Penuturan Al-Qur’an tentang Takwa

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
47
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Penuturan Al-Qur’an tentang Takwa

Oleh: Suko Wahyudi. PRM Timuran Yogyakarta 

Takwa merupakan kata kunci dalam bangunan ajaran Islam. Ia mencerminkan inti dari agama yang dibawa oleh para nabi dan rasul, sebagai bentuk kepatuhan total kepada Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam Al-Qur’an, takwa bukan sekadar konsep spiritual yang terkurung dalam ruang-ruang ibadah personal, melainkan ia menampakkan diri sebagai kekuatan etis yang menggerakkan manusia untuk hidup lurus, bersih, dan bermanfaat. Takwa adalah puncak kualitas iman dan sekaligus fondasi peradaban yang diridhai oleh Allah SWT.

Al-Qur’an menyebut kata “takwa” dan derivatnya dalam berbagai bentuk dan konteks lebih dari dua ratus lima puluh kali, yang menandakan pentingnya posisi takwa dalam struktur keimanan seorang Muslim. Dari sekian banyak ayat yang berbicara tentang takwa, ayat kedua dari surah al-Baqarah memberi penegasan yang gamblang:  “Kitab ini tidak ada keraguan di dalamnya, menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa”.

Ayat tersebut menempatkan takwa sebagai syarat utama untuk meraih hidayah Al-Qur’an. Dengan kata lain, hanya mereka yang memiliki kesiapan hati, kejernihan jiwa, dan ketulusan niat dalam mencari kebenaran yang mampu menyelami hikmah-hikmah Al-Qur’an. Takwa membuka pintu pemahaman dan penyaksian terhadap kebenaran ilahiyah yang dibawa oleh wahyu.

Takwa, dalam pengertian lugas, berarti menjauhkan diri dari murka Allah dengan cara menjalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Dalam makna yang lebih dalam, takwa mencerminkan kesadaran spiritual yang tinggi bahwa hidup ini berada dalam pengawasan Allah yang Maha Melihat. Orang yang bertakwa adalah orang yang hidup dalam ruang kesadaran ilahiah, tidak semata-mata karena takut hukuman, tetapi karena cinta dan hormat yang tulus kepada Tuhannya.

Al-Qur’an menggambarkan ciri-ciri orang bertakwa secara detail dan konkret. Dalam surah al-Baqarah ayat 2–4 disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman kepada perkara ghaib, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian dari rezeki yang dikaruniakan Allah, beriman kepada kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan kepada kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, serta meyakini kehidupan akhirat. Ini menunjukkan bahwa takwa bukan hanya soal kesalehan individual, melainkan juga menyentuh ranah sosial, epistemologis, dan eskatologis.

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, Yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu (Muhammad) dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelum engkau, serta mereka yakin akan adanya akhirat.”

Takwa tidak memisahkan dunia dari akhirat, tidak juga mengaburkan batas antara iman dan amal. Dalam perspektif Al-Qur’an, iman yang benar akan melahirkan takwa, dan takwa yang sejati akan terwujud dalam amal saleh yang bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat, dan semesta.

Lebih jauh, Al-Qur’an menegaskan bahwa kemuliaan manusia di hadapan Allah tidak ditentukan oleh status sosial, warna kulit, atau garis keturunan, tetapi oleh kadar ketakwaannya. Firman Allah dalam surah al-Hujurat ayat 13: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa”.

Ayat ini merupakan landasan teologis bagi prinsip kesetaraan manusia di hadapan Tuhan. Takwa menjadi ukuran kemuliaan yang bersifat transhistoris dan universal. Ia melampaui sekat-sekat rasial, etnis, nasional, maupun kelas ekonomi. Di hadapan Allah, yang mulia bukanlah orang yang banyak bicara tentang agama, tetapi yang hidup dengan penuh ketakwaan.

Takwa juga bukan idealisme kosong yang tidak berdampak pada realitas. Justru sebaliknya, orang-orang yang bertakwa diberi keutamaan oleh Allah baik dalam kehidupan dunia maupun di akhirat. Dalam surah al-Thalaq ayat 2–3, Allah berfirman:  “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan jalan keluar baginya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka”.

Ayat ini menunjukkan bahwa takwa melahirkan keberkahan. Ia menjadi sumber kekuatan batin yang mendatangkan kemudahan di saat sulit, ketenangan di tengah keraguan, dan rezeki dari arah yang tidak diduga. Takwa memperhalus naluri, memperkuat akal, dan menenangkan jiwa. Maka, keberhasilan hidup, dalam makna hakiki, bermula dari ketakwaan.

