Menara Gading yang Terlalu Tinggi Ketika Intelektual Menjauh dari Rakyat

Publish

30 April 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
52
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Menara Gading yang Terlalu Tinggi Ketika Intelektual Menjauh dari Rakyat

Oleh: Figur Ahmad Brillian/PK IMM Muhammad Abduh 

 

"Masalah dunia bukanlah karena kebisingan orang jahat, melainkan karena diamnya orang baik." - Martin Luther King Jr.

Kaum intelektual dimana yang dulu berdiri di garda terdepan perjuangan sosial dan kini banyak yang menghilang dari ruang-ruang kehidupan rakyat. Mereka menarik diri dari denyut masyarakat dan lebih nyaman berada di balik dinding institusi, sibuk dengan jurnal ilmiah, sertifikasi, seminar, dan kompetisi karier. Apakah karena suara mereka tak lagi didengar, ataukah mereka memang telah berhenti berbicara?

Peter Carey, sejarawan dan intelektual Inggris yang mendalami perjuangan Pangeran Diponegoro, mengajukan kritik tajam terhadap fenomena ini. Dalam berbagai kuliah dan forum publik, ia berkali-kali menyuarakan bahwa: "Kampus-kampus sekarang terlalu sibuk mengejar indeks prestasi dan akreditasi, tapi melupakan tugas utamanya: mendidik manusia berpikir kritis untuk perubahan sosial." (Pro. Peter Carey)

Kaum intelektual, termasuk mahasiswa, kini lebih sering menjadi penonton ketimbang penggerak. Antonio Gramsci menyebut kaum intelektual sejati sebagai intelektual organik, yakni mereka yang menyatu dengan perjuangan kelas tertindas dan menjadi motor kesadaran sosial. Namun fenomena saat ini menunjukkan sebaliknya: banyak intelektual yang berubah menjadi penonton, bukan pelaku perubahan. "Setiap orang adalah filsuf, tetapi tidak setiap orang menjalankan perannya sebagai intelektual organik," tulis Gramsci. Carey juga menyebutkan bahwa intelektual sering kali terjebak dalam kenyamanan akademik dan status sosial yang mereka peroleh. Mereka lupa bahwa ilmu bukan untuk disimpan, tetapi untuk dibagikan dan diperjuangkan. "Kalau bukan mahasiswa yang turun tangan, lalu siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Jangan menunggu sampai semuanya terlambat."

Jika dulu mahasiswa identik dengan "kelas tertindas yang terdidik", kini mereka kerap menjadi bagian dari kelas menengah yang enggan bersentuhan dengan realitas masyarakat bawah. Mereka sibuk mempercantik CV dan mempersiapkan karier profesional, bukan memikirkan strategi perubahan sosial. Peter Carey bahkan menyindir: "Di masa Orde Baru, mahasiswa adalah mimpi buruk penguasa. Sekarang, banyak mahasiswa justru mimpi basah korporasi dan jabatan publik."

Fenomena ini membuktikan apa yang dikatakan Paulo Freire: "Pendidikan yang tidak membebaskan akan membuat yang tertindas bermimpi menjadi penindas." Konsep wisdom of the crowd—kebijaksanaan dari suara kolektif rakyat—kini kehilangan penerjemahnya. Media sosial memang ramai, tetapi penuh dengan distraksi, bukan arah. Rakyat berbicara, tetapi tak ada yang mendengarkan dan menerjemahkan. Kaum intelektual yang seharusnya menjadi juru bahasa mereka justru memilih diam. "Jika intelektual tidak memediasi suara rakyat, maka yang berbicara adalah kebisingan, bukan kebijaksanaan," ungkap Peter Carey.

Edward Said menegaskan pentingnya intelektual yang berpihak dan tidak netral dalam menghadapi ketidakadilan: "Tugas intelektual adalah berbicara kebenaran kepada kekuasaan, bukan menyenangkannya."

Fenomena penarikan diri intelektual ini bukan tanpa sebab. Universitas lebih mengutamakan ranking global dan akreditasi daripada pembangunan kesadaran kritis. Carey menegaskan: "Universitas kini lebih suka mahasiswa tenang dan patuh, bukan yang kritis dan menggugat." Ilmu dijadikan alat memperoleh gelar dan pekerjaan, bukan alat perubahan. Seperti dikhawatirkan Einstein: "Pendidikan adalah apa yang tersisa ketika seseorang melupakan apa yang telah ia pelajari di sekolah."

Mahasiswa berasal dari kelas sosial yang lebih mapan dan kurang memiliki dorongan langsung untuk melawan sistem. Lingkungan akademik mendorong kompetisi personal, bukan kolaborasi sosial. Banyak intelektual enggan bersuara karena takut terhadap represi negara atau kampus. Teori-teori besar diajarkan tanpa kontekstualisasi dengan realitas lokal. Semua ini menyebabkan keterputusan antara ilmu dan kehidupan.

Kaum intelektual perlu merebut kembali peran strategisnya sebagai penggerak sejarah. Sebagaimana dikatakan Noam Chomsky: "Tugas kaum intelektual adalah menyampaikan kebenaran dan mengungkap kebohongan." Peter Carey pun mengingatkan: "Saya meneliti Diponegoro bukan hanya karena dia pahlawan, tetapi karena ia simbol perlawanan yang tak diajarkan dalam kurikulum resmi." Artinya, intelektual bukan hanya menjadi penyambung lidah rakyat, tetapi juga penantang narasi arus utama yang menindas.

Peter Carey menawarkan solusi: intelektual harus kembali ke akar. Turun ke desa, mendengar suara buruh dan petani, masuk ke kampung, dan belajar dari realitas. Ia berkata: "Jangan warisi Indonesia hanya dari gedung-gedung kampus. Warisilah juga jeritan petani, nelayan, dan anak jalanan yang tak pernah diajarkan di kelas." Ini sejalan dengan semangat Paulo Freire, yang menyatakan: "Mereka yang sungguh peduli pada pendidikan, harus juga peduli pada kebebasan."

Krisis intelektual adalah krisis keberpihakan. Ketika ilmu dipisahkan dari keadilan, maka yang terjadi adalah kekosongan makna. Kaum intelektual harus berhenti menjadi "pengamat netral" dan kembali menjadi "pejuang ideologis". Peter Carey menutup refleksi panjangnya dengan sebuah peringatan: "Intelektual yang hanya berpikir, tapi tak bertindak, hanyalah mesin cetak ide. Tapi intelektual yang berpikir dan bertindak, adalah motor perubahan." Dan sebagaimana yang diyakini Gramsci: "Pesimisme intelek, optimisme kehendak."


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Meneladani Akhlak Manusia Agung dalam Kehidupan di Era Digital Oleh: Rumini Zulfikar Setiap tangga....

Suara Muhammadiyah

3 October 2023

Wawasan

Oleh: Bahrus Surur-Iyunk Agaknya kita yang telah menjalani Ramadhan beberapa hari ini harus menguku....

Suara Muhammadiyah

20 March 2024

Wawasan

Menyuburkan Semangat Berbuat Kebaikan di Bulan Mulia Oleh: Dr Amalia Irfani, LPPA PWA Kalbar  ....

Suara Muhammadiyah

20 March 2024

Wawasan

Ketika Kebohongan Menjadi Pemandu: Belajar dari Drama Pagar Laut Oleh: Ahsan Jamet Hamidi,&nbs....

Suara Muhammadiyah

27 January 2025

Wawasan

Oleh: Suko Wahyudi Islam adalah agama dan shalat adalah tiangnya. Agama adalah ajaran, sistem yang ....

Suara Muhammadiyah

28 May 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah