Tragedi Sumatera dan Peringatan Langit
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Akhir tahun 2025 menjadi lembar kelam bagi warga Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Hujan deras yang turun tanpa jeda selama beberapa hari mengubah sungai yang biasanya jinak menjadi arus liar yang meluluhlantakkan permukiman warga.
Banjir bandang dan tanah longsor itu menenggelamkan desa, merusak fasilitas umum, dan memutus akses listrik, jalan, serta komunikasi. Situasi pun terus memburuk dari hari ke hari. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat angka korban terus meningkat. Data per 4 Desember 2025 pukul 13.05 WIB, jumlah korban meninggal yang tervalidasi mencapai 776 jiwa, 564 hilang, dan 2,6 ribu jiwa luka-luka.
Saat kita menyaksikan krisis iklim yang merajalela secara global, dampaknya terasa nyata: pulau-pulau terancam tenggelam, dan bencana alam menjadi semakin sering. Menghadapi fenomena perubahan iklim yang mendesak ini, muncul pertanyaan krusial: Apa panduan yang ditawarkan Islam?
Ini adalah seruan penting. Bukan hanya bagi umat Muslim, tetapi bagi semua pemeluk agama, untuk kembali ke akar spiritual mereka. Agama-agama ditantang untuk menyajikan bimbingan praktis tentang bagaimana menjalani hidup yang selaras dengan kehendak Ilahi sekaligus menjadi pelindung setia lingkungan. Karena, kehancuran yang kita lihat hari ini sudah terlalu parah.
Meskipun konsep pelestarian lingkungan modern belum dirumuskan pada masa pewahyuan, Al-Qur'an menyimpan harta karun berupa ajaran yang sangat relevan dengan isu ekologi. Secara mengejutkan, kitab suci ini telah menegaskan akar masalahnya melalui sebuah ayat yang sangat mencolok: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan (tangan) manusia" (QS 30: 41).
Ayat ini adalah cerminan sempurna dari kondisi saat ini. Sebagian besar dampak perubahan iklim modern - dari cuaca ekstrem hingga kerusakan ekosistem - sesungguhnya adalah konsekuensi langsung dari ulah kita sendiri. Meski beberapa faktor berada di luar kendali kita, jalan keluarnya jelas: kita harus bertindak sebagai khalifah (wakil Tuhan) di Bumi dengan meminimalkan sampah, mengoptimalkan daur ulang, menjaga ekosistem alami, serta aktif melestarikan pepohonan dan menolak penebangan liar.
Inti ajaran Al-Qur'an adalah prinsip keseimbangan kosmis yang menyeluruh. Dalam Surah ke-55, Tuhan dengan tegas menyatakan bahwa Dia menciptakan segala sesuatu dalam tatanan yang harmonis. Setelah menegaskan bahwa "Dia menegakkan keseimbangan", kita diberi perintah Ilahi yang tak terhindarkan: "Maka janganlah kamu melampaui batas." Ini adalah peringatan keras bahwa melanggar batas ekologis yang telah ditetapkan Tuhan adalah tindakan yang sangat dilarang.
Keseimbangan ini terbukti dalam setiap aspek kehidupan. Al-Qur'an mengungkapkan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan. Ambil contoh hubungan esensial antara manusia dan alam: kita mengeluarkan karbon dioksida - makanan bagi pepohonan - sementara pepohonan menghasilkan oksigen vital yang kita hirup. Ini adalah simbiosis sempurna antara kita dan kerajaan tumbuhan. Kesadaran akan keseimbangan yang rapuh ini harus mendorong kita untuk menjaganya dan tidak pernah merusaknya.
Sungguh menakjubkan, Al-Qur'an dipenuhi dengan referensi puitis dan mendalam tentang gunung, pepohonan, sungai, dan awan. Mengapa deskripsi alam begitu dominan? Karena alam berfungsi sebagai Ayat (Tanda) Tuhan yang paling nyata. Setiap deskripsi alam diakhiri dengan seruan "Kami memberitahukan ini agar kamu dapat merenung" atau "agar kamu menjadi sadar akan keagungan Tuhan." Dengan demikian, keindahan dan keteraturan alam raya adalah undangan abadi untuk refleksi dan pengenalan terhadap Sang Pencipta.
Kita harus menyadari sebuah kebenaran spiritual yang mendalam: seluruh alam semesta tidak henti-hentinya memuji dan tunduk kepada Tuhan. Al-Qur'an mengajarkan bahwa setiap entitas, sekecil apa pun, akan kembali kepada Tuhan secara individual. Tidak ada satu pun ciptaan yang luput dari perhatian-Nya.
Konsep inti dari Islam - ketundukan atau penyerahan diri (yang melahirkan istilah Muslim) - ternyata tidak eksklusif hanya bagi manusia. Al-Qur’an menyatakan bahwa segala sesuatu tunduk kepada Tuhan. Ini berarti seluruh alam, dalam cara kerjanya yang sempurna, adalah muslim (berserah diri) kepada perintah dan hukum Tuhan.
