Oleh : Dr Maria Ulviani, MPd, Dosen PBSI Unismuh Makassar/Anggota LBSO PW Aisyiyah Sulawesi Selatan
Setiap jengkal tanah desa menyimpan potensi kedaulatan. Dan di balik semangat itu, berdirilah perempuan—ibu desa, kader ‘Aisyiyah, dan pejuang pangan yang hari ini kita rayakan dalam semangat 19 Mei: Kebangkitan Perempuan Indonesia. Memasuki usia 108 tahun, ‘Aisyiyah menegaskan langkahnya dengan visi besar "Memperkokoh Ketahanan Pangan Berbasis Desa Thayyibah Menuju Ketahanan Nasional". Inilah saatnya perempuan bukan hanya mengolah bahan pangan, tetapi juga menentukan arah kebijakan pangan bangsa.
Dalam sejarahnya, ‘Aisyiyah telah menjadi pelopor pembaruan pemikiran dan gerakan perempuan Muslim Indonesia yang tidak hanya bergerak di wilayah spiritual, tetapi juga sosial, pendidikan, dan ekonomi. Perempuan ‘Aisyiyah tidak tinggal diam dalam urusan dapur, tetapi mengubah dapur menjadi pusat strategi keluarga, komunitas, bahkan desa. Transformasi peran domestik ini menjadi kunci dalam membangun kemandirian pangan dari rumah tangga hingga tingkat nasional.
Pangan dan Perempuan: Perjumpaan Strategis
Perempuan memiliki peran vital dalam rantai pangan mulai dari produksi, pengolahan, hingga konsumsi. Di desa, ibu-ibu tidak hanya mengatur menu harian keluarga, tetapi juga bertanam di pekarangan, beternak kecil-kecilan, menyimpan bibit, dan meracik resep lokal penuh nilai gizi.
Namun, potensi ini sering tersembunyi dalam narasi domestik. Di sinilah ‘Aisyiyah hadir, untuk menyalakan kesadaran bahwa apa yang dilakukan perempuan di rumah dapat menjadi fondasi ketahanan pangan nasional jika diberi ruang, ilmu, dan dukungan.
‘Aisyiyah tidak berhenti pada wacana. Ia turun ke akar rumput, bergerak nyata dalam membangun ketahanan pangan dari skala terkecil: keluarga. Salah satu strategi unggulannya adalah Gerakan Tanam Pangan Keluarga (GTPK) yang mendorong setiap rumah tangga memiliki kebun gizi mandiri.
Pekarangan rumah tidak lagi dibiarkan kosong, melainkan dimanfaatkan untuk menanam sayur, rempah, dan tanaman pangan lokal yang bernilai gizi tinggi. Gerakan ini bukan hanya mencukupi kebutuhan rumah tangga, tetapi juga menjadi sarana pendidikan dan kemandirian ekonomi.
Dari kebun kecil itu, ‘Aisyiyah mendorong langkah lebih lanjut melalui pelatihan wirausaha pangan lokal. Hasil panen tidak hanya dikonsumsi, tetapi juga diolah menjadi produk bernilai tambah seperti kripik sayur, olahan herbal, atau makanan siap saji yang sehat dan halal. Perempuan desa didampingi untuk membangun mental wirausaha yang berbasis nilai-nilai Islam dan kearifan lokal.
Untuk memperkuat keberlanjutan ekonomi ini, ‘Aisyiyah memfasilitasi terbentuknya koperasi perempuan berbasis desa. Melalui koperasi, akses terhadap modal, jaringan pasar, dan logistik menjadi lebih terorganisasi. Koperasi ini bukan hanya ruang transaksi ekonomi, tetapi juga ruang belajar dan solidaritas antarperempuan.
Tidak berhenti di sana, strategi berlanjut ke bidang pendidikan melalui Sekolah Lapang Perempuan Tani. Di sini, perempuan-perempuan desa dibekali keterampilan teknis tentang budidaya pertanian, pengelolaan usaha tani, hingga pemahaman tentang ekosistem pangan berkelanjutan.
Sekolah ini menjadi ruang transformasi dari ibu rumah tangga menjadi pemimpin agribisnis desa. Strategi ini dijalankan bukan untuk menciptakan ketergantungan, melainkan untuk membangun kemandirian perempuan, keluarga, dan komunitas menjad sebuah pondasi yang kokoh bagi Ketahanan Nasional.
Semua ini dilandasi dengan semangat Desa Thayyibah, desa yang baik, sehat, produktif, berdaya saing, dan dirahmati. Apa yang dulu dianggap sebagai tugas rumah tangga kini diangkat menjadi isu pembangunan nasional.
Perempuan ‘Aisyiyah membuktikan bahwa mendidik anak, mengatur pangan keluarga, dan menjaga lingkungan adalah bagian dari jihad sosial yang nyata. Kesadaran kritis ini tidak hanya mengangkat martabat perempuan, tetapi juga mengubah wajah desa menjadi lebih berdaya, lestari, dan mandiri.
Peringatan 19 Mei bukan sekadar momentum mengenang masa lalu, melainkan seruan untuk masa depan. Dalam usia ke-108, ‘Aisyiyah hadir bukan hanya sebagai organisasi perempuan Islam, tetapi sebagai motor perubahan bangsa.
Ketika perempuan bangkit, desa menjadi kuat. Dan ketika desa kuat, maka bangsa pun berdaulat. Dari dapur yang sederhana, lahirlah kekuatan untuk membangun lumbung desa. Dari tangan-tangan ibu, tumbuhlah pangan yang halalan thayyiban makanan yang baik, sehat, dan berkah.