Perubahan Ekosistem Muhammadiyah
Oleh: Prof Dr Haedar Nashir, MSi
Muhammadiyah saat ini sungguh menghadapi lingkungan atau ekosistem sekitar yang kompleks dan sarat tantangan yang progresif, yang dapat mempengaruhi kondisi internal Persyarikatan. Perkembangan lingkungan eksternal yang multi ragam itu perlu diantisipasi sebagai tantangan ekosistem gerakan, yang sedikit atau banyak mempengaruhi dinamika Muhammadiyah.
Muhammadiyah selalu hadir pada setiap perubahan dan perkembangan zaman yang tidak selalu sama pada setiap fase gerakannya. Ekosistem yang menggambarkan lingkungan tempat relasi manusia dengan seluruh dimensinya mengalami perubahan baru, yang mengubah dan berdampak banyak hal dalam kehidupan umat manusia dan semesta raya. Lebih khusus ekosistem kehidupan beragama, berbangsa, dan relasi kemanusiaan semesta di mana Muhammadiyah hadir.
Perkembangan Global
Muhammadiyah saat ini berada dalam ekosistem globalisasi, perkembangan ideologi dan pemikiran postmodern yang sangat liberal. Dunia dicirikan antara lain oleh alam pikiran post-trust dan dekonstruksi, serta era dunia serbadigital yang menandai kehadiran revolusi 4.0. Demikian halnya kehadiran dunia baru media sosial atau sosial media yang sangat spektakuler. Semuanya merupakan landscape (saujana, bentang alam kehidupan) baru yang banyak mengubah tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan antar-bangsa.
Era dunia digital dan revolusi 4.0. melahirkan apa yang oleh Noval Harari disebut era “Homo Deus”. Manusia mengalami transformasi atau revolusi dari Homo Sapiens (manusia yang berinteraksi sosial) ke Homo Deus (makhluk super dewa) yakni manusia yang memiliki kemampuan teknologi super canggih untuk melakukan “artificial intelligence” dan rekayasa bioteknologi, antara lain mampu melakukan rekayasa kebahagiaan untuk memproyeksikan batas usia manusia bisa bertambah 150-500 tahun. Era Revolusi 4.0. terus bergerak ke 5.0. dan 6.0. yang menandakan kemajuan berpikir manusia berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi super modern.
Era posmodern melahirkan kredo baru humanisme, hak asasi manusia, demokrasi, ilmu pengetahuan, dan modernitas di atas takhta antroposentrisme yang menyertai gerakan renaissance dan aufklarung di Eropa dan terus menyebar ke seluruh dunia modern. Dari sini mekar ekstremisme baru Dunia Modern-Antroposen seperti atheisme dalam kredo “Tuhan Telah Mati” (Nietzsche) maupun agnotisme yang memandang agama bagaikan racun (Karl Marx).
Bersamaan dengan itu baik dunia modernisme maupun posmodernisme melahirkan “chaos” berupa krisis moral, etik, dan sebagainya. Lahirlah kehidupan liar seperti LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) dan nihilisme nilai etik dan agama. Dalam dunia anarki moral dan nilai tersebut menurut Petr L Berger diperlukan kehadiran agama sebagai “The Sacred Canopy”, yakni langit pelindung kehidupan yang suci dan memberi ruang kedamaian, ketenteraman, dan kebahagiaan hidup manusia modern yang serba resah dan gundah akibat kehilangan pedoman hidup yang kokoh dan fundamental.
Namun modernisme dan postmodernisme juga melahirkan kontra alam pikiran khususnya yang bercorak keagamaan, yang dalam referensi sosiologi disebut “revitalisasi agama” dalam bentuk “sectarian response”. Lahirlah ekstremisme beragama, Cult atau sekte-sekte atau kelompok-kelompok sempalan, serta neo puritanisme yang beragama makin kaku, eksklusif, dan serba tekstual.
Era baru yang sangat mempengaruhi relasi antar manusia saat ini ialah media sosial. Media sosial telah menjelma menjadi dunia baru yang bukan sekadar maya tetapi nyata. Media sosial telah menjadi ekosistem sosial baru yang makin bebas dan terbuka dalam berbagai aspek kehidupan. Media sosial telah menjelma menjadi simulakra, yakni realitas buatan yang sarat muatan kompleks dan dapat mengecoh. Informasi yang benar, baik, dan pantas bersamaan hadir secara masif dengan hoaks dan segala pesan atau tayangan keburukan dalam berbagai rupa. Ditemukan fakta bahwa orang Indonesia termasuk netizen yang tingkat kesopanannya terendah di dunia. Fakta tersebut ironi dari norma bangsa Indonesia yang beragama, berfalsafah Pancasila, dan berkebudayaan luhur utama.
Perang dan kejahatan ekonomi-politik dan militer masih terjadi di belahan dunia modern saat ini seperti kekejaman Israel di bumi Palestina. Pengrusakan sumber daya alam dan lingkungan semesta terus terjadi akibat keserakahan manusia. Sementara perubahan ekosistem global terjadi dalam bentuk perubahan iklim (climate change) sebagai menjadi ancaman baru yang mengglobal atau menyemesta dengan dampak yang masif dan luar biasa. Kini timbul fenomena “The Uninhabitable Earth" (David Wallace-Wells, 2019), yakni kisah tentang masa depan ketika bumi tidak dapat lagi dihuni. Ancaman dari perubahan iklim lebih total dan lebih luas ketimbangan ancaman dari bom. Berbagai bencana alam yang tidak lagi alami, badai, kelaparan, laut yang sekarat, udara yang tidak dapat dihirup, wabah akibat pemanasan, ambruknya ekonomi, konflik akibat iklim, terkait dengan perubahan iklim global. Kehidupan diambang kepunahan menyerupai kiamat, manusia tidak dapat lagi memilih planet karena inilah tempat satu-satunya di alam semesta yang dapat disebut sebagai rumah.
Dinamika Baru Nasional
Muhammadiyah juga menghadapi tantangan dan persaingan baru (fastabiqul khairat) dalam kehidupan keumatan dan kebangsaan di Indonesia. Organisasi Islam yang selama ini dikenal tradisional kini menjelma menjadi organisasi yang maju dalam beberapa aspek, termasuk di bidang pendidikan tinggi dan kesehatan. Diaspora kadernya meluas ke berbagai struktur kehidupan baik di pemerintahan maupun non pemerintahan. Pengaruh politiknya dipandang kuat secara massa. Orientasi dan wawasan keislamannya malah dianggap sebagai arus utama yang dapat diterima oleh masyarakat luas di Indonesia, karena karakternya yang dianggap moderat, pluralis, dan inklusif. Jumlah pengikutnya atau yang merasa bagian dari organisasi ini menurut salah satu lembaga survei sekitar 56% dari jumlah penduduk Indonesia. Gerakan ini beririsan dengan kebangkitan Post-Tradisionalisme atau Neo-Tradisionalisme serta Neomodernisme.
Pasca reformasi 1998 hingga saat ini beragam pemikiran yang berhulu dari ideologi Islam juga berkembang dalam spektrum yang beragam. Gerakan yang sebelumnya bersifat “ilegal” atau “underground” bermunculan dan menjadi “legal” oleh proses demokrasi yang sangat bebas. Gerakan-gerakan Islam ini baik aksi maupun pahamnya menyebar ke berbagai lingkungan umat Islam, termasuk ke kampus-kampus. Pada umumnya gerakan keagamaan ini membawa ideologi Islam transnasional, sebagian daur-ulang dari ideologi lama yang dulu dibubarkan. Selain itu meluas juga paham ortodoksi Islam seperti Salafi dan lain-lain dalam ragam aliran dan praktik keagamaan.