Dalam ayat lain, surah al-Anfal ayat 29, Allah menjanjikan bahwa takwa akan menghadirkan furqan, yaitu kemampuan untuk membedakan antara yang hak dan yang batil: 

"Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan (kemampuan membedakan antara yang benar dan yang salah), dan menghapus segala kesalahanmu serta mengampuni kamu. Dan Allah memiliki karunia yang besar." Ini berarti bahwa takwa bukan hanya menghasilkan ketenangan jiwa, tetapi juga kejernihan berpikir dan ketajaman intuisi. Dalam era kekacauan informasi seperti sekarang ini, furqan adalah anugerah besar.

Al-Qur’an juga menegaskan bahwa takwa adalah sebaik-baik bekal dalam perjalanan hidup. Dalam surah al-Baqarah ayat 197 Allah berfirman:  “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” Dunia ini hanyalah tempat persinggahan sementara. Perjalanan manusia menuju akhirat adalah perjalanan panjang yang memerlukan bekal cukup. Namun bekal yang paling menentukan bukanlah harta, jabatan, atau popularitas, melainkan ketakwaan yang menghiasi hati dan amal.

Takwa juga menjelma dalam etika sosial. Dalam surah Al-Baqarah ayat 177 ditegaskan bahwa kebajikan tidak hanya sebatas menghadap kiblat, tetapi juga beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab, dan nabi; serta memberikan harta kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, dan yang membutuhkan. Orang yang bertakwa adalah orang yang tidak hanya menyucikan dirinya, tetapi juga membela keadilan, menolong yang lemah, dan mewujudkan kasih sayang dalam interaksi sosial.

"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi; dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya; mendirikan salat, menunaikan zakat; menepati janji apabila berjanji; dan sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa."

Dalam pandangan ulama tafsir klasik dan kontemporer, takwa adalah hasil dari kesungguhan beragama. Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar menyebut takwa sebagai tujuan dari ibadah puasa, shalat, dan seluruh ajaran Islam. Beliau menegaskan bahwa takwa bukanlah hasil dari kekaguman terhadap teori agama, melainkan buah dari kedekatan hamba kepada Tuhannya. Sementara itu, Syekh Abu Bakar al-Jazairi dalam Minhaj al-Muslim menjelaskan bahwa takwa adalah landasan akhlak mulia, kesabaran, keteguhan hati, dan keikhlasan dalam beramal.

Oleh karena itu, takwa bukanlah tujuan yang dicapai dalam sekejap. Ia memerlukan proses pendidikan ruhani, pembinaan akhlak, serta ketekunan dalam menjalani ibadah dan muamalah yang baik. Takwa adalah hasil dari ketekunan berinteraksi dengan Al-Qur’an, memperdalam pemahaman, memperhalus niat, dan memperbaiki amal. Maka tidak mengherankan jika takwa menjadi doa para nabi dan orang saleh. Mereka memohon kepada Allah agar dijadikan termasuk golongan orang-orang yang bertakwa.

Takwa adalah puncak dari iman, mahkota dari amal, dan inti dari kebahagiaan sejati. Maka barang siapa yang ingin hidup mulia di dunia dan bahagia di akhirat, hendaklah ia menjadikan takwa sebagai jalan hidup. Sebab dengan takwa, manusia tidak hanya akan merasakan manisnya keimanan, tetapi juga akan merasakan kedekatan yang indah dengan Allah, Tuhan semesta alam.

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الْمُتَّقِينَ

Amin ya Rabbal 'alamin.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Peran Pimpinan Perguruan Muhammadiyah terhadap Ortom Oleh: Noval Sahnitri, Ketua Bidang KDI PW IPM ....

Suara Muhammadiyah

18 July 2025

Wawasan

Tidak Berhenti Pada Jilbab Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso, Ta....

Suara Muhammadiyah

16 August 2024

Wawasan

Oleh: Izza RohmanKetua Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah New South Wales Australia Alhamdulill....

Suara Muhammadiyah

2 January 2024

Wawasan

MPI: Garda Terdepan Wujudkan Visi “Digital Organization” Muhammadiyah  Oleh: Labud....

Suara Muhammadiyah

27 November 2023

Wawasan

Guru Hebat, Menginspirasi dan Bermutu  Oleh: Hendra Apriyadi, M.Pd, Dosen Pendidikan Bahasa da....

Suara Muhammadiyah

6 November 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah