidang ekonomi dan financial belum digarap sungguh-sungguh-dengan memiliki 172 PTM, AUM mulai Tingkat TK sd SLTA ada berjumlah 6.083 buah Rumah Sakit sebanyak 119 buah, dengan asset diperkirakan sebesar 400 T.

Dari deretan asset yang penulis sebutkan di atas sangat besar sumbangan Muhammadiyah kepada bangsa dan negara menyangkut aspek tenaga kerja, kesehatan masyarakat, filantropi, dan yang utama adalah melahirkan integrasi masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Dalam konteks inilah penulis mengatakan dengan tegas bahwa Muhammadiyah sebagai asset bangsa sangat penting dan signifikan.

What’s Next

Dengan menyebut demikian besar berbagai sumbangan Muhammadiyah terhadap perjalanan bangsa Indonesia baik pra dan pasca kemerdekan hasil diskusi penulis dengan Dr. Afrizon ada pertanyaan besar mengapa fakta di lapangan berbanding terbalik. Beberapa tahun kebelakang katakanlah sejak Presiden RI dijabat Gus Dur sampai sekarang ada kesan Muhammadiyah jalan di tempat kemanfaatannya. Sedangkan tetangga sebelah begitu berlimpah “menanggok” baik dalam arti peluang politik dan birokrasi di tingkat nasional apalagi dalam bentuk keuntungan financial.

Kalau dikatakan Muhammadiyah “tidak cerdas” menyikapi situasi dan perubahan konstalasi kepemimpinan bangsa dan nasional barangkali tentulah tidak pas. Karena umumnya Pimpinan Muhammadiyah mulai dari Tingkat Nasional sampai Tingkat Ranting umumnya orang yang makan bangku sekolahan bahkan bergelar Profesor Doktor ditambah dengan gelar Kyai. Jika demikian di mana masalahnya.

Hemat penulis sudah waktunya Muhammadiyah sebagai asset bangsa untuk tidak “malu-malu dan segan-segan” untuk aktif bermitra dengan penguasa dan pemerintah  setempat sesuai dengan jenjang kepengurusan yang selama ini menurut penulis masih belum maksimal dan optimal. Mengapa harus mengambil inisiatif dan aktif karena masalah itu memang hak Muhammadiyah untuk mengambil kemanfaatan dalam berbagai kepentingan bisa politik, ekonomi-financial dan kesempatan khususnya pendidikan sebagaimana telah penulis jelaskan di atas. 

Menutup tulisan ini penulis sekali lagi ingin mengutip fatwa Ketua PWM Banten, Dr. KH. M. Syamsuddin, dikenal seorang penceramah yang pintar mengabodor, bahwa bagaimana mengubah asset menjadi omzet dan jangan sampai menjadi autside. Selain itu upayakan nilai asset Muhammadiyah menjadi “lautan” kelipatannya bukan sebaliknya semakin mengecil sehingga menghilang dan tidak “terdengar” lagi hutan rimbanya. 

Allah ‘Alam bi Shawab. Nashrun min Allah wa Fathun Qarib

Penulis adalah Dosen Pascasarjana UM-Surby dan UIN Syahid Jakarta, aktivis PWM Banten 2022-2027


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Warisan Yusuf Al-Qaradhawi Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Yus....

Suara Muhammadiyah

8 January 2024

Wawasan

Menentang Penindasan Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Apakah Al....

Suara Muhammadiyah

5 January 2024

Wawasan

Membangun Indonesia dengan Gagasan dan Akhlak Oleh: Agusliadi Massere Indonesia sebagai negara-ban....

Suara Muhammadiyah

25 November 2023

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (11) Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra Di da....

Suara Muhammadiyah

16 November 2023

Wawasan

Pondasi Pendidikan Karakter Oleh: Dartim Ibnu Rushd, Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam UMS Pertam....

Suara Muhammadiyah

26 February 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah