Pesan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Peringatan Harkitnas 2024
Oleh: Mohammad Fakhrudin, Warga Muhammadiyah Magelang
Pada peringatan hari Kebangkitan Nasional (harkitnas) 20 Mei 2024, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr Haedar Nashir, MSi, (selanjutnya disebut Prof. Haedar Nashir) menyampaikan pidato kebangsaan dengan topik “Hari Kebangkitan Nasional 2024: Membangun Indonesia yang Berdaulat”. Teks pidato beliau telah dipublikasi di Suara Muhammadiyah online, 20 Mei 2024. Teks pidato itu terdiri atas 28 paragraf.
Pasti ada argumen akademis yang melatarbelakangi pemilihan topik tersebut. Lazimnya pemilihan topik pidato (karya ilmiah) ditentukan berdasarkan alasan ada kesenjangan antara das sein (keadaan yang sebenarnya pada waktu sekarang) dan das sollen (keadaan yang dicita-citakan).
Pesan kepada Generasi Muda
Pada paragraf (24) Prof Haedar Nashir menyampaikan pesan secara khusus kepada generasi muda sebagai berikut.
“Saya berpesan kepada generasi muda belajarlah dari sejarah agar kalian tidak mengulangi kesalahan sejarah. Jadikan bangsa Indonesia ini kuat agar tidak diinjak-injak bangsa lain. Kami percaya, masih banyak elit di negeri ini yang berkomitmen tinggi untuk tegaknya kedaulatan Indonesia. Sehingga yang diperlukan ialah mengakumulasi kesadaran kolektif dan bekerjanya sistem bernegara yang secara signifikan membawa pada kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia di dunia nyata.”
Di dalam kalimat pertama paragraf (24) tersebut terdapat kalimat, “Saya berpesan kepada generasi muda belajarlah dari sejarah agar kalian tidak mengulangi kesalahan sejarah.” Kalimat tersebut terdiri atas tiga klausa, yakni (a) “saya berpesan kepada generasi muda, (b) belajarlah (kalian) dari sejarah, dan (c) “agar kalian tidak mengulangi kesalahan sejarah.”
Dari klausa ketiga dapat diketahui bahwa generasi muda pernah melakukan kesalahan sejarah. Rupanya Prof. Haedar Nashir meyakini bahwa pembaca telah memahami maksud kesalahan sejarah yang pernah dilakukan oleh generasi muda pada masa lalu.
Di dalam kajian pragmatik, ada konteks yang disebut konteks epistemis, yakni pemahaman yang sama antara penutur dan petutur tentang suatu peristiwa, hal, atau benda. (Rustono dan Mohammad Fakhrudin di dalam bukunya Pokok-Pokok Pragmatik (2024:51-52). Mungkin konteks epistemis itulah yang dijadikan pertimbangan beliau tidak menjelaskan kesalahan sejarah generasi muda pada masa lalu.
Maksud pesan di dalam klausa (c) dapat dipahami dengan cara menghubungkannya dengan pesan di dalam kalimat kedua, ketiga, dan keempat di dalam paragraf (24) tersebut.
Di dalam kalimat kedua terdapat pesan tersirat bahwa bangsa lain menginjak-injak bangsa Indonesia jika bangsa Indonesia lemah di dalam penegakan kedaulatan. Di dalam kalimat ketiga terdapat pesan tersirat bahwa ada elit bangsa yang berkomitmen rendah dalam penegakan kedaulatan Indonesia.
Selanjutnya, di dalam kalimat keempat terdapat pesan yang merupakan konsekuensi pesan kalimat-kalimat sebelumnya, yakni bahwa yang diperlukan untuk penegakan kedaulatan adalah mengakumulasi kesadaran kolektif dan bekerjanya sistem bernegara yang secara signifikan membawa pada kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia di dunia nyata.
Prof. Haedar Nashir berpesan agar generasi muda mengikuti jejak elit bangsa yang berkomitmen tinggi dalam penegakan kedaulatan Indonesia sebagaimana telah diuraikannya di dalam paragraf (12), yakni;
“Soekarno, Mohamad Hatta, Sudirman dan Djuanda yang keempatnya lekat dengan Muhammadiyah. Bangsa Indonesia saat ini harus belajar berpolitik, sekaligus memiliki tanggung jawab tentang bagaimana mempertahankan kedaulatan Indonesia. Arah dari negarawan itu mengutamakan kepentingan Indonesia di atas segalanya. Jauh dari sifat tercela, yakni mengambil, menggadaikan, dan apalagi menjual Indonesia demi ambisi dan kepentingan diri, krooni, dan kelompok sendiri.”
Das Sein
Menurut hasil penelitian, ada dua faktor penyebab tindakan menyimpang norma (hukum atau moral) yang dilakukan oleh anak usia 13-18 tahun, yaitu (1) faktor internal misalnya rendahnya kontrol diri dan (2) faktor eksternal seperti kurangnya perhatian (kasih sayang) dari orang tua dan pengaruh buruk lingkungan sekitar.