Kehadiran gerakan Islam ini bercorak “revivalisme Islam” dalam bentuk atau wujud yang lebih kaku atau skriptural, yang oleh sejumlah ahli disebut “neorevivalisme”, sedangkan dalam gerakan politik bercorak “neo Islamisme” yang kecenderungan politiknya lebih keras. Dalam Muhammadiyah muncul apa yang disebut oleh Prof Amin Abdullah sebagai “mursal” (Muhammadiyah rasa Salafi). Kelompok “mursal” ini boleh jadi sesuai hasil temuan penelitian Prof Munir Mulkhan bertemu dengan “Muhlas” atau Muhammadiyah aliran “ikhlas” yang puritan. Gerakan Islam ini sebenarnya masuk ke berbagai kelompok Islam lain, namun menurut sebagian pengamat jauh lebih terbuka masuk ke lingkungan Muhammadiyah. Dalam sejumlah kasus seperti di Bengkulu, Lampung, Karanganyar, dan daerah lain Muhammadiyah terkena dampak negatif dari penangkapan-penangkapan yang terindikasi paham ekstrem, karena para aktor dan aktivis muslim yang masuk tidak terseleksi dengan parameter faham agama dan ideologi Muhammadiyah.
Pasca reformasi juga bertumbuhan ideologi lain yang berkarakter nasionalisme yang bermuatan ultranasionalisme, multikulturalisme, liberalisme, sekularisme maupun ideologi politik dan ekonomi lain yang saling mempengaruhi dan memperebutkan pengaruh. Di provinsi tertentu bahkan masih muncul gerakan politik separatisme, yang menjadi faktor krusial dalam kehidupan bernegara. Perkembangan politik pasca reformasi mengandung sejumlah dilema pelik khususnya terkait sistem ketatanegaraan.
Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan dan kemasyarakatan juga berhadapan dengan dinamika lain antara lain kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM. hanya dalam pemahaman dan praktik keagamaan terpengaruh oleh gerakan dan ideologi lain, tetapi juga pengaruh paham LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) berhaluan radikal ke dalam Muhammadiyah. Apalagi ketika ada momen-momen politik tertentu, Muhammadiyah menjadi arena aksi ala LSM berhaluan keras tersebut. Padahal dalam paham kebangsaan dan kenegaraan orientasi LSM berhaluan keras itu tentu tidak sejalan dengan Kepribadian dan Khittah Muhammadiyah yang moderat.
Paham dan pendekatan LSM seperti itu berhaluan Marxisme atau Neo-Marxisme, orientasinya serba anti-struktur dan konfrontatif terhadap status-quo, yang sejatinya tidak sejalan dengan karakter gerakan Muhammadiyah. Konstruksi masyarakat sipil (civil society) ala LSM vis a vis negara sebagaimana berlaku di negara Barat, yang sejatinya berbeda dengan relasi antar komponen bangsa dengan negara dalam sistem sosial-politik Indonesia yang berbasis Gotong-Royong dan Sila Persatuan Indonesia dari Pancasila. Muhammadiyah sejalan Kepribadian dan prinsip gerakannya jelas berbeda dan tidak seirama dengan pola gerakan LSM yang juga berkarakter revivalis-kiri dan bahkan Neomarxis.
Di sinilah pentingnya pandangan dan sikap cerdas-kritis dari seluruh anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah dalam menghadapi perubahan ekosistem sekitar yang kompleks dan sarat kontradiksi. Maka tetap konsisten memedomani paham Islam Berkemajuan, Kepribadian, Khittah, dan sistem Muhammadiyah yang wasathiyyah agar tidak terbawa arus paham dan ideologi lain. Seraya perluas basis dan daya jangkau gerakan Muhammadiyah agar tetap menjadi pemandu nilai yang bersifat alternatif berbasis pandangan Islam Berkemajuan yang mencerahkan kehidupan!
Sumber: Majalah SM Edisi 08 Tahun 2024