Teologi Ekonomi Al Maun
Oleh: Mukhaer Pakkanna, Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta 2018 - 2023
Pada 18 November 2025, Muhammadiyah memasuki usia 113 tahun. Kali ini, mengusung tema “Memajukan Kesejahteraan Bangsa”. Makna kesejahteran, menukil Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menegaskan, Muhammadiyah memiliki komitmen dan ikhtiar memajukan kesejahteraan bangsa, baik sejahtera lahir maupun batin.
Muqaddimah Anggaran Dasar (AD) Muhammadiyah, tambah Haedar, sebagai asas fundamental gerakan, terkandung statemen: “Masyarakat yang sejahtera, aman, damai, makmur, dan bahagia hanyalah dapat diwujudkan di atas keadilan, kejujuran, persaudaraan dan gotong-royong, bertolong-tolongan dengan bersendikan hukum Allah yang sebenar-benarnya, lepas dari pengaruh setan dan hawa nafsu”.
Makna itu, paralel dengan salah satu pola gerakan Muhammadiyah, yang diintrodusir Kiyai Ahmad Dahlan, sang pendiri persyarikatan, yakni basis surat al-Ma’un (QS: 107). Saat Kiyai Dahlan menajamkan pisau analisis teologi al Ma’un, tidak sungkan beliau mengundang aktivis SI Merah yang bergabung dalam Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV), seperti, Ir. A. Baars, Darsono dan Semaoen. Beliau mengundang mereka ke Kauman, menjelang Kongres Muhammadiyah, untuk menelaah perspektif alternatif terkait misi sosial gerakan Islam (HM Sudja, 1964).
Perspektif itu berguna dalam mendalami makna surat al-Ma’un. Akhirnya, Kiyai Dahlan mendefinisikan, orang-orang miskin bukan hanya pada soal ketiadaan harta, tapi pada posisi ketidakberdayaan. Pemahaman inilah yang kemudian hari memantik Dahlan melipatgandakan dakwah Islam di pelbagai bidang sosial, pendidikan dan kesehatan yang mengejawantah dalam bentuk pelayanan AUM (Amal Usaha Muhammadiyah).
Teologi al Maun
Dalam perspektif sosial ekonomi, surat al Ma’un setidaknya mengandung 2 (dua) aspek pokok. Pertama, Tuhan tidak suka pada orang yang mendustakan agama, yakni orang-orang yang tidak perduli kepada anak yatim dan orang miskin. Yatim, tidak semata pada aspek biologis, tapi juga yatim dalam spektrum luas, secara sturuktural dan kultural. Yatim struktural, mereka diabaikan negara, tidak diberikan afirmasi kebijakan. Mereka bergerak seolah tanpa atensi negara. Mereka adalah kelompok ekonomi rentan. Produk regulasi dan kelembagaan tidak memihak kepada mereka.
Begitu juga pada yatim kultural, mereka lemah secara norma, nilai, adab, dan etika sehingga mereka bergerak tanpa tuntunan dan pedoman dalam mengelola aktivitas ekonomi. Ini tidak semata tanggungjawab Pemerintah, tetapi juga semua komponen negara, termasuk Muhammadiyah.
Pada mereka yang tidak perduli pada orang-orang miskin, Allah SWT marah kepada mereka ini. Miskin tidak semata kekurangan pendapatan atau penghasilan, tapi juga miskin karena faktor lemahnya kapabilitas dan akses ke sumberdaya. Mereka ini termasuk kaum dhuafa dan mustadh’afin.
Kedua, Tuhan tidak suka pada orang lalai dengan sholatnya. Yakni, orang riya’, sombong, dan angkuh. Mereka itu sombong karena memiliki kekuasaan materi, politik, dan dinasti. Mereka ini menjadi kekuatan oligarki politik dan ekonomi, yang menentukan hitam putihnya kebijakan dan regulasi suatu negara.
Demikian pula, Tuhan tidak menyukai mereka yang tidak melakukan pemberdayaan, penguatan, pemihakan, advokasi, dan melakukan enabling terhadap mereka yang rentan, dhuafa, dan mustadh’afin secara ekonomi. Padahal visi abadi Negara, merujuk pada proklamasi Kemerdekaan RI, yakni mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Alinea Kedua Pembukaan UUD 1945: “…..negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Dalam konstelasi seperti itu, nilai-nilai spiritual dan etika sosial Islam yang termaktub dalam surat al-Ma’un harus dibumikan. Mampu menggerakkan dan menghadirkan tawaran paradigmatik dan ideologis untuk membangun sistem perekonomian yang lebih berkeadilan. Sekaligus menawarkan suatu praksis ekonomi dalam serangkaian kebijakan ekonomi.
