Orasi dari Timur: Lawatan Politik Buya Hamka ke Bima, 1955
Oleh: Imam Ahnafudin, Aktivis IMM Ciputat
Setelah berakhirnya Republik Indonesia Serikat dan kembalinya Indonesia menjadi NKRI pada 17 Agustus 1950. Di bawah komando kabinet yang dipimpin oleh Muhammad Natsir (Kabinet Natsir), wacana mengenai penyelenggaraan pemilihan umum pertama hidup kembali, setelah beberapa tahun sebelumnya bangsa Indonesia menghadapi ketidakstabilan politik dalam negeri, yang membuat pemilihan umum tidak dapat dilaksanakan. Dan pada tahun 1955 ,Indonesia berhasil menyelenggarakan pemilihan umum untuk pertama kalinya di bawah kepemimpinan kabinet Burhanudin Harahap.
Pemilu tahun 1955, sering kali dianggap sebagai pemilu paling demokratis, karena melibatkan hampir seluruh elemen masyarakat dari spektrum yang berbeda beda pada kontestasi pemilu. Salah satu kelompok atau partai politik yang memiliki kekuatan besar saat itu adalah Masyumi, yang dianggap sebagai perwakilan kekuatan politik umat Islam Indonesia. Di dalamnya, partai Masyumi diisi oleh banyak tokoh Islam karismatik, salah satunya Buya Hamka, seorang ulama besar dengan segudang karya yang telah diukir. Hadirnya Hamka di dalam partai Masyumi menjadi modal besar untuk meraup dukungan dari masyarakat.
Berbagai lawatan politik ke daerah guna untuk mendapatkan dukungan politik dari masyarakat dilakukan oleh Hamka. Menjelang pemilu pertama tahun 1955, Buya Hamka berkunjung ke Bima untuk berkampanye di bawah naungan panji besar partai Masyumi. Sore hari tahun 1955 di Pelabuhan Teluk Bima, kedatangan Hamka dan rombongan partai Masyumi dari Jakarta, disambut langsung oleh Haji Thayib Abdullah yang merupakan aktivis kawakan Muhammadiyah Indonesia Timur, sekaligus sebagai pemimpin partai Masyumi di Bima. Perjumpaan Hamka dan Thayib Abdullah bukanlah perjumpaan pertama diantara mereka, sewaktu Hamka mengembara di Yogyakarta juga pernah bertemu dengan Thayib Abdullah yang sedang menimba ilmu di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah.
Selang satu hari setelah Hamka menginjakkan kaki di tanah Bima, ribuan masyarakat Bima berkumpul, dan memadati lapangan Serasuba untuk menyaksikan orasi politik seorang ulama besar dari tanah Minang itu. Hamka berdiri diatas podium kampanye beserta rombongan dari Jakarta, dan dikawal langsung oleh Thayib Abdullah. Kalimat takbir membuka orasi politik Hamka, menggema memecah kesunyian. Hamka menyampaikan dengan lantang Islam sebagai penopang hidup, jiwa akan mati jika Islam tidak ada dalam diri, Hamka juga menyeru betapa pentingnya persatuan umat Islam. Orasi dari Hamka disambut dengan deru tepuk tangan meriah dari masyarakat yang hadir, adzan politik Hamka membakar dan mengobarkan semangat politik Islam masyarakat Bima. Hamka dan Masyumi cukup mendapat tempat di hati masyarakat Bima, hampir tidak ada kompetitor lain yang mampu menyaingi partai Masyumi, kemenangan besar didapat oleh partai Masyumi di Bima pada perhelatan pemilu tahun 1955, yang mengantarkan Thayib Abdullah menjadi delegasi Pulau Sumbawa di kursi parlemen nasional.
Pribadi Hamka bagi masyarakat Bima saat itu, bukan hanya tentang perjumpaan politik belaka. Lebih jauh dari itu, ada kedekatan emosional yang begitu kuat, sebab Hamka adalah seorang ulama dari tanah Minang. Sejarah panjang ulama-ulama Minang telah tertancap ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Bima. Jauh sebelum kedatangan Hamka , telah lebih dulu dua ulama bersaudara Datuk ri Tiro dan Datuk ri Bandang, datang membawa kemuliaan Islam di tanah Bima.
Di sela kunjungan politiknya di Bima, Hamka bertemu dan berkenalan dengan H.Abubakar Husein, seorang qori internasional ternama era itu. Dari perjumpaan ini, Buya Hamka setiap tahun, selalu mengirim novel atau kitab bahasa arabnya untuk diterjemahkan oleh H.Abubakar Husein, karena Hamka menganggap H.Abubakar Husein bahasa arabnya fasih dan bagus (Biografi H.Abubakar Husein 2005).
Teruntuk Thayib Abdullah, baginya lawatan politik singkat Hamka, menjadi peristiwa sakral dan bersejarah untuk dirinya dan masyarakat Bima, sebab Hamka telah meninggalkan pondasi yang begitu kokoh, bagi semangat perjuangan Islam. Sebagai ucapan rasa terimakasih dirinya, dan masyarakat Bima kepada Buya Hamka, sekaligus untuk mengenang peristiwa itu. Thayib Abdullah mengusulkan kepada Pemerintah Daerah Bima, agar salah satu nama jalan di Bima diambil dari nama Buya Hamka, dan usulan tersebut langsung diterima oleh Pemerintah Daerah (Biografi H.M.Thayib Abdullah 2002). Sehingga salah satu lorong jalan di Bima, dinamai menggunakan nama ulama karismatik dan penyabar itu.