Pidato Prabowo di PBB: Antara Mimpi dan Realitas Palestina

Publish

26 September 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
107
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Pidato Prabowo di PBB: Antara Mimpi dan Realitas Palestina

Oleh: Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute – Aktifis Muballigh PP Muhammadiyah

Pidato Presiden Prabowo Subianto di hadapan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 23 September 2025 pukul 11.00 waktu New York (23.00 WIB) menuai perhatian luas, baik di dalam maupun luar negeri. Media Turki, TRT World menyoroti kesiapan RI untuk mengirim 20.000 pasukan penjaga perdamaian ke berbagai penjuru dunia jika diberi mandat oleh PBB. Media Israel, Times of Israel juga tertarik dengan gestur politik Prabowo yang bilang akan menjamin keamanan Israel sebagai kunci perdamaian dan ucapan ‘Shalom’ di akhir pidatonya. 

Bagi sebagian pihak, orasi itu menunjukkan keberanian Indonesia menampilkan diri sebagai kekuatan moral dunia, siap menegakkan perdamaian, bahkan menawarkan 20.000 lebih pasukan penjaga perdamaian untuk Gaza, Ukraina, Sudan, hingga Libya. Namun bagi sebagian yang lain, pidato itu meninggalkan pertanyaan serius: apakah Indonesia benar-benar berpihak pada keadilan bagi Palestina, atau justru terjebak dalam diplomasi yang menguntungkan Israel?

Simbol Multilateralisme

Prabowo membuka pidatonya dengan narasi universal: manusia diciptakan setara, berhak atas hidup, kebebasan, dan martabat. Ia mengingatkan kembali pengalaman pahit Indonesia di masa kolonialisme dan apartheid Hindia-Belanda, lalu menegaskan bahwa solidaritas dunia, terutama lewat PBB, memberi legitimasi dan dukungan pada kemerdekaan Indonesia. Narasi ini memberi pesan kuat: Indonesia ditempatkan sebagai contoh nyata bahwa kolonialisme bisa dikalahkan, dan bahwa PBB memiliki peran bersejarah dalam perjalanan bangsa-bangsa.

Sungguh ketidakadilan besar terjadi karena Palestina hingga kini tidak mendapat keadilan dan legitimasi kemerdekaan di forum yang sama. Prabowo, dengan mengutip Thucydides, menolak logika kekuasaan, “the strong do what they can, the weak suffer what they must”. Menyerukan dunia untuk tidak diam terhadap genosida dan penderitaan di Gaza.

Indonesia juga ditampilkan sebagai negara yang konsisten dengan multilateralisme. Prabowo menyebut Indonesia sebagai salah satu kontributor terbesar pasukan penjaga perdamaian PBB, siap mengirim duapuluh ribu pasukan tambahan bila diminta. Bahkan ia menekankan, Indonesia tak hanya siap dengan "kata-kata", tetapi juga "boots on the ground" dan dukungan finansial. “Perdamaian tak dijaga dengan pidato, tapi dengan kaki yang benar-benar menapak di bumi.” Di sini, Prabowo hendak mengangkat posisi Indonesia sebagai pemain global yang serius, bukan hanya retorika kosong.

Gaza di Panggung Dunia

Bagian paling menyentuh adalah ketika Prabowo menyebut tragedi kemanusiaan di Gaza. Dengan nada emosional, ia bertanya: "Siapa yang akan menyelamatkan anak-anak Gaza yang menangis meminta pertolongan? Siapa yang akan menyelamatkan orang tua dan perempuan yang menghadapi kelaparan dan trauma?"

Bagi publik Indonesia yang mayoritas Muslim, pernyataan ini memberi kebanggaan: Presiden RI berdiri di forum dunia membela Palestina. Ia bahkan menegaskan bahwa dunia tidak boleh diam ketika rakyat Palestina terus diperlakukan tidak adil di ruang sidang yang sama. Pesan itu seolah menjadi pembeda antara Indonesia yang “pernah dijajah” dengan negara-negara Barat yang cenderung mendukung penjajah.

Namun di sinilah muncul titik kritis. Dalam penutup pidatonya, Prabowo menegaskan kembali komitmen Indonesia pada solusi dua negara. Ia menyatakan bahwa: 1) Palestina harus merdeka. 2) Israel harus diakui, dihormati, dan dijamin keamanannya. Prabowo bahkan menyebut ini sebagai “satu-satunya solusi” untuk perdamaian.

Bagi sebagian kalangan, pernyataan ini terasa seperti “blunder diplomatik”. Sebab, dalam pengalaman sejarah, konsep “solusi dua negara” seringkali tidak lebih dari proyek politik Barat untuk mengunci Palestina dalam negara simbolis: tanpa kedaulatan penuh, tanpa kekuatan militer, tanpa kontrol atas tanah dan perbatasan, bahkan tanpa kepastian ibukota di Yerusalem Timur. Dengan kata lain, negara Palestina versi Barat hanyalah fotokopi Otoritas Palestina yang kewenangannya terbatas, sekadar mengelola urusan administratif, sambil tetap berkoordinasi keamanan dengan Israel.

Lebih jauh, pernyataan Prabowo menimbulkan kekhawatiran: apakah Indonesia kini sedang digiring masuk ke jalur normalisasi, dengan menjadikan pengakuan terhadap Israel sebagai “imbalan” dari pengakuan Palestina? Publik di tanah air sudah merespons dingin. Media sosial ramai dengan kritik: Indonesia memang mendukung Palestina, tetapi mengapa harus disertai jaminan keamanan untuk Israel, padahal Israel-lah pihak penjajah dan pelaku genosida?

