BOGOR, Suara Muhammadiyah - Tinggal selama lima hari di Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar Bogor, Jawa Barat, membuat ruang dan waktu berubah. Di tempat ini, ruang dan waktu terasa lebih relatif dari sebelumnya. Bukan karena waktu berhenti dan kemudian ruang mengembang atau menyempit. Tapi lebih karena sistem kehidupan pesantren yang berbeda.
Ketika manusia modern pergi ke mall untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya. Para penghuni pesantren memenuhinya dengan cara berkebun. Kebutuhan akan pangan telah dipenuhi langsung oleh alam. Makan dari sesuatu yang mereka tanam sendiri. Memetik sayur, buah-buahan, hingga ubi-ubian, dan kemudian mengolahnya menjadi berbagai makanan.
Saat hendak makan, kami dibiasakan mengucap syukur kepada Tuhan atas karunia-Nya menumbuhkan tanaman. Berterima kasih kepada petani yang menanam. Dan kepada orang yang memasak karena telah berkenan menghidangkan.
Bukan hanya berkebun, para santri juga diajari cara membuat biopori. Lubang-lubang kecil buatan di dalam tanah yang terbentuk akibat aktivitas organisme tanah seperti cacing, akar tanaman, dan mikroorganisme lainnya. Lubang-lubang ini berperan penting dalam meningkatkan daya resap air tanah, mengurangi genangan air, dan mengolah sampah organik menjadi kompos.
Cara hidup seperti ini ditanamkan secara konsisten, dipraktekkan, dan dibiasakan. Dampaknya pun luar biasa. Tidak ada sampah plastik, tidak ada pencemaran, tidak ada bau menyengat, dan ekosistem lingkungan tetap terjaga keasriannya.
Sejalan dengan itu, Hening Parlan, Direktur ECO Bhinneka Muhammadiyah mengatakan bahwa Indonesia masih masuk ke dalam negara yang tidak percaya bahwa perubahan iklim juga bisa disebabkan oleh manusia. Hal ini menguatkan survei YouGov pada 2020 yang menempatkan orang Indonesia berada di urutan pertama yang tidak percaya perubahan iklim karena ulah manusia. Salah satunya disebabkan konsumsi sampah plastik yang tak terkendali.
Sistem yang diterapkan Pesantren Ekologi Misykat ini tentu bisa menjadi contoh dan sekaligus pembelajaran. Dengan menggantungkan sepenuhnya urusan pangan kepada alam. Para santri secara langsung telah mencegah kehadiran plastik dalam keseharian. Pada konteks ini, para ilmuwan telah melakukan eksplorasi bahwa plastik turut menjadi penyumbang terbesar dari fenomena perubahan iklim di bumi.
"Kontekstualsiasi soal di tingkat lokal ini penting demi mendekatkan isu perubahan iklim dengan masalah keseharian," ujar Hening.
Gus Roy, sapaan akrabnya yang merupakan Pengasuh Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar menegaskan bahwa kapitalisme telah mengubah perilaku manusia. Yang sebelumnya hidup berdampingan dengan alam, menjadi manusia yang serakah dan merusak alam. Ciri kapitalisme yang bergantung pada pasar menyebabkan perubahan iklim semakin menjadi ancaman besar yang perlu segera dicari solusinya.
Eko Cahyono, akademisi IPB berpendapat, mencegah dampak perubahan iklim tidak cukup dengan hanya dengan perubahan perilaku. Tidak cukup dengan peralih menggunakan tumbler air dalam keseharian, atau membawa tas ketika berbelanja. Namun kuncinya ada pada sistem politik ekonomi yang kapitalistik yang perlu dilawan.
"Bagaimana kita bisa menyentuh aspek kebijakan melalui riset yang berdampak pada penyelamat iklim dan lingkungan," tegasnya. (diko)