Lebih dari 240 Jurnalis Jadi Korban
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Sejak agresi brutal Zionis Israel di Jalur Gaza pada Oktober 2023, lebih dari 240 jurnalis dilaporkan gugur. Tragedi terbaru terjadi pada Senin (25/8) waktu setempat, ketika lima jurnalis kembali menjadi korban serangan Israel di Rumah Sakit Nasser, Gaza. Para jurnalis tersebut diketahui berasal dari media internasional terkemuka, di antaranya Reuters, Al Jazeera, dan Middle East Eye.
Menanggapi peristiwa ini, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Fajar Junaedi, M.Si., menegaskan bahwa serangan Israel terhadap jurnalis adalah upaya sistematis untuk membungkam kebenaran.
“Keselamatan jurnalis harus dilindungi, termasuk dalam kondisi perang. Apa yang dilakukan Israel ini jelas merupakan bentuk pembunuhan sistematis terhadap jurnalis yang sedang menjalankan tugas,” tegas Fajar melalui wawancara daring, Selasa (26/8).
Fajar menjelaskan, serangan terhadap jurnalis di Gaza telah melanggar sejumlah hukum dan konvensi internasional. Pasal 79 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa menegaskan bahwa jurnalis di zona perang harus diperlakukan sebagai warga sipil dan dilindungi, selama mereka tidak terlibat langsung dalam permusuhan.
Selain itu, Resolusi 2222 Dewan Keamanan PBB (2015) juga menekankan kewajiban semua pihak dalam konflik bersenjata untuk menghormati dan melindungi pekerja media dari segala bentuk kekerasan.
“Hal ini menunjukkan adanya komitmen global yang kuat untuk melindungi jurnalis. Apa yang dilakukan Israel di Gaza adalah bentuk pelanggaran serius terhadap hukum internasional,” imbuhnya.
Upaya Membungkam Informasi Genosida
Menurut Fajar, pembunuhan terhadap jurnalis merupakan strategi Israel untuk menghalangi aliran informasi terkait genosida di Palestina. Israel disebut berhasil menguasai narasi media Barat, sehingga pemberitaan yang muncul sering kali memihak kepentingan mereka.
“Pemerintah Zionis tidak ingin ada informasi alternatif selain yang mereka kontrol. Karena itu jurnalis di Gaza dijadikan target,” jelasnya.
Ia juga menyayangkan sikap dunia internasional yang dinilai lemah dalam memberikan tekanan terhadap Israel. Minimnya respons global membuat pelanggaran terus berulang dan memberikan impunitas bagi pelaku.
“Normalisasi wacana oleh media-media Barat pro-Israel membuat para pelaku merasa kebal hukum. Tidak ada efek jera, sehingga tragedi terus terjadi,” ungkapnya.
Fajar menekankan pentingnya peran masyarakat internasional untuk bersuara. Tekanan publik, baik melalui media sosial, aksi solidaritas, maupun boikot produk pro-Israel, dinilainya dapat menjadi kekuatan moral dalam mendukung keselamatan jurnalis dan menekan praktik pelanggaran kemanusiaan.
“Maka penting bagi kita ikut speak up dengan memberikan tekanan, melakukan aksi boikot, serta menunjukkan dukungan publik yang kuat. Keselamatan jurnalis harus diperjuangkan karena mereka adalah garda terdepan pembawa kebenaran,” pungkasnya. (FU)