Negeri Berbudaya Keroyokan

Publish

6 August 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
118
Foto Ilustrasi

Foto Ilustrasi

Negeri Berbudaya Keroyokan

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua PRM Legoso dan Wakil Sekretaris LPCRPM PP Muhammadiyah

Pada siang yang terik, suara sirene keras keluar dari ambulans yang melaju bersama rombongan pengendara sepeda motor berbendera kuning, membelah jalan raya yang padat. Suara sirene itu tidak hanya memekakkan telinga, tetapi juga meneror pengguna jalan lain dan memaksa mereka menyingkir demi memberi jalan. Ketika ada satu dua kendaraan yang enggan menepi, anggota rombongan tidak segan-segan berteriak sambil mengacungkan tangan demi mendapat perlakuan istimewa.

Banyaknya jumlah anggota rombongan seolah telah mengesahkan keistimewaan mereka di jalanan: mulai dari bebas dari penindakan polisi meskipun tidak mengenakan helm, menerobos lampu merah, menguasai ruas jalan, meneror pengendara lain, bahkan dalam kasus tertentu, mereka bisa menggebrak kendaraan yang dianggap melawan aksi paksaan mereka.

Aksi semacam itu tidak hanya dilakukan oleh rombongan pengendara sepeda motor biasa, tetapi juga oleh para pengguna motor mewah dan berharga mahal. Tentu saja ada perbedaan dari sisi kelas sosial ekonomi dan bentuk perilakunya terhadap pengguna jalan lain. Namun, esensinya tetap sama: mereka merasa berhak atas keistimewaan di jalan raya.

Dalam sebuah aksi demonstrasi, dari yang berjumlah puluhan hingga ratusan orang, terkadang ada saja satu dua individu yang berani menyulut kerusuhan—mulai dari membajak sarana transportasi publik hingga merusak fasilitas umum. Aksi demonstrasi telah berubah menjadi ajang pelampiasan amarah dengan perilaku anarkis yang bisa membahayakan orang lain.

Fenomena Keroyokan

Saya menduga bahwa nyali mereka tumbuh menjadi liar dan seolah menjadi pemberani itu karena berada di tengah lingkungan teman-teman yang jumlahnya banyak, sehingga jika ada perlawanan, mereka bisa membalasnya secara keroyokan. Jika sendirian, beranikah mereka bertindak seperti itu?

Aksi semacam itu bisa semakin subur jika kerap dibiarkan. Hukum seolah tidak berlaku bagi mereka yang sejenak menjadi “raja jalanan” dengan segala keistimewaannya. Ancaman tindakan keroyokan itu telah melumpuhkan pranata sosial serta menumpulkan hukum yang seharusnya tetap berlaku kapan dan di mana saja demi terwujudnya keadilan bagi semua.

Jargon “tegakkan keadilan walau langit runtuh”—yang berarti bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa memedulikan konsekuensi, bahkan jika konsekuensinya berat seperti runtuhnya langit—ternyata tumpul oleh ancaman aksi keroyokan.

Tidak semua tindakan keroyokan berkonotasi negatif. Dalam kehidupan sosial, kita mengenal istilah kerja bakti, yaitu bekerja bersama secara keroyokan untuk melakukan sesuatu demi kemaslahatan hidup bersama. Misalnya, membersihkan saluran air, mengangkut sampah yang menumpuk di ruang publik agar dapat dimanfaatkan bersama secara baik.

Pekerjaan tersebut bisa saja dilakukan oleh satu dua orang yang diupah, tetapi hasilnya akan terasa berbeda. Aksi keroyokan itu telah menumbuhkan rasa kepemilikan yang dalam jangka panjang bisa mewujudkan kerelaan untuk ikut merawat fasilitas publik. Itu salah satu hasil positif dari aksi keroyokan dalam budaya gotong royong.

Tindakan itu adalah kearifan masyarakat Indonesia yang harus dirawat dan dipraktikkan dalam kehidupan bersama. Menaklukkan sebuah ancaman melalui keroyokan agar terhindar dari marabahaya adalah tindakan mulia dan menjadi kebutuhan dasar manusia.

Sebaliknya, tindakan keroyokan untuk membela kepentingan pragmatis dan ego pribadi atau golongan haruslah dilakukan tanpa melanggar tata krama, kepantasan, nilai agama, maupun aturan hukum yang berlaku demi kemaslahatan hidup bersama.

Krisis Keteladanan

Dalam kehidupan berbangsa, kita kerap mendapati perilaku keroyokan yang berkonotasi negatif; misalnya, melakukan tindakan teror terhadap orang atau kelompok lain hanya karena dianggap tidak seirama dengan kehendak seorang pemimpin di suatu wilayah.

Demi menjaga gengsi, ego, atau yang sering dibungkus dengan kata “harga diri”, seorang pemimpin bisa menggunakan jasa kelompok lain untuk melakukan aksi keroyokan. Caranya beragam, bisa dengan menyewa jasa para buzzer yang mampu meneror pengguna media sosial di dunia maya, atau melalui pasukan upahan. Keduanya bisa bekerja atas dasar pesanan.

Dalam sebuah negara yang rakyatnya berdaulat, hukum tidak boleh tumpul. Aparat harus berani bertindak tegas terhadap pelaku keroyokan yang berkonotasi negatif. Aparat tidak boleh mundur karena khawatir akan risiko menerima balasan serupa atau tindakan keroyokan yang lebih anarkis.

Untuk menghindari dampak buruk dari budaya keroyokan negatif, selain penegakan hukum oleh aparatur negara, diperlukan keteladanan yang baik. Tantangannya, masih ada oknum aparat yang menggunakan seragam kedinasan, meletuskan senjata api yang dibeli dari uang rakyat—untuk melakukan pengeroyokan kepada warga yang seharusnya mereka lindungi.

Gesekan antar aparat yang juga kerap terjadi sekadar untuk membela ego masing-masing dan bersumber dari masalah di luar urusan kedinasan, juga harus dicegah. Ingat, rakyat lebih sering melihat semua perilaku aparatur negara dengan hati, bukan dengan mata yang bisa terbatasi oleh balutan pencitraan sarat kebohongan.

Fenomena keroyokan dalam masyarakat Indonesia adalah cerminan dari kekuatan kolektif yang terlihat seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, keroyokan dapat menjadi bentuk solidaritas sosial yang positif, seperti usaha saling membantu dalam situasi darurat. Di sisi lain, keroyokan bisa menjadi sangat buruk ketika kekuatan massa itu digunakan untuk menekan, meneror, atau melanggar hukum demi kepentingan sempit. Ia telah menjadi ancaman bagi keadilan dan ketertiban.

Semoga rakyat Indonesia terhindar dari budaya buruk para pemimpin yang menggunakan model keroyokan untuk merespons kritik yang muncul terhadap dirinya. Mengerahkan sejumlah buzzer untuk meneror para pengkritik di media sosial adalah salah satu bentuknya.

Budaya keroyokan yang destruktif hanya akan tumbuh subur ketika hukum lemah dan pemimpin tidak mampu memberi keteladanan, sehingga warga dibiarkan larut dalam amarah berjamaah tanpa kendali. Keteladanan moral dari para pemimpin dan aparat negara menjadi kunci untuk menata kembali kehidupan sosial yang lebih adil, aman, dan bermartabat.

Saya ingat pesan Presiden Prabowo Subianto yang menganalogikan, “Ikan busuk dari kepala”, bukan dari badan ataupun buntutnya. Artinya, baik atau buruknya suatu negara akan berasal dari pemimpinnya. Pesan itu disampaikan dalam pengarahan antikorupsi di Akademi Militer, Magelang, Jumat, 25 Oktober 2024.

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

111 Tahun Muhammadiyah Oleh Ruminizulfikar Setiap bulan November bagi warga, kader, dan pimpinan P....

Suara Muhammadiyah

16 November 2023

Wawasan

Oleh : Dr Maria Ulviani, MPd, Dosen PBSI Unismuh Makassar/Anggota LBSO PW Aisyiyah Sulawesi Selatan ....

Suara Muhammadiyah

19 May 2025

Wawasan

Sumpah Jabatan: Makna Konstitusional dan Spiritual Oleh: Immawan Wahyudi, Dosen Fakultas Hukum UAD ....

Suara Muhammadiyah

9 December 2024

Wawasan

Moderasi Beragama Kiai Dahlan Oleh: Baharuddin Rohim “Dapat menempatkan sesuatu pada tempat....

Suara Muhammadiyah

7 October 2023

Wawasan

Puasa: Disiplin Spiritual dalam Mewujudkan Ketakwaan Oleh: Suko Wahyudi/PRM Timuran Yogyakarta ....

Suara Muhammadiyah

13 March 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah