Puasa Bukan Hukuman, Tapi Jalan Kebahagiaan Menuju Tuhan

Publish

11 March 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
190
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Puasa Bukan Hukuman, Tapi Jalan Kebahagiaan Menuju Tuhan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Pernahkah kita melihat orang makan cabai super pedas? Dia berkeringat dan air matanya keluar. Mungkin kita berpikir, "Kasihan sekali." Tapi, setelah menghabiskan cabai itu, dia malah minta tambah! Kenapa? Karena yang bagi kita terlihat siksaan, baginya justru kenikmatan.

Ini hal menarik untuk dibahas. Soalnya, Muslim awam tanpa ilmu agama mendalam mungkin mengira Tuhan seperti mandor yang memberi tugas berat. Kita harus berhasil agar selamat, kalau tidak ya dihukum. Padahal, dalam Islam, kita tidak memandang Tuhan seperti itu. Para ulama justru menjelaskan bahwa larangan Tuhan muncul karena hal itu berbahaya bagi kita, terutama secara spiritual. Itulah kenapa Allah melarangnya supaya kita tidak terluka secara rohani. Sebaliknya, jika Tuhan menyuruh kita melakukan sesuatu seperti shalat, puasa, atau amalan lainnya, itu untuk kebaikan spiritual kita.

Kalau kita tidak melakukannya, kita akan tersakiti secara spiritual. Itulah kenapa Tuhan mewajibkan kita. Misalnya, kita punya naluri fisik seperti lapar dan haus. Tak perlu disuruh, kita akan makan dan minum. Tuhan tak perlu bilang, "Lebih baik kamu makan dan minum." Namun, kita tidak bisa melihat jiwa atau sisi spiritual seseorang. Kita tidak tahu apa kebutuhannya. Jiwa manusia tak bisa diuji di lab untuk mengetahui nutrisi spiritualnya. Hanya Sang Pencipta yang tahu kita butuh shalat, puasa, beserta dosis dan waktunya, layaknya obat yang tidak boleh diminum sekaligus.

Sama seperti kita perlu tahu kapan shalat, kapan puasa, kapan berzikir dan caranya. Kita juga perlu tahu cara terhubung dengan kekuatan yang lebih besar, yang menjalankan alam semesta, yakni Allah Sang Khalik. Shalat dan puasa adalah caranya. Tujuan puasa yang Allah tetapkan adalah untuk terhubung dengan-Nya. Bahkan di sebuah Hadits Qudsi, dinyatakan (الصيام لي وأنا أجزي به—Puasa untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya). Jadi, saat seseorang berpuasa, dia menjadi lebih dekat dengan Tuhan.

Kita boleh jadi melakukan amalan lain karena mengharapkan pahala. Tetapi khusus puasa, Allah menyatakan, "Aku yang akan memberikan balasannya." Artinya pahala itu tidak tetap. Tuhan, atas kemurahan hati-Nya, akan memberi lebih banyak lagi. Perkataan "puasa itu untuk-Ku" sendiri luar biasa. Karena amalan lain mungkin dilakukan untuk pamer, cari nama, dan lain-lain. 

Namun, menurut hadits ini, puasa benar-benar untuk Tuhan. Jadi, puasa bukan untuk pamer, bukan untuk orang lain, tapi hanya untuk mencari ridha Allah. Ini menunjukkan bahwa Tuhan menganggap puasa secara personal. Ini seperti Tuhan berkata, "Ini untuk-Ku." Dan saat itu, Tuhan sangat dekat dengan orang yang beriman. Jadi, orang tersebut menjadi sangat dekat dengan Tuhan.

Amalan lain mungkin terlihat orang lain, tapi puasa tidak. Orang lain hanya tahu kita berjanji atau mengklaim berpuasa, tapi mereka tidak tahu kalau kita diam-diam makan atau minum. Saat kita menolak makan atau minum diam-diam, itu karena kita tahu Tuhan bersama kita dan melihat kita. Hal itu menciptakan kedekatan antara kita dan Tuhan sepanjang hari. Ini menciptakan kesadaran yang tinggi. 

Kita pernah melihat orang yang bekerja keras, namun tetap menjalankan puasa bahkan sampai 14 jam di terik matahari di negara-negara subtropis. Itu yang menginspirasi kita sebagai Muslim. Ini adalah semangat kebersamaan di bulan Ramadhan. Puasa bukanlah sesuatu yang kita takutkan atau benci. Itu adalah sesuatu yang kita nantikan.

Kadang, kalangan non-Muslim tidak mudah mengerti. Tapi, coba kita bandingkan dengan latihan mendaki Gunung Everest. Itu butuh banyak ketekunan, tekad, dan usaha keras. Dan orang-orang merasakan kenikmatan dalam prosesnya dan saat mencapai puncak.

Ada juga hadits yang menyebutkan bahwa orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan, yakni kebahagiaan saat berbuka puasa dan kebahagiaan saat bertemu dengan Tuhannya. Jadi, proses puasa itu sendiri menyenangkan, ada kebahagiaan di akhir, dan kebahagiaan tertinggi saat kita mencapai puncak, saat kita bertemu Sang Pencipta, Yang Maha Agung dan Maha Tinggi.

Jadi, hal-hal sulit terkadang bisa berbuah manis pada akhirnya, bahkan terkadang diperlukan. Seperti orang yang latihan untuk ikut Olimpiade, mereka harus menjalani latihan keras, pantang makan sembarangan, dan sebagainya. Kita perlu membatasi diri pada pola makan dan olahraga yang tepat agar bisa mencapai sesuatu. Begitu pula dengan puasa sebagai ibadah spiritual.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Memberi Nilai Ibadah pada Dunia Kerja Kita Oleh : M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag., Mudir Pondok M....

Suara Muhammadiyah

17 January 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Pernahkah Anda bertanya kapan perang Rusia-Ukraina akan berakhir? Jika demikian....

Suara Muhammadiyah

22 September 2023

Wawasan

Untuk Apa Keuangan Kas Masjid? Oleh: Idham Okalaksana Putra, UIN Sunan Ampel Surabaya, Surabaya Se....

Suara Muhammadiyah

19 March 2024

Wawasan

Muhammadiyah Aset Bangsa Oleh: Saidun Derani Dalam perjalanan pulang dari Kota Serang menuju Ciput....

Suara Muhammadiyah

20 February 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Salah satu aspek ibadah haji ad....

Suara Muhammadiyah

31 January 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah