BANDUNG, Suara Muhammadiyah - Gema perayaan Milad Muhammadiyah ke-113 telah dimulai. Dalam balutan suasana akrab dan reflektif, sebuah Sarasehan Budaya yang dikemas dengan nuansa kental "Maiyah-an" menjadi pembuka yang semarak bagi rangkaian acara puncak. Kegiatan sarasehan yang bertemakan “Tadarus Budaya” ini, diselenggarakan di atas panggung yang terpasang di kampus Universitas Muhammadiyah Bandung pada hari Senin, 17 November 2025.
Acara pra-puncak ini merupakan inisiasi strategis dari Lembaga Seni Budaya (LSB) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Barat. Sarasehan ini difungsikan sebagai forum interaktif sekaligus hiburan yang hangat bagi para tamu undangan dan peserta dari berbagai daerah yang telah hadir, terhitung sejak hari Minggu, 16 November 2025, yang juga menandai dimulainya Bazar UMKM Milad Muhammadiyah.
Di panggung sarasehan, hadir empat tokoh budayawan terkemuka dari internal Muhammadiyah: Kiai Cepu (Wakil Ketua LSB Pimpinan Pusat Muhammadiyah), dan tiga perwakilan dari LSB PWM Jawa Barat, yaitu Dr. Ace Somantri, Dr. Ahmad Rifa’i, dan Cecep Ahmad Hidayat, S.Sn.
Sebelum diskusi dimulai, suasana diselimuti oleh alunan merdu dari seperangkat alat Karawitan Sunda. Bunyi ritmis kendang, dentingan syahdu kecapi dan gamelan, berpadu dengan lengkingan suling, memainkan lagu cacandran. Musik Karawitan ini tidak berhenti di pembukaan sebagai pemikat perhatian para audiens yang berada disekitar; ia terus mengalun lembut, mengisi ruang dan menciptakan wahana atmosferal yang menghidupkan setiap dialog yang terjalin.
Pada sesi awal, Kiai Cepu memantik pembahasan dengan menyoroti pandangan mendasar Muhammadiyah yang selalu berpegang pada prinsip kontekstual sejalan dengan tiga pilar utama pergerakannya: Tauhid, Tajdid (Pembaharuan), dan Berkemajuan.
Secara spesifik dalam konteks kebudayaan, status mubah (diperbolehkan) dalam berkesenian di Muhammadiyah tidak lagi dipandang semata-mata dari sudut pandang tekstual (hukum syariat yang kaku), melainkan sangat mengedepankan aspek kontekstual.
Kontekstualisasi kebudayaan dalam Muhammadiyah merujuk pada pemahaman bahwa ekspresi seni dan budaya harus ditempatkan dan dipahami dalam bingkai nilai-nilai Islam yang substantif serta disesuaikan dengan kondisi ruang dan waktu (sosial-historis) setempat. Hal ini berarti, selama bentuk seni tersebut tidak bertentangan dengan prinsip dasar Tauhid dan nilai-nilai akhlaqul karimah, ia tidak hanya boleh diakomodasi, tetapi juga dapat dijadikan media efektif untuk menyebarkan dakwah dan tajdid. Budaya dilihat sebagai wasilah (sarana) dakwah, bukan sekadar ghayah (tujuan) itu sendiri.
Ahmad Rifa'i memberikan penegasan atas pandangan Kiai Cepu, dengan menyatakan bahwa Muhammadiyah harus terus berperan sebagai wadah intelektualitas yang tak terpisahkan dari nilai-nilai kebudayaan. Muhammadiyah, sebagai entitas pergerakan intelektual, senantiasa menempatkan nilai-nilai kebudayaan lokal sebagai salah satu landasan fundamental. Hal ini merefleksikan spirit awal pendiriannya oleh KH. Ahmad Dahlan, yang secara cerdas merangkul dan menanamkan bentuk-bentuk budaya lokal sebagai metode dakwah. Bukan sekadar meniru, melainkan mengaitkan dan menyelaraskan nilai-nilai kultural tersebut dengan tuntutan dan realitas zaman kekinian (kontemporer).
Melalui kesepakatan mengenai kontekstualitas kebudayaan, Cecep Ahmad Hidayat melontarkan kritik konstruktif. Ia mengamati bahwa realita posisi seni di Muhammadiyah saat ini cenderung seperti istilah Sunda "Dog-dog panngrewog". Dog-dog panngrewog artinya adalah sesuatu yang hanya dijadikan nilai tambah, pelengkap, atau pemeriah sampingan saja.
Menurut Cecep, sebuah gerakan yang mengusung prinsip kontekstual dan berkemajuan seharusnya mengangkat seni menjadi bagian inheren dan tak terpisahkan dari inti asas gerakan dakwah Islam. Seni harus berada di garis depan, bukan sekadar pelengkap di barisan belakang.
Ace Somantri turut menyepakati pandangan tersebut, menekankan bahwa berkesenian seharusnya menjadi nilai-nilai esensial yang menyatu dengan asa dan semangat kebudayaan yang diusung pergerakan.
Penutup sarasehan diperkaya dengan ekspresi puitis dari Ace Somantri. Ia membacakan sebuah bait puisi yang tidak hanya menyentuh isu budaya, tetapi juga menyuarakan harapan mendalam agar Muhammadiyah menjadi gerakan yang peduli terhadap ekologi. Puisinya menggambarkan kerusakan lingkungan yang kritis akibat abai dan keserakahan manusia, sekaligus menyerukan kesadaran dan tanggung jawab moral untuk menjaga kelestariannya. Pesan kunci itu terangkum tegas dalam kalimat yang mengandung makna filosofis: "bahwa bumi bukan warisan, melainkan titipan yang harus dijaga." (diko)


