Pola Respon Emosi Terhadap Uang: Cermin Jiwa manusia
Oleh: Ratna Arunika, PWA Jawa Timur
Uang bukan sekedar angka atau alat tukar, melaiankan simbol eksistensial yang mencerminkan trauma, harapan, dan nilai-nilai batin manusia. Uang menyusup ke ingatan masa kecil, hubungan keluarga, dan cara pandang dunia—ia menjadi “aktor ketiga” dalam relasi manusia. Ia punya kehidupan rahasia, menyusup kedalam ingatan masa kecil, ke meja makan, kedalam cara orang tua kita bertengkar atau diam-diam menahan cemas. Makna uang jauh melampaui fungsinya sebagai alat tukar atau ukuran nilai ekonomi. Uang mengarahkan bagaimana manusia memandang dirinya sendiri, sesama dan dunia. Dari sana kita belajar bahwa uang adalah rasa aman, atau justru ancaman. Dan pelajaran itu entah kita sadari atau tidak, masih terus kita bawa hingga hari ini (Secreet of life money – Tad Crawford).
Setiap transaksi, jarang sekali yang murni hanya soal harga. Ada rasa bersalah, ada dendam kecil, ada rasa ingin diakui. Seorang anak yag tumbuh dalam kekurangan, misalnya sering merasa uang adalah satu-satunya jalan untuk dihargai. Anak yang tumbuh dengan jarak emosional, bisa belajar bahwa uang adalah pengganti kasih sayang. Maka membeli, memberi, menolak seringkali lebih dari sekedar soal kebutuhan. Uang diam-diam membentuk ruang batin dalam diri kita, sebuahh pengingat bahwa setiap transaksi membawa beban emosional.
Neuropsikologi uang
Neuropsikologi di balik sikap finansial—bukti neuro imaging menunjukan menunjukkan aktivasi otak berbeda untuk antisipasi keuntungan (nukleus akumbens/NAcc) dan kerugian (insula). MPFC (medial prefrontal cortex-bagian otak yang terlibat dalam fungsi kognitif dan emosional) menangani "kesalahan prediksi" saat hasil berbeda dari harapan. Reaksi otak ini memengaruhi risiko, kehati-hatian, dan impulsivitas dalam pengeluaran.(Knutson et al. 2005) Aktivasi pada bagian-bagian otak ini bereaksi berbeda terhadap harapan positif dan negatif, dan reaksi ini bisa mempengaruhi bagaimana individu membuat keputusan.
Insula aktif saat mengantisipasi kerugian atau rasa sakit, yang bisa membuat seseorang takut kehilangan uang. Individu dengan insula aktif lebih menghindari resiko, yang selaras dengan sifat kikir (Stingy). MPFC juga terlibat, memperkuat kehati-hatian. Sifat boros (extravagant) bisa jadi dipengaruhi oleh aktifitas NAcc yang tinggi. NAcc aktif saat mengantisipasi keuntungan, yang bisa mendorong pengeluaran impulsif untuk mendapatkan gairah positif. Individu dengan sifat dermawan (generous) kemungkinan dipengaruhi oleh keseimbangan antara aktivitas MPFC dan NAcc, dengan insula yang rendah. Berdasarkan penelitian neuroimaging dari (Knutson et al.,dll.), kita bisa menginferensikan bagaimana sifat kikir(stingy), boros (extravagant), dan dermawan (generous) mungkin dipengaruhi oleh aktivitas otak ini, bagaimana otak memproses resiko, keuntungan, dan kerugian. Namun ini bukan satu-satunya faktor, karena lingkungan, pendidikan, latar belakang keluarga, dan budaya juga berperan.
Evolusi munculnya uang sebagai alat tukar terjadi secara bertahap di berbagai budaya di sepanjang sejarah manusia. Mulai dari sistem barter, sampai pada penggunaan barang komoditas sebagai standar nilai. Berdasarkan catatan arkeologis dan sejarah, awal mula orang mulai menggunakan barang sesperti biji-bijian, ternak, atau garam sebagai alat tukar yang dianggap memiliki nilai intrisik sekitar 6.000 tahun yang lalu di Mesopotamia. Logam seperti tembaga, perak, dan emas mulai digunakan sebagai uang komoditas sekitar 3000 SM. Dan di Yunani, koin pertama kali dicetak sekitar 600 SM. Uang kertas pertama kali digunakan sebagai alat tukar pada abad ke-7 M di Cina pada Dinasti Tang, dan uang kertas modern berkembang di Eropa pada abad ke-17. Dan saat ini uang digital seperti cryptocurrency (sejak 2009 dengan bitcoin) menambah variasi mata uang. Evolusi ini mencerminkan transisi dari barter inefesien ke sistem yang memfasilitasi perdagangan global.
Uang sebagai Guru Batin dan Mitos Hidup
Uang bukan hanya alat ekonomi, tetapi perpanjangan dari sistem nilai manusia, dan elemen fundamentl yang membentuk struktur masyarakat. Mempengaruhi hierarki sosial, sistem nilai, perilaku individu, dan dinamika kelompok. Ia memfasilitasi pertukaran, menciptakan ketimpangan, dan membentuk identitas serta motivasi manusia. Uang menciptakan hierarki ekonomi. Orang dengan status tinggi sering mendapat akses lebih mudah ke pendidikan, kesehatan, perumahan, investasi, dan pekerjaan. Studi dari World Bank menunjukan bahwa status finansial mempengaruhi harapan hidup, pendidikan anak, dan stabilitas keluarga. Dan keadaan saat ini di masyarakat lebih ekstrem karena kesenjangan ekonomi global
Mengacu dari pandangan Jean Baudrillard (filsuf Prancis) dalam karyanya (Simulacra and Simulation (1981), uang adalah “simulacrum of value” atau tiruan dari nilai-representasi yang menggantikan realitas, sehingga orang percaya tiruan itu sebagai yang asli. Uang sebagai konstruksi sosial yang bisa rapuh.
Uang bukan netral, ia membawa rasa bersalah, dendam, atau keinginan diakui dalam setiap transaksi. Transaksi jarang murni soal harga; sering melibatkan trauma masa kecil (uang sebagai pengganti cinta). Kapitalisme membuat uang jadi ukuran tunggal nilai manusia. Terkadang nilai seorang ibu yang melakukan pekerjaan rumah seharian telah bekerja melebihi jam kantor. Guru, perawat, atau petani—orang-oarang yang menjaga hidup tetap berjalan seringkali diberi upah yang jauh dari layak. Ketika uang jadi dewa, martabat manusiapun ditawar di pasar. . Uang menjadi bahasa yang universal untuk menilai sesuatu-bahkan pada hal-hal yang seharusnya tak ternilai seperti waktu, tenaga, dan kasih sayang.
Uang juga soal kepercayaan. Selembar kertas yang nilainya ada hanya karena kita sepakat mempercayainya, nilai dari kepercayaan kolektif. Simbol artifisial yang diberi nilai oleh kesepakatan sosial, bukan karena bahan dasarnya (seperti nilai emas). Tanpa nilai itu uang hanyalah benda mati. Setiap transaksi adalah janji diam-diam : aku percaya padamu, dan kamu percaya padaku. Uang adalah cermin dari hubungan sosial kita.
Apakah kita sering digerakan rasa takut kehilangan uang atau mensyukuri atas yang ada. Uang menantang manusia untuk menjawab satu pertanyaan penting: kapan sesutau dianggap cukup ? Uang bisa menguji, apakah kita benar-benar nenilih hidup kita atau sekedar mengikuti cerita keluarga bagaimana uang seharusnya diperlakukan. Sebagian lagi percaya bahwa uang adalah satu-satunya jalan menuju hormat. Ada yang meyakini bahwa uang datang lewat kerja mati-matian, semua ini adalah mitos hidup
Mitos seperti “uang adalah dosa” atau “uang merupakan sumber kebahagiaan” membentuk laku hidup dan menumbuhkan keyakinan bawah sadar yang dibentuk sejak kecil. (memori masa kecil) dan perilaku finansial saat dewasa.
Empat pola respon Emosi terhadap uang – adaptasi dari penelitian Brad Klontz & Ted Klontz, 2009 dalam buku Wired for Wealth dan artikel terkait yang membahas “money scripts” berdasarkan pengalaman klinis dan penelitian mereka menemukan bahwa individu memiliki “skrip” emosional tak sadar tentang uang yang terbentuk dari pengalaman masa lalu, budaya , dan pendidikan. Ada empat kategori utama money scripts diantaranya :
1.Money Avoidance – menghindari uang karena dianggap jahat / sumber keserakahan. Sebagian dari kita diajarkan bahwa uang adalah sumber dosa. Individu dengan skrip ini mungkin percaya bahwa uang merusak moralitas, sehingga mereka lebih memilih kemiskinan daripada resiko “tercemar” oleh kekayaan. Pemikiran semacam ini bisa dipengaruhi oleh ajaran agama—menekankan kemiskinan sebagai jalan kesalehen, budaya—menganggap kekayaan sebagai dosa karena bisa mendorong keserakahan atau ketidak adilan sosial, pengalaman masa lalu—trauma pada korupsi atau eksploitasi, ajaran keluarga—mengajarkan bahwa “uang membuat orang jahat”, norma sosial—menekankan kesedarhanaan atau kapitalisme, uang dianggap sebagai ancaman moral, dan faktor internal—rasa bersalah dari pengalaman kemiskinan atau kecemasan tentang kekuasaan uang takut membuatnya menjadi “jahat” jika kaya.
2.Money Worship – Percaya bahwa uang adalah sumber utama kebahagiaan, keamanan, atau kekuasaan, sehingga menjadi objek penyembahan. Individu dengan skrip ini merasa bahwa uang adalah sumber keamanan utama, sehingga mereka terus mengejar lebih banyak tanpa batas. Dalam masyarakat kapitalis, uang serig dipromosikan sebagai ukuran kesuksesan. Money worship bisa berasal dari rasa tidak aman atau low self esteem, dimana uang dianggap bisa menjadi “pengganti” kebahagiaan sejati. Mereka percaya uang akan memberikan kontrol atau cinta, yang merupakan proyeksi dari kebutuhan emosional yang belum terpenuhi.
3.Money Status – Mengaitkan nilai diri dengan status finansial. Individu dengan skrip ini percaya bahwa kekayaan menentukan martabat seseorang, menggunakan uang untuk membeli status (membeli barang mewah/branded, gaya hidup flexing untuk menunjukan kesuksesan). Individu mengadopsi skrip ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti keluarga—menekankan status sosial pada anak, psikologis—rasa tidak aman membuat seseorang menggunakan uang untuk validasi diri, dan norma budaya— status finansial sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat modern terutama di era globalisasi dan media sosial.
4.Money Vigilance – Takut kehilangan uang, cenderung menimbun atau berhemat ekstrem. Perilaku finansial sering mencerminkan masalah emosional (unresolved emotional wound) yang belum terselesaikan (misal: orang tua meninggal atau perceraian yang menyebabkan ketidakstabilan finansial). Ketakutan ini membuat seseorang selalu waspada, meningkatkan kecemasan finansial , dan menganggap uang sebagai satu-satunya sumber keamanan.
Bagaimana respon emosional individu dengan uang mengungkap trauma emosional. Kesehatan keuangan adalah bagian dari kesehatan jiwa. Uang bukan tentang angka, melainkan mencerminkan jiwa manusia. Ia memperlihatkan cara kita mencintai, takut, memberi, dan mencari makna.
Menurut Patricia Kathleen Robertson dalam buku The Money Matrix, melihat uang sebagai cermin Jiwa. Uang adalah “energi kehidupan” — ia memantulkan hubungan kita dengan rasa layak, memberi, dan menerima. Baik secara finansial maupun emosional. Pendekatan ini lebih holistik dan spiritual, dimana uang bukan hanya alat ekonomi, tetapi juga cermin pola pikir, trauma, dan nilai-nilai internal. Kebiasaan finansial seperti pengeluaran impulsif, ketakutan berinvestasi , atau obsesi menabung bukan sekedar masalah teknis semata, melainkan hasil dari “arus emosional”(emotional current) yang mengalir dari masa lalu. Merujuk pada energi psikologis yang mendorong perilaku kita, seperti rasa tidak aman, kecemasan, atau pola hubungan yang terdistorsi (misalnya, uang sebagai pengganti cinta atau kontrol).
Dari sudut pandang spiritual islam, memandang harta (uang) sebagai amanah dari Allah SWT, bukan milik mutlak manusia. Islam menuntun manusia untuk memaknai uang sebagai sarana kehidupan duniawi dan akhirat, yang harus dikelola dengan tanggung jawab, dan menguji iman dan amal manusia. Ia dipandang sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan beribadah, tetapi juga ujian untuk menghindari ketamakan. Harta (uang) adalah “energi” yang harus dialirkan untuk kebaikan. Seperti yang disampaikan Allah dalam firmannya :
وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَآ أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ ٱلْفَسَادَ فِى ٱلْأَرْضِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash:77)
Apa yang sebenarnya yang kita cari lewat uang ? apakah itu keamanan, pengakuan, kekuasaan atau cinta yang dulu tak ditemukan. Jawabannya berbeda bagi setiap orang. Percakapan dengan uang adalah percakapan dengan diri sendiri. Semakin kita berani jujur semakin uang berhenti menakuti, dan mulai mengajarkan rahasia uang.
Uang membawa paradoks moral: ia bisa menyembuhkan atau menghancurkan, tergantung kesadaran penggunanya. Ia menguji kebijaksanaan, apakah kita memilih hidup dengan menjadikan uang sebagai “energi kehidupan” atau mengikuti mitos keluarga ? Hubungan seseorang dengan uang sebenarnya mengungkapkan banyak hal tentang kesejahteraan emosional seseorang. Bagaimana seseorang memaknai dan memeperlakukan uang bisa jadi cerminan trauma atau luka emosional transgenerasional yang belum terselesaikan dari sistem keluarga.
Perilaku ekonomi manusia adalah hasil dialog antara emosi, rasio, dan pengalaman hidup yang terekam dalam otak. Pada uang melekat ketakutan, harapan, mitos, hingga luka lama yang tidak disadari. Uang diam-diam membentuk ruang batin dalam diri kita. Manusia modern menjadikan uang simbol kontrol terhadap rasa aman palsu. berhenti meyakini mitos itu, agar uang berhenti menjadi tuan dan kembali menjadi pelayan. Ketika uang menjadi tujuan, manusia kehilangan keseimbangan etik. Uang adalah alat uji kesadaran.
Islam menuntun penggunaan uang melalui prinsip-prinsip syariat seperti halal, tolong-menolong, dan keseimbangan. Uang harus diperoleh dari sumber halal (tidak riba, korupsi, atau eksploitasi), digunakan untuk kebutuhan primer (makan, minum, pakaian), dan dialokasikan untuk ibadah sosial seperti zakat, infaq, dan sedekah. Ini mencegah uang menjadi "tuan" seperti dalam mitos kapitalis, melainkan "pelayan" untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Bagaimana seseorang memaknai uang menunjukan seberapa dalam ia memahami hidupnya. Bagi yang dangkal, uang hanyalah jumlah. Bagi yang sadar, uang adalah cermin relasi diri, nilai dan rasa syukur. Islam mendorong "tracing emotional current" melalui introspeksi spiritual (muhasabah), bukan hanya terapi, untuk mengubah pola negatif menjadi amal positif. Pada akhirnya uang adalah bahasa lain dari rasa cukup, sebuah panggilan berdamai dengan diri sendiri.


