YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Walaupun cuaca di luar sedang hujan. Namun hal itu tak mengurangi sedikit pun perasaan rindu kepada sosok yang sangat bersahaja hidupnya. Tokoh yang membuka mata dan pikiran kita tentang banyak isu dan permasalahan yang sangat dekat dan relevan. Terkait perempuan, demokrasi, kekuasaan, agama, dan lain sebagainya. Yang mana hal itu tak jarang memantik sebuah diskusi mendalam untuk menanyakan kembali. Hingga merekontruksi ulang pemikiran. Jangan-jangan yang selama ini telah kita yakini sebagai sebuah kebenaran, tak lagi cocok untuk diterapkan dalam kehidupan kemanusiaan, keumatan, dan kebangsaan hari-hari ini.
Semakin malam, perayaan justru kian meriah. Bukan dengan minum atau makan-makan. Tapi dengan suguhan pembacaan memoar anak kampung yang dibawakan oleh tokoh seniman, aktor, aktris hingga penggiat literasi yang dilakukan secara bergantian. Sebut saja Butet Kartaredjasa, Whani Darmawan, Annisa Hertami, hingga M. Anta Kusumu hadir bersuara. Dengan intonasi yang tertata, mereka mampu meluapkan emosi kerinduan yang mendalam terhadap sosok Buya Ahmad Syafii Maarif. Energinya menular memenuhi isi ruangan.
Dengan diiringi beberapa lagu serta musikalisasi puisi, memoar kenangan tentang Buya, semakin kuat dan pekat. Seolah Buya hadir di tengah-tengah keramaian. Seperti yang dirasakan Jumaldi Alfi, atau yang akrab dipanggil Uda Alfi. Ia mengaku bahwa dirinya telah meminta izin kepada Buya untuk menyelenggarakan acara perayaan tersebut. Bukan untuk mengkultuskan. Malainkan untuk merawat warisan nilai-nilai yang sangat berharga dari sosok teladan seperti Buya Syafii.
Hal ini juga sejalan dengan amanat Muktamar Muhammadiyah. Yang mana mengamanatkan lembaga dan majelis terkait untuk mengangkat kembali kisah para tokoh Muhammadiyah melalui story telling. Meskipun Muhammadiyah memiliki sejarah panjang dan kontribusi yang signifikan, namun kisah para tokohnya seringkali terabaikan, tidak diangkat dengan semarak dan mendalam, sehingga potensi inspirasi dan pembelajaran dari tokoh-tokoh tersebut belum sepenuhnya terwujud.
“Menurut hemat saya, ini menjadi amanat dari Muktamar, untuk melakukan story telling terhadap tokoh-tokoh Muhammadiyah. Ini bukan dalam rangka mengkultuskan. Tapi untuk menjaga warisan Buya dan menularkannya kepada generasi muda,” ujar Uda sebagai tuan rumah SaRanG building.
Story telling menurutnya sangat penting. Banyak sekali manfaat yang dapat ditimbulkan dari story telling, meliputi peningkatan kemampuan bahasa, daya ingat, kreativitas, hingga dapat meningkatkan kemampuan interaksi sosial. Selain itu story telling juga membantu dalam menyampaikan pesan secara efektif, membangun hubungan, dan memperkuat nilai-nilai.
Di luar alasan tersebut, yang paling menggelitik dirinya adalah pernyataan seorang bocah SD Muhammadiyah di Kasihan, Bantul. Dalam satu waktu, sang bocah pernah menanyakan keberadaan KH Ahmad Dahlan itu benar-benar nyata atau motos belaka. Hal inilah yang dikemudian hari terus mengusik pikiran Uda Alfi. Ia pun kemudian berinisiatif merawat ingatan tentang Buya. Bahwa sejatinya Muhammadiyah dan bangsa Indonesia memiliki tokoh yang sangat luar biasa untuk diteladani sikap dan pikirannya.
“Dalam diri Buya, pemikiran, perkataan, dan perbuatan Buya berjalan segaris,” tegasnya.
Pria yang memilih jalan seni sebagai panggilan hidup itu pun menyampaikan rasa syukurnya karena berkesempatan mengenal Buya Syafii Maarif. Baginya, Buya adalah tokoh yang sangat menginspirasi dirinya untuk terus belajar dan membuka diri terhadap kehidupan.
Dalam perjalanannya hingga serangkaian acara perayaan 90 tahun Buya terlaksana sesuai jadwal yang telah ditentukan, Uda mengatakan, mukin Buya tidak akan setuju jika hari kelahirannya diperingati hanya untuk sekedar puja-puji. Ia seolah paham dan mengenal betul karakter Buya. Perayaan 90 Tahun Buya Syafii Maarif pun menjadi wadah untuk melakukan refleksi ke dalam, sudah berapa jauh kita bisa meniru kesahajaan dari salah seorang pendekar dari Chicago itu. (diko)