PADANG, Suara Muhammadiyah – Aroma bubur kacang hijau yang hangat menguar dari sebuah surau tua di Kecamatan Nanggalo. Di sudut ruangan, seorang nenek berusia 70 tahun duduk sambil memeluk cucunya yang masih balita. Mereka berdua sedang menikmati semangkuk bubur kampiun, salah satu menu bergizi yang disiapkan khusus oleh relawan di Dapur Gizi Surau Gadang.
Ini bukan dapur biasa. Ini adalah secercah harapan di tengah kesedihan dan kehilangan yang dialami warga pascabanjir bandang yang melanda Kota Padang hampir sebulan lalu.
Tanggal 28 November 2025 menjadi hari yang tak akan pernah terlupakan bagi warga Nanggalo. Air datang dengan tiba-tiba, menerjang rumah-rumah, menyeret harta benda, dan memaksa ratusan keluarga mengungsi dalam kondisi serba kekurangan. Hampir sebulan berlalu, luka-luka itu masih terasa, terutama bagi mereka yang paling rentan: para lansia dan anak-anak balita.
Di tengah situasi yang masih penuh ketidakpastian, kehadiran Dapur Gizi ini bagaikan oasis di padang pasir. Sejak tiga hari lalu, dapur yang diinisiasi oleh Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) Pimpinan Wilayah Aisyiyah Sumatera Barat ini telah melayani 100 penyintas setiap harinya.
Kisah Dapur Gizi ini dimulai dari sebuah rapat darurat yang diadakan LLHPB PW Aisyiyah Sumbar beberapa hari setelah banjir. Dalam pertemuan tersebut, satu kesimpulan menguat: bantuan fisik seperti pakaian dan selimut memang penting, tetapi asupan nutrisi yang tepat adalah kunci pemulihan jangka panjang, terutama untuk kelompok paling rapuh.
"Kami melihat banyak lansia dan balita yang kondisi kesehatannya menurun drastis. Mereka butuh lebih dari sekadar makanan kenyang, mereka butuh gizi," ungkap Fitri Yulianis, Ketua LLHPB PW Aisyiyah Sumbar, dengan mata berbinar penuh tekad.
Dari situlah lahir ide Dapur Gizi. Namun ide tanpa eksekusi hanyalah angan-angan. LLHPB kemudian menggandeng Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat dan Pimpinan Cabang Aisyiyah Nanggalo untuk mewujudkan mimpi tersebut.
Kolaborasi ini bukan sekadar pembagian tugas administratif. Ini adalah sinergi penuh dedikasi. Mahasiswa UM Sumbar terjun langsung ke lapangan, menggulung lengan baju, memotong sayuran, memasak, hingga mengantarkan makanan ke tangan-tangan keriput para lansia. Sementara itu, anggota PC Aisyiyah Nanggalo yang mayoritas adalah ibu-ibu setempat, menjadi jembatan komunikasi dengan warga, memastikan setiap porsi sampai ke mereka yang paling membutuhkan.
Di dapur berukuran sederhana itu, aktivitas dimulai sejak pukul 05.00 pagi. Para relawan bergerak cekatan menyiapkan bahan-bahan. Menu yang dihidangkan bukan sembarangan. Tim telah merancang menu khusus yang kaya nutrisi namun mudah dicerna, cocok untuk kondisi fisik yang sedang lemah.
Bubur kacang padi yang lembut dan kaya protein, bubur kampiun dengan campuran kacang hijau dan ubi yang memberikan energi tahan lama, serta bakso dengan kuah hangat yang menenangkan – semua disiapkan dengan penuh perhatian pada detail gizi.
"Kami tidak hanya ingin mengenyangkan perut, tapi juga memulihkan stamina mereka," jelas salah seorang relawan mahasiswa, Rina (22), sambil mengaduk panci besar berisi bubur kacang hijau. "Setiap sendok yang kami masak, kami bayangkan sebagai sendok kesembuhan untuk mereka."
Dukungan finansial dan logistik datang dari Lazismu (Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah Muhammadiyah) dan MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center) Sumbar. Dengan dukungan ini, Dapur Gizi bisa beroperasi secara konsisten tanpa kekhawatiran kehabisan bahan.
Yang terjadi di Dapur Gizi Surau Gadang bukan hanya distribusi makanan. Ini adalah ruang penyembuhan bersama.
Nenek Siti (68), salah satu penyintas yang rutin mengambil jatah makanan untuk dirinya dan dua cucu balitanya, bercerita dengan mata berkaca-kaca, "Sejak rumah terendam, kami kehilangan hampir semua. Tapi ketika anak-anak muda ini datang dengan senyum dan makanan hangat, rasanya ada yang kembali hidup di dada saya. Mereka tidak hanya memberi makan, tapi juga mengembalikan harapan."
Cerita serupa disampaikan Pak Darwis (72), seorang kakek yang terpaksa mengungsi sendirian karena anak-anaknya bekerja di luar kota. "Di usia segini, yang dibutuhkan bukan cuma perut kenyang. Tapi perhatian. Dan anak-anak ini memberikan itu semua," ujarnya sambil tersenyum tipis.
Para relawan mahasiswa juga merasakan dampak mendalam dari pengalaman ini. Dafa (21), mahasiswa tahun ketiga, mengaku awalnya hanya ingin membantu secara fisik. "Tapi setelah tiga hari di sini, saya belajar banyak tentang ketahanan, tentang kepedulian sejati, dan tentang arti sesungguhnya dari solidaritas," katanya reflektif.
