Muslim Tidak Boleh Bergantung pada Keberuntungan
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Dalam percakapan sehari-hari, kata "keberuntungan" sering kali menjadi mantra kita. Kita mengucapkannya untuk mendoakan orang lain yang akan menghadapi ujian atau tantangan, dan tak jarang kita mengeluh tentang "nasib buruk" ketika mengalami kemalangan. Konsep keberuntungan, kesempatan, kecelakaan, dan nasib begitu melekat dalam keseharian kita hingga sulit untuk membayangkan hidup tanpanya.
Namun, bagi umat Muslim yang meyakini bahwa segala sesuatu—dari helai rambut yang jatuh hingga perputaran alam semesta—terjadi atas kehendak Tuhan, muncul pertanyaan mendasar: Apakah keberuntungan benar-benar ada? Jika Tuhan telah mengatur segalanya, di mana letak ruang untuk kebetulan?
Artikel ini akan membawa kita dalam sebuah perjalanan intelektual, menggali perdebatan mendalam mengenai topik ini. Kita akan melihat bagaimana pandangan klasik Islam, sains Newtonian yang deterministik, dan fisika kuantum modern yang penuh ketidakpastian mencoba menjelaskan fenomena yang sama.
Secara tradisional, dalam teologi Islam, pandangan yang dominan adalah determinisme ilahi yang mutlak. Menurut formulasi ini, Allah telah menentukan segala urusan sejak awal mula penciptaan. Pandangan ini tidak menyisakan ruang sama sekali bagi keberuntungan atau kesempatan. Segala peristiwa, entah itu nasib baik yang tak terduga atau kecelakaan yang tragis, hanyalah bagian dari rencana ilahi yang telah sempurna dan tak terhindarkan. Segala sesuatu yang kita anggap sebagai "kebetulan" sesungguhnya adalah peristiwa yang telah ditetapkan untuk terjadi pada waktu dan tempat yang spesifik.
Namun, sejarah pemikiran Islam juga mencatat adanya pandangan yang lebih dinamis di kalangan Muslim awal. Mereka meyakini bahwa meskipun Tuhan telah menetapkan hal-hal besar seperti ajal dan rezeki, Dia juga memberikan ruang terbuka bagi manusia untuk membuat pilihan. Pandangan ini menegaskan bahwa kehendak Tuhan tidak sepenuhnya menghilangkan kebebasan manusia. Justru sebaliknya, pilihan-pilihan yang kita ambil dalam hidup inilah yang menjadi dasar bagi pahala atau hukuman yang akan kita terima. Artinya, kita tidak hanya sekadar mengikuti alur cerita yang telah ditulis, melainkan turut serta dalam membentuknya.
Hal ini membuka kemungkinan bahwa takdir bukanlah sebuah skenario yang kaku, melainkan sebuah rencana yang dapat berinteraksi dengan kehendak bebas manusia dan doa-doa mereka. Inilah yang membuat konsep keberuntungan dan kehendak Tuhan menjadi lebih kompleks dan menarik untuk dipelajari lebih dalam.
Contoh paling kuat dari pandangan yang lebih dinamis ini datang dari kisah Khalifah Umar bin Khattab, yang dikenal sebagai salah satu pemimpin Islam yang paling teguh dan beriman. Saat tawaf, mengelilingi Ka'bah sebagai wujud ibadah, beliau berdoa dengan penuh harap, "Ya Allah, jika Engkau telah mencatatku sebagai salah satu penghuni neraka, maka hapuslah itu dan catatlah aku sebagai penghuni surga." Doa yang mendalam ini bukan sekadar permohonan, melainkan sebuah manifestasi keyakinan bahwa meskipun Tuhan telah menyusun rencana, kekuasaan-Nya untuk mengubah rencana tersebut tidak terbatas. Doa Umar mencerminkan pandangan bahwa takdir bukanlah sebuah keputusan final yang tidak dapat diubah, melainkan sebuah skenario yang dapat berinteraksi dengan ketulusan hati dan pilihan manusia. Tuhan bebas bertindak sesuai kehendak-Nya, dan manusia pun diberikan kebebasan untuk memilih jalannya, sehingga terciptalah ruang di mana takdir dapat dimodifikasi atau bahkan diubah sepenuhnya.
Menariknya, perdebatan serupa tentang determinisme—keyakinan bahwa semua peristiwa telah ditentukan—juga mengemuka dalam sejarah sains. Di era fisika Newtonian, alam semesta dipandang sebagai sebuah mesin raksasa yang sangat teratur. Setiap peristiwa adalah hasil dari rantai sebab-akibat yang tak terhindarkan, layaknya roda-roda gigi yang saling terhubung. Para ilmuwan pada masa itu yakin bahwa jika mereka memiliki cukup data, mereka bisa memprediksi setiap kejadian di masa depan dengan presisi mutlak. Dalam kerangka berpikir ini, tidak ada ruang untuk keberuntungan atau kebetulan. Tindakan manusia dianggap sebagai hasil dari serangkaian penyebab yang sangat panjang dan kompleks, menjadikannya seolah-olah telah ditentukan sejak awal waktu.
Namun, pandangan yang kaku dan deterministik ini mengalami pergeseran dramatis pada abad ke-20 dengan munculnya fisika kuantum. Pada tingkat subatomik—dunia partikel terkecil yang membentuk alam semesta—aturan-aturan klasik tidak lagi berlaku. Partikel-partikel ini tidak berperilaku dengan cara yang dapat diprediksi secara mutlak. Contoh paling terkenal adalah peluruhan atom: kita bisa memperkirakan probabilitasnya, tetapi kita tidak bisa memprediksi momen pastinya. Fenomena ini melahirkan prinsip ketidakpastian Heisenberg, yang mengguncang fondasi sains. Prinsip ini menunjukkan bahwa tindakan pengamat itu sendiri dapat memengaruhi perilaku partikel yang diamati, sebuah konsep yang sama sekali bertentangan dengan prinsip eksperimen ilmiah klasik yang menuntut objektivitas total.
Penemuan revolusioner dalam fisika kuantum ini memberikan pandangan baru yang menarik. Alih-alih sebagai mesin yang kaku, alam semesta kini dipandang sebagai sebuah sistem yang dinamis, berkembang melalui perpaduan antara hukum dan kebetulan. Ada unsur keniscayaan, di mana segala sesuatu mengikuti aturan fisika, namun pada saat yang sama, ada unsur ketidakpastian yang membuka kemungkinan-kemungkinan baru. Perpaduan antara determinisme dan indeterminisme ini memberikan jendela pemahaman yang lebih luas bagi umat beriman.
Konsep ini memberikan ruang yang sangat penting bagi umat beriman. Ia menegaskan bahwa kita tidak sepenuhnya terdeterminasi. Tuhan telah dengan sengaja menyisakan ruang bagi kita untuk membuat pilihan, dan inilah yang membuat kita bertanggung jawab secara moral atas setiap tindakan. Tanggung jawab ini tidak akan ada jika hidup kita sepenuhnya telah diatur dan tidak ada ruang untuk memilih. Keimanan kita diteguhkan oleh fakta bahwa setiap keputusan baik atau buruk yang kita ambil adalah hasil dari kehendak bebas kita.
Namun, pemahaman ini tidak berarti bahwa kita harus pasif dan menunggu keberuntungan datang. Mengandalkan keberuntungan sepenuhnya sama dengan menyerahkan nasib kita pada kebetulan buta, yang pada akhirnya bertentangan dengan ajaran agama. Saya mengibaratkan hal ini seperti sebuah permainan dadu yang dimainkan dalam batas-batas yang ditetapkan oleh Tuhan. Tuhan bisa saja memberikan kita ruang untuk mendapatkan hasil apa pun dari 1 hingga 6. Namun, Dia juga memiliki kuasa untuk membatasi kemungkinan itu, misalnya hanya antara 1 dan 2 (layaknya melempar koin), atau bahkan mengarahkan hasil itu hanya pada satu kemungkinan. Singkatnya, Tuhan mengendalikan batas-batas dari setiap kemungkinan.
Oleh karena itu, keberuntungan dan kesempatan bukanlah kekuatan acak yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari sebuah sistem yang berada di bawah kendali Tuhan. Kita tidak boleh menjadi pasif dan mengandalkannya untuk meraih kesuksesan. Seseorang yang ditakdirkan untuk menjadi jutawan pasti akan mencapai kekayaan itu. Namun, jalur yang ia pilih—entah melalui cara yang jujur dan halal atau dengan cara yang curang dan haram—akan menentukan konsekuensi spiritualnya. Jika seseorang menggunakan kecerdasannya untuk kejahatan, ia akan dihukum. Sebaliknya, jika ia memanfaatkan kecerdasan yang sama untuk membangun bisnis yang sah dan bermanfaat, ia akan diberi pahala. Hasil akhirnya mungkin sama, yaitu menjadi jutawan, tetapi konsekuensi spiritualnya di mata Tuhan sangatlah berbeda.
Pada akhirnya, kunci dari semua ini adalah niat yang baik dan usaha yang sungguh-sungguh. Kita tidak boleh menanti keberuntungan. Sebaliknya, kita harus merencanakan hidup dengan cermat, bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang diizinkan oleh Tuhan, dan pada saat yang sama bertawakal dan terus berdoa. Dengan memohon kepada-Nya, kita meminta Sang Pengendali Alam Semesta untuk membukakan jalan terbaik bagi kita. Karena, pada akhirnya, Dia-lah yang memegang kendali penuh atas segala urusan, dan Dialah sumber keberhasilan sejati, bukan keberuntungan semata.