Membumikan al Maun
Sebagai gerakan Islam berkemajuan, Muhammadiyah berikhtiar menggerakkan perubahan (prime mover) kebijakan melalui tawaran agenda pemikiran dan praksis ekonomi al Ma’un. Pertama, mengembalikan marwah sistem perekonomian Pancasila. Konsep Negara Pancasila sebagai darul ahdi wa syahadah didasarkan pada pemikiran resmi, telah menjadi pedoman dan rujukan persyarikatan, seperti Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCH), Kepribadian Muhammadiyah, Khittah Muhammadiyah, Membangun visi dan Karakter Bangsa, dan Tanfidz Muktamar Muhammadiyah ke 47 di Makassar.
Komitmen pada falsafah Pancasila, merupakan suatu necessary condition. Posisi Pancasila “mengikat seluruh lapisan masyarakat, terutama mengikat pemerintah dan instrumen-instrumen negara yang bertugas sebagai eksekutor”. Dalam konteks itu, sungguh tepat, jika ingin terbebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan, kemerosotan moral dan akidah, serta ketertindasan, melalui surah al-Ma’un, menjadi titik pijak yang kompatibel dengan spirit ekonomi Pancasila.
Kedua, menegakkan keadilan sosial Konsentrasi penguasaan sumberdaya ekonomi dan politik atau oligarki ekonomi-politik, ujungnya memproduksi ketimpangan ekonomi. Distribusi dan akses bagi kelompok ekonomi mayoritas, ekonomi rakyat, terputus ke sumberdaya ekonomi. Kata Amartya Sen (1981), distribusi akses sumberdaya ekonomi yang tidak merata menyebabkan rakyat miskin tidak dapat mengembangkan usaha produktifnya.
Secara politik, rakyat miskin sangat sulit mengakses dan terlibat pelbagai kebijakan publik, sehingga kebijakan tersebut tidak menguntungkan mereka. Maka, kemiskinan di suatu wilayah/negara lebih dipicu karena pemerintah tidak dapat memenuhi hak-hak dasar masyarakatnya. Pemberian privilege dan kebijakan favoritisme sebagai konsekuensi adanya konsesi politik kepada para pemilik modal kuat, telah berdampak pada hak-hak dasar rakyat terbengkalai.
Liberalisasi politik yang mengiringi era Reformasi saat ini memberi “karpet merah” kepada para oligark untuk melipatkgandakan pengaruhnya. Tidak heran, jika kebijakan di era Reformasi ini, tidak pernah berhenti memproduksi ketimpangan dibanding pemerataan ekonomi.
Ketiga, mengkaji ulang konsep pertumbuhan ekonomi berbasis kemakmuran. Kemakmuran Indonesia berlaku untuk seluruh warga. Pasal 33 UUD 1945, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Kemakmuran Indonesia tidak boleh hanya untuk kelompok kecil orang, sementara mayoritas rakyat hidup di bawah garis kemiskinan dan tidak berkemakmuran.
Dalam konteks itulah, konsep pertumbuhan PDB harus diluruskan dalam bingkai kemakmuran bersama. Negara-negara maju yang berorentasi sebagai negara kesejahteraan telah getol mengampanyekan untuk mendekonstruksi konsep dan implementasi kebijakan pertumbuhan ekonomi.
Sementara di Tanah Air, masih mengultuskan teori-teori klasik pertumbuhan ekonomi yang secara nyata gagal menyejahterakan, memakmurkan masyarakat, dan menegakkan keadilan sosial. Bahkan, pengenalan model dan Indeks Kebahagiaan yang merupakan salah satu indikator untuk mengukur kemakmuran suatu negara, perlu didorong. Dalam kaitan inilah, menjadi relevan milad Muhammadiyah kali ini yang mengangkat tema tentang kesejahteran bangsa agar kebijakan ekonomi menjadi siuman dan kembali pada koridor ekonomi konstitusi. Wallahu ‘alam.