Keberhasilan Dapur Gizi ini tidak lepas dari dukungan penuh Dr. Syur'aini, M.Pd., Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah Sumatera Barat. Beliau tidak hanya memberikan restu administratif, tetapi juga terlibat aktif dalam memastikan program ini berjalan optimal.
Dalam kunjungannya ke lokasi beberapa hari lalu, Dr. Syur'aini menyampaikan apresiasi mendalam kepada seluruh relawan. "Ini adalah wajah sejati organisasi kita. Bukan hanya bicara, tapi bekerja. Bukan hanya berencana, tapi bergerak," tegasnya dengan penuh semangat.
Beliau juga menekankan pentingnya pendekatan holistik dalam penanganan bencana. "Kebutuhan fisik seperti makanan dan tempat tinggal itu penting, sangat penting. Tapi jangan lupakan pemulihan mental dan spiritual para korban. Mereka butuh tahu bahwa mereka tidak sendiri, bahwa ada yang peduli, bahwa ada harapan di depan sana," jelas Dr. Syur'aini.
Visi jangka panjangnya jelas: pendampingan tidak berhenti saat dapur ini tutup. Aisyiyah Sumbar berkomitmen untuk terus mendampingi masyarakat Nanggalo dalam proses pemulihan yang panjang, bahkan setelah masa tanggap darurat resmi berakhir pada 23 Desember 2025.
Dr. Syur'aini juga tidak lupa memberikan motivasi khusus kepada para kader dan relawan yang menjadi garda terdepan. Dalam berbagai kesempatan, beliau selalu menekankan nilai keikhlasan dan semangat berkorban.
"Kalian adalah cahaya di kegelapan. Tangan-tangan kalian yang memasak, yang mengantar, yang tersenyum kepada para kakek nenek dan anak-anak itu – itulah tangan-tangan malaikat dunia. Jangan pernah lelah berbuat baik, karena setiap kebaikan, sekecil apapun, adalah benih yang akan tumbuh menjadi hutan harapan," pesannya penuh makna.
Pesan ini bergema kuat di hati para relawan. Mereka tidak hanya bekerja dengan tangan, tetapi dengan hati yang ikhlas.
Provinsi Sumatera Barat telah mengumumkan bahwa masa tanggap darurat banjir akan berakhir pada 23 Desember 2025. Namun bagi para penyintas di Nanggalo, akhir masa tanggap darurat bukan berarti akhir perjuangan. Rumah-rumah masih harus dibangun kembali, trauma masih harus disembuhkan, dan kehidupan normal masih jauh untuk kembali.
Namun dengan adanya inisiatif seperti Dapur Gizi ini, setidaknya beban mereka sedikit lebih ringan. Setidaknya mereka tahu bahwa mereka tidak berjuang sendirian.
Fitri Yulianis, sang inisiator, menyampaikan harapannya, "Dapur Gizi ini mungkin hanya beroperasi beberapa hari atau minggu, tapi dampak psikologis dan fisiknya akan bertahan lebih lama. Kami berharap ini menjadi contoh bagaimana kepedulian konkret harus diwujudkan, bukan hanya dijadikan retorika."
Kisah Dapur Gizi Surau Gadang adalah pengingat bahwa dalam setiap bencana, selalu ada dua pilihan: menyerah pada keputusasaan atau bangkit dengan solidaritas. Kolaborasi antara LLHPB PW Aisyiyah Sumbar, Mahasiswa UM Sumbar, dan PC Aisyiyah Nanggalo membuktikan bahwa ketika kepedulian diorganisir dengan baik, dampaknya bisa luar biasa.
Seratus porsi makanan bergizi setiap hari mungkin terdengar sederhana. Tapi bagi 100 lansia dan balita yang rentan, itu adalah perbedaan antara bertahan dan menyerah, antara sakit dan pulih, antara putus asa dan berharap.
Di balik setiap mangkuk bubur yang dihidangkan, ada cerita tentang tangan-tangan muda yang rela berkeringat, tentang ibu-ibu yang rela meninggalkan rumah untuk mengurus orang lain, tentang organisasi yang tidak hanya bicara tapi berbuat, dan tentang pemimpin yang tidak hanya memberi instruksi tapi memberi teladan.
Ketika malam tiba dan lampu-lampu di Surau Gadang mulai padam, para relawan pulang dengan lelah namun puas. Mereka tahu bahwa besok pagi, mereka akan kembali lagi. Mereka tahu bahwa masih ada 100 mulut yang menunggu, 100 jiwa yang berharap, dan 100 alasan mengapa mereka harus terus bergerak.
Karena pada akhirnya, di tengah kepiluan pascabencana, yang tersisa bukanlah bangunan atau harta benda. Yang tersisa adalah kemanusiaan. Dan kemanusiaan itu dihidupkan kembali, satu porsi bergizi demi satu porsi, dengan cinta dan kepedulian yang tulus.
Dapur Gizi Surau Gadang adalah bukti nyata bahwa bencana memang menghancurkan, tapi solidaritas membangun kembali. Bahwa kehilangan memang menyakitkan, tapi kepedulian menyembuhkan. Dan bahwa dalam kegelapan terdalam sekalipun, selalu ada cahaya – selama ada orang-orang yang mau menyalakannya.
Semoga kisah ini menginspirasi lebih banyak tangan untuk bergerak, lebih banyak hati untuk peduli, dan lebih banyak dapur gizi untuk berdiri di setiap sudut negeri yang membutuhkan. (RI)