(Sumber: “Fenomena Kenakalan Remaja: Perspektif Hukum dan Kebijakan Kriminal” oleh Jefri Rafael Sikumbang, Tugimin Supriyadi
di dalam IJM: Indonesian Journal of Multidisciplinary e-ISSN: 3025-5961, Volume 2 Nomor 5 Tahun 2024 https://journal.csspublishing/index.php/ijm Universitas Bhayangkara Jakarta Raya); “Kenakalan Remaja Komunitas Street Punk di Palembang” oleh Sowi Sujarwo & Berry Agustian di dalam Jurnal Penelitian Pendidikan, Psikologi dan Kesehatan (J-P3K) 2024, Vol. 5 (No. 1) : 269-276, p-ISSN : 2721-5393, e-ISSN : 2721-5385 www.jurnalp3k.com/index.php/J-P3K/index; “Ratusan Anak Terlibat Tindak Kriminal sejak Awal Tahun 2025”, Pusiknas Bareskrim Polri. 21 Februari 2025)
Penelitian tentang faktor penyebab eksternal tampaknya baru sampai pada kurangnya perhatian (kasih sayang) orang tua. Belum diungkap perilaku buruk apa saja yang dilakukan oleh orang tua (baik ayah ibu maupun orang tua yang lain) yang ada di lingkungan tempat tinggalnya. Demikian pula perilaku buruk orang tua yang dilihatnya di media sosial. Bukankah perilaku buruk mereka dengan mudah dapat dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari dan berpengaruh buruk?
Sementara itu, dari segi kuantitas dan kualitas ada kecenderungan meningkat. Bahkan, wilayah kejadiannya pun meluas; tidak hanya di kota besar, tetapi di daerah.
(Sumber: “Kenakalan Remaja Sebuah Refleksi Keadaan Bangsa” di dalam Suara Muhammadiyah online, 31 Maret 2024 oleh Amalia Irfani, LPPA PWA Kalbar; “Kenakalan Remaja di Pontianak Meningkat, Polisi Usulkan Aturan Jam Malam” oleh Diko Eno - Sabtu, 8 Maret 2025 di dalam Channel Resmi suarakalbar.co.id)
Boleh jadi, tindakan kriminal yang dilakukan oleh anak usia 13-18 tahun dan orang tua, tetapi tidak dilaporkan, jauh lebih memprihatinkan.
Pesan kepada Seluruh Bangsa Indonesia
Pesan kepada seluruh bangsa Indonesia terdapat misalnya di dalam paragraf (19) berikut ini.
“Kami menaruh harapan besar agar pemerintah terpilih benar-benar mampu mewujudkan kedaulatan Indonesia, sekaligus mewujudkan seluruh aspek tujuan nasional Indonesia sebagai mandat luhur dan utama dalam jiwa kenegarawanan yang tinggi. Pemerintahan negara dari periode ke periode berkewajiban menegakkan kedaulatan Indonesia, dalam satu kesatuan misi utama menjalankan kebijakan roda pemerintahan dari pusat hingga daerah, sebagaimana diperintahkan oleh konstitusi UUD 1945 yaitu melindungi segenap warga Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Menurut teori implikatur di dalam kajian pragmatik sebagaimana dikemukakan oleh (Rustono dan Mohammad Fakhrudin di dalam bukunya Pokok-Pokok Pragmatik (2024:121), penggalaan tuturan “… agar pemerintah terpilih benar-benar mampu mewujudkan kedaulatan Indonesia”, dapat berarti bahwa selama pemerintahan sebelumnya, kedaulatan Indonesia belum benar-benar terwujud. Dengan kata lain, kedaulatan Indonesia belum terwujud sepenuhnya selama pemerintahan sebelumnya.
Pada akhir pidatonya, beliau berdoa.
“Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan berkahnya untuk bangsa Indonesia karena dapat menjaga kedaulatan negara, tanah air, bercinta yang dilandasi iman dan takwa sebagaimana firman-Nya,
“Walau anna ahlal-qurâ âmanû wattaqau lafataḫnâ ‘alaihim barakâtim minas-samâ'i wal-ardli wa lâking kadzdzabû fa akhadznâhum bimâ kânû yaksibûn”.
Artinya, “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.”
Sebagai warga Muhammadiyah yang cerah, cerdas, dan maju. tentu kita tidak sekadar mengamini doa tersebut, tetapi juga berikhtiar secara maksimal agar bangsa Indonesia memperoleh keberkahan. Di samping itu, kita pun melakukan evaluasi diri.
Jika hasil evaluasi diri kita adalah bahwa keberkahan belum kita rasakan, berarti ada di antara kita yang beriman dan bertakwa, tetapi belum sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Malahan, sangat mungkin pula ada di antara kita yang mendustakan para Rasul dan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Na'uzubillah!