Seruan Sang Khatib: Pentingnya Muhasabah Secara Holistik dalam Menapaki Kehidupan di Era Modern
Oleh: Rumini Zulfikar (Gus Zul), Penasehat PRM Troketon, Pedan, Klaten
“Hati yang terjaga kebersihan dan kesuciannya merupakan sumbu terpenting dalam kehidupan umat manusia, karena menjadi kompas sebagai penuntun arah kiblat kehidupan umat manusia itu sendiri.”
Suatu peristiwa di luar dugaan terjadi pada hari Jum’at saat salat Jum’at, 12-12-2025. Ketika penulis (Gus Zul) selesai menunaikan salat sunah, tiba-tiba ada seseorang meminta penulis untuk mendekat dan terjadilah beberapa pembicaraan:
Mas Anto: Pak Lek niki wau kulo angsal titipan pesan, Pak Supri mboten saged ngisi khutbah Jum’at lan nyuwun panjenengan mangkeh ingkang gantine khutbah Jum’at.
Penulis: Lha Pak Supri kemana, Mas?
Mas Anto: Ngepasi masuk shift pagi, Pak Lek.
Penulis: Wah iki timun, sungguh tambah ibuh.
Bismillah, njih Mas.
Pukul 11.35-an waktu salat telah tiba dan saat itu juga penulis menuju mimbar masjid kampung tempat tinggal penulis. Setelah penulis berada di atas mimbar, penulis berbicara di depan jamaah sidang salat Jum’at bahwa penulis mengajak jamaah untuk mengisi saf di depan yang masih kosong, serta menjelaskan bahwa penulis bertindak sebagai khatib pengganti dari khatib yang terjadwal.
Begitu sang muazin (Pak Wasono) selesai mengumandangkan azan sebagai penanda masuk waktu salat Jum’at, penulis membuka khutbah dengan mengajak seluruh jamaah untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Selain itu, sang khatib mengutip Surah Al-Hasyr ayat 18, di mana ayat tersebut merupakan peringatan Allah kepada hamba-Nya bahwa jika kita benar-benar orang yang beriman, maka harus selalu takut kepada Allah dengan dzikrullah.
Dalam khutbahnya, sang khatib menyoroti kehidupan umat manusia di tengah perubahan zaman yang semakin cepat serta pentingnya membaca situasi dan kondisi yang terjadi. Saat ini telah terjadi pergeseran nilai-nilai, di mana umat manusia, disadari atau tidak, dalam tata kelola kehidupan mengalami perubahan drastis. Akibatnya, kompas kehidupan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Jika umat manusia sadar bahwa dalam mengarungi kehidupan ini ada dua sisi pilihan. Pertama, ketika hati terjaga kebersihan dan kesuciannya, maka umat manusia sebagai Abdullah dan Khalifah fil Ardi akan menghadirkan keseimbangan dan memperlakukan alam dengan baik. Kedua, jika dalam hati terdapat nokta hitam, maka manusia akan menuruti hawa nafsu semata, merasa dirinya super power seakan-akan dunia dan seisinya adalah miliknya. Akibatnya terjadi kekosongan tauhid yang berimbas pada kerasukan setan dan iblis, melahirkan sikap rakus dan tamak, serta menjalar pada tindakan perusakan alam (bumi, laut, gunung, hutan, dan lain sebagainya).
Oleh karena itu, dalam momentum akhir tahun serta melihat kondisi bangsa yang sedang mengalami bencana sosial, hal ini menjadi keprihatinan bersama. Berbagai problem yang terjadi, baik di tubuh ormas keagamaan terbesar di Indonesia yang sedang diuji kemelut internal, maupun bencana alam seperti banjir dan tanah longsor di Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan daerah lainnya, menjadi pelajaran berharga untuk bermuhasabah (introspeksi diri), baik secara individu maupun kolektif.
Jika terbangun keseimbangan antara kesalehan spiritual dan kesalehan sosial, maka kita akan menjadi insan yang terbimbing dan tidak menjadi umat yang zalim atau melampaui batas. Allah telah memperingatkan hal ini dengan jelas dalam Surah Az-Zumar ayat 53:
قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًاۗ اِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (QS. Az-Zumar: 53).
Tadabbur ayat di atas merupakan peringatan kepada umat Nabi Muhammad SAW bahwa tidak diperbolehkan bersikap melampaui batas dengan berbuat zalim, baik kepada diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Allah telah menyiapkan rahmat-Nya, maka sebagai umat-Nya kita harus selalu ingat dan mengenal-Nya. Allah Maha Pengampun bagi umat-Nya yang mau bertobat.
Oleh karena itu, sang khatib menyerukan pentingnya “ngaji diri dan ngaji rasa” dalam kehidupan. Kita harus memahami diri sebagai makhluk-Nya, mampu mengendalikan rasa iri dan dengki, serta membangun empati dan simpati kepada sesama makhluk ciptaan-Nya, sebagaimana yang dialami saudara-saudara kita di Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan daerah lainnya.
Di akhir khutbah kedua, sebelum mengesahkan doa, sang khatib menyerukan agar mendoakan saudara-saudara yang tertimpa musibah agar diberi kekuatan, iman, dan takwa dalam menghadapi cobaan. Selain itu, mengajak umat untuk berinfak guna meringankan beban mereka melalui lembaga amil zakat terpercaya seperti Lazismu, Lazisnu, maupun BAZNAS, pungkasnya sebelum mengakhiri khutbah.
Semoga senantiasa dalam lindungan-Nya. Aamiin.