Keajaibannya tidak berhenti di situ. Al-Qur'an mengungkapkan bahwa hewan, pepohonan, dan segala sesuatu di sekitar kita terus-menerus bertasbih (memuji Tuhan). Namun, tasbih mereka berada di luar jangkauan indra kita: "Kalian manusia tidak memahami cara makhluk-makhluk ini memuji Tuhan." (QS 17: 44). Pemahaman ini membawa kita pada kesimpulan yang mengejutkan dan etis: Ketika kita menghancurkan lingkungan, kita tidak hanya melenyapkan ciptaan; kita membungkam para penyembah Tuhan.
Kisah kenabian masa lalu menegaskan pelajaran ini dengan dramatis. Dikisahkan, seorang nabi yang marah karena gigitan semut menghancurkan seluruh sarangnya. Teguran Ilahi pun datang: "Kamu baru saja menghancurkan koloni hamba-hamba-Ku." Terlepas dari otentisitas riwayat tersebut, pesannya jelas dan tercatat dalam tradisi Islam: Kita dilarang keras untuk membunuh atau merusak makhluk hidup secara sembarangan. Jika ada kebutuhan untuk mengendalikan hama yang berbahaya, tindakan haruslah proporsional, tidak pernah dilakukan secara membabi buta terhadap makhluk-makhluk yang sejatinya adalah hamba-hamba Allah yang sedang berzikir.
Ketika kita merenungkan bencana global, jelas bahwa perubahan tidak dapat digantungkan hanya pada tindakan individu. Skala krisis - banjir dan longsor di Sumatera disebabkan penebangan hutan besar-besaran (menghilangkan penyerap air alami) sehingga memicu banjir parah - menunjukkan bahwa tanggung jawab terbesar berada pada kebijakan pemerintah dan kolaborasi antarnegara. Kita harus bersatu mendesak para pengambil keputusan untuk mereformasi tata ruang dan regulasi lingkungan.
Namun, seruan untuk bertindak tidak berhenti pada lembaga negara. Tradisi Islam yang kaya memberikan mandat kuat bagi setiap individu untuk bertindak. Pentingnya pohon dalam Islam patut digarisbawahi. Selain fakta spiritual bahwa pohon pun bertasbih, banyak hadis yang secara aktif mendorong kita untuk berinvestasi dalam penghijauan.
Nabi mengajarkan bahwa menanam pohon adalah sumber pahala yang tak terputus (amal jariyah): setiap orang yang berteduh di bawah naungannya, bahkan hewan sekali pun, atau setiap buah yang dimakan dari pohon itu, akan menjadi ganjaran spiritual bagi penanamnya. Dorongan ini mencapai puncaknya dalam sebuah ajaran yang luar biasa: Bahkan jika kiamat telah diumumkan dan Anda sedang memegang bibit di tangan Anda, tanamlah itu!
Ini adalah filosofi yang mengajarkan bahwa berbuat baik tidak pernah sia-sia. Bahkan di saat-saat paling putus asa, ketika harapan masa depan seolah musnah, tindakan kebaikan - dalam hal ini, menanam kehidupan - tetap menjadi prioritas tertinggi. Islam mengajarkan: berbuat baiklah, bahkan jika hasilnya tampak mustahil untuk dinikmati.
Lalu bagaimana etika lingkungan dipraktikkan oleh arsitek Islam sendiri, Nabi Muhammad SAW? Kisah hidup beliau memberikan demonstrasi nyata tentang hidup minimalis dan penuh kesadaran. Tradisi kenabian mengajarkan kita sebuah pelajaran pengelolaan sumber daya yang mengejutkan, terutama dalam penggunaan air untuk ibadah seperti wudu (bersuci) dan mandi. Diriwayatkan bahwa Nabi SAW menggunakan air dalam jumlah yang sangat minimal - sebuah jumlah yang hampir tak terbayangkan bagi kebiasaan mandi kita saat ini - untuk memenuhi kebutuhan bersuci beliau.
Lebih dari sekadar teladan pribadi, beliau menetapkan standar etis yang tegas. Dalam konteks wudu, di mana air yang dibutuhkan secara teknis lebih sedikit, Nabi memberi nasihat yang mendalam: Bahkan jika Anda sedang berwudu di tepi sungai yang airnya melimpah ruah, jangan pernah menggunakan air melebihi batas kebutuhan ritual Anda. Prinsipnya jelas, melimpahnya sumber daya tidak boleh menjadi alasan untuk boros. Gunakan seminimal mungkin, meski ketersediaannya tak terbatas.
Pesan inti yang harus tertanam kuat dalam benak setiap Muslim adalah kita diizinkan untuk mengambil manfaat dari karunia Tuhan, tetapi kita dilarang keras untuk berlebihan, apalagi menyalahgunakan sumber daya tersebut.
Perintah ini diperkuat oleh Al-Qur'an melalui peringatan yang sangat keras. Al-Qur'an memerintahkan: "Makan dan minumlah, tetapi jangan melampaui batas (berlebihan) atau boros." (QS 7: 31). Ayat lain bahkan memberikan label yang mengerikan kepada para pemboros: "Sesungguhnya orang-orang yang boros adalah saudara-saudara setan." (QS 17: 27).
Ini adalah peringatan yang sangat keras! Jelas, kita tidak ingin tergolong dalam kelompok yang disamakan dengan entitas pembawa kehancuran. Islam mengizinkan penggunaan sumber daya, tetapi selalu dalam batas-batas yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penciptaannya.