Sejarah Solusi Palsu

Kita tahu, sejak Perjanjian Oslo 1993, ide dua negara sudah berkali-kali didorong. Namun, hasilnya nihil. Israel tidak pernah sungguh-sungguh memberi ruang bagi Palestina merdeka. Aneksasi Tepi Barat jalan terus dengan pembangunan pemukiman illegal tanpa henti. Blokade Gaza tidak pernah dicabut. Yerusalem terus diperlakukan sebagai ibukota eksklusif Israel. Hak kembali jutaan pengungsi Palestina diabaikan.

Bahkan, sebagaimana ditulis oleh para analis, solusi dua negara kerap dimaknai Israel hanya sebagai strategi untuk melanggengkan kolonialisme dengan wajah baru. Palestina boleh punya bendera, boleh duduk di PBB, tetapi tanpa kontrol nyata atas wilayah, keamanan, dan masa depannya sendiri. Sementara itu, Israel memperoleh keuntungan strategis: pengakuan internasional, legitimasi penuh, dan jalan mulus menuju normalisasi dengan dunia Arab.

Pernyataan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer baru-baru ini mengkonfirmasi hal itu. Ia mengatakan, pengakuan atas Negara Palestina tidak membahayakan Israel, bahkan menguntungkannya. Mengapa? Karena Palestina pada akhirnya akan menjadi “negara simbolik”, sementara keuntungan politiknya adalah mendorong negara-negara Arab dan Muslim masuk arus normalisasi.

Indonesia tentu berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, konstitusi jelas menegaskan: penjajahan harus dihapuskan. Publik Indonesia pun konsisten mendukung Palestina secara total, tanpa syarat. Namun di sisi lain, tekanan diplomatik global kian besar untuk menerima dua negara sebagai “jalan tengah”.

Prabowo tampaknya berusaha menampilkan diri sebagai negarawan moderat yang bisa diterima semua pihak: membela Palestina, tetapi juga memberi jaminan keamanan bagi Israel. Dalam kacamata diplomasi internasional, ini mungkin terlihat sebagai sikap realistis. Namun dalam kacamata moral bangsa Indonesia, ini bisa dianggap sebagai ‘jurus mabuk’ yang kurang lurus pada semangat konstitusi, bahkan mungkin dinilai menyakiti perasaan rakyat yang sejak lama berdiri teguh bersama Palestina.

Jalan Keadilan

Pertanyaan besarnya adalah: apakah solusi dua negara dengan model “Palestina simbolik” benar-benar adil? Jawabannya hampir pasti tidak. Tanpa kedaulatan penuh, tanpa kontrol atas tanah dan perbatasan, tanpa hak kembali pengungsi, tanpa pengakuan Yerusalem Timur sebagai ibukota Palestina, maka negara Palestina hanyalah ilusi.

Prabowo benar ketika menyebut dua bangsa keturunan Nabi Ibrahim (Arab-Israel) harus hidup berdampingan dalam damai. Tetapi perdamaian sejati tidak bisa dibangun di atas ketidakadilan. Jaminan keamanan bagi Israel hanya masuk akal bila Israel terlebih dahulu menghentikan blokade, genosida, dan pendudukan. Tanpa itu, jaminan keamanan hanya berarti memberi legitimasi pada penjajah untuk terus menindas.

Saya percaya sepenuhnya bahwa konsep ‘Solusi 2 Negara (SDN)’ dalam kepala Prabowo tentu berbeda dengan konsepsi yang dirancang oleh negara-negara Barat. Setidaknya itu yang saya tangkap dari konpers Menlu Sugiono yang menyertai presiden di SU-PBB,  di hadapan wartawan media-media Indonesia setelah pidato Prabowo pada 22/9/2025. Menlu Sugiono berhasil menyampaikan maksud pidato presiden dengan apik. Ia menegaskan bahwa pernyataan presiden terkait pengakuan terhadap Israel itu, “Bukan tanpa syarat, tapi harus ada kondisi yang harus terpenuhi sebelum hal itu terjadi..” Artinya tentu dalam bingkai keadilan yang penuh bagi hak-hak rakyat Palestina. (sumber: channel youtube Metro TV)

Pidato Prabowo di PBB adalah momen penting. Ia berhasil menempatkan Indonesia di panggung dunia sebagai negara besar yang siap berkontribusi nyata. Tetapi dalam isu Palestina, ia meninggalkan pekerjaan rumah besar. Rakyat Indonesia menuntut agar sikap politik luar negeri tidak terjebak dalam ilusi dua negara yang timpang.

Indonesia harus tetap konsisten: mendukung Palestina merdeka sepenuhnya, dengan kedaulatan utuh, ibukota di Yerusalem Timur, serta hak kembali bagi para pengungsi. Tanpa itu, solusi dua negara hanyalah mimpi indah yang menutupi realitas pahit rakyat Palestina.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Pilkada dalam Ancaman Ketidakpercayaan Warga  Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpinan Ranting....

Suara Muhammadiyah

2 December 2024

Wawasan

Mark DeSando: Mantan Anggota Kongres, Penjelajah Agama Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakulta....

Suara Muhammadiyah

10 February 2025

Wawasan

Oleh: Mohammad Nur Rianto Al Arif Ketua PD Muhammadiyah Jakarta Timur Dakwah kultural menjadi top....

Suara Muhammadiyah

19 March 2024

Wawasan

Menguatkan Cabang dan Ranting Mengakselerasi Gerak Filantropi Oleh: Yandi, ketua PCM Ciawi Tasikmal....

Suara Muhammadiyah

9 December 2023

Wawasan

Oleh: Suko Wahyudi Kehidupan dunia adalah sementara, yang kekal hanyalah kehidupan akhirat. Namun, ....

Suara Muhammadiyah

5 December 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah