Oleh: Prof Dr H Haedar Nashir, MSi
Wasathiyah Islam tidak cukup hanya diseminarkan dan menjadi wacana semata, tetapi memerlukan proses aktualisasi yang terus menerus dalam kehidupan pribadi dan kolektif umat Islam. Agendanya ialah bagaimana wasathiyah Islam itu terinternalisasi dalam jiwa, pikiran, sikap, dan tindakan muslim dan kaum muslimin yang berdampak bagi kehidupan di masyarakat luas, termasuk dalam kehidupan bangsa dan kemanusiaan semesta.
Karenanya wasathiyah Islam perlu ditransformasikan atau dijadikan proses terencana yang sistematis yang mengubah pola dan orientasi keagamaan dan kehidupan umat Islam menjadi semakin seimbang, adil, toleran, baik, dan terbaik sehingga menebar ranmat bagi alam semesta. Lebih dari itu, dalam konteks dan pandangan Muhammadiyah wasathiyah Islam mesti berorientasi pada membangun kehidupan di segapa aspek sehingga terbangun peradaban Islam yang tinggi. Di sinilah pentingnya transformasi wasathiyah Islam berkemajuan.
Keislaman Masa Depan
Wasathiyah Islam mesti menjadi alternatif pandangan dan cara hidup umat Islam dalam dinamika kehidupan manusia dan masyarakat yang semakin heterogen, inklusif, dan kompleks. Majalah Time (23/9/1996), memprediksikan sebagai “The New Face of Islam”, yang menerangi jalan menuju sebuah masa depan Islam yang besar dan luas. Khusus di Indonesia, wasathiyah Islam sejatinya memiliki akar sosiologis yang kuat. Menurut Esposito (1997), pengalaman yang menakjubkan tentang Islamisasi kultural di Indonesia akan tumbuh memainkan peran dalam kepemimpinan di dunia Muslim. Bagi Esposito, wajah Islam Indonesia lebih lembut, dibentuk oleh angin tropis dan pengalaman multikultural yang panjang. Inilah wajah Islam yang sekarang populer disebut Islam moderat atau Islam tengahan (wasathiyyah).
Wasathiyah Islam masa depan ialah wasathiyah berkemajuan yang memerlukan rekonstruksi pandangan keislaman itu sendiri. Mohammad Iqbal, dalam “The Reconstruction of Religious Thought in Islam” (1930), menawarkan integrasi spiritual dan intelektual dalam rekonstruksi ajaran Islam di tengah masyarakat modern. Religiusitas dalam Islam tidak semata-mata pada aspek spiritualitas atau keruhanian semata, tetapi juga terkoneksi dengan akal, sehingga keduanya dapat menjadi satu kesatuan yang saling mendukung dan bukan atau tidak saling bertentangan. Iqbal termasuk pemikir muslim ternanama yang memandang kesatuan iman dan akal maupun ilmu plus filsafat. Bagi Iqbal, pengetahuan dan pengalaman religius dimulai dengan pembahasan tentang hakikat pengetahuan filosofis yang didasarkan pada akal, dan pengetahuan religius yang didasarkan pada iman, yang dilandang saling melengkapi. Kemudian diikuti oleh interpretasi atas perkembangan historis filsafat Islam dan persoalan-persoalan pengetahuan dan pemgalaman religius menurut prinsip Al-Quran.
Muhammad Abed Al-Jabiri mengajukan analisi kritis sekaligus tawaran yang disebutnya sebagai “formasi nalar Arab-Islam” (takwim al-‘Aql al-‘Arab al-Islami), yakni “rekonstruksi kesadaran atas masa lalu, masa kini, serta hubunhan keduanya”. Al-Jabiri menawarkan kajian keislaman dan pemikiran Islam dengan melakukan wacana interreligius baru atas khazanah tradisi Islam mulai dari aspek bahasa, balaghah, fikih, kalam, filsafat, dan tasawuf dalam satu kesatuan epistemologi Islam. Epistemologi yang ditawarkannya sangat populer yaitu bayani, burhani, dan irfani dalam sistem pemikiran Islam (Al-Jabiri, 2003).
Sementara itu Yusuf Qardhawi (2001), ulama besar ternama di Dunia Islam, mengajak seluruh umat Islam melihat ke dalam diri sendiri dalam menyongsong Dunia Abad ke-21, “Di millenium baru ini, kita harus melakukan introspeksi diri. Bukan untuk mengutuk dan meratapi diri atas apa yang hilang dari kita, mengulang-ulang kata “sekiranya” dan “seandainya” yang mencerminkan ungkapan orang yang berputus asa. Marilah kita camkan ungkapan penyair kuno kita: Apa yang telah hilang dariku, tiada kan bisa kembali, meski sesal dan sumpah serapah kita semburkan, atau kata seandainya dan jikalau kita ulang-ulang. Hadis Nabi mengajarkan kepada kita bahwa kata “seandainya” akan membuka pintu setan”. Di sinilah pentingnya wawasan wasathiyah Islam disatupaketkan dengan rekonstruksi pemikiran keislaman yang utuh dan menyeluruh.
Eksemplar Muhammadiyah
Dalam menjawab pandangan yang serba ekstrem baik dalam kehidupan keagamaan maupun kebangsaan dan kemanusiaan universal dipeelukan wawasan wasathiyah Islam sebagai agenda rekonstruksi keislaman. Namun wasathiyah Islam yang mengajarkan hidup adil dan tengahan mesti disertai dengan nilai-nilai kemajuan untuk menjawab kehidupan kontemporer sepanjang zaman dan untuk membangun peradaban alternatif yang teo-antropossntrik dan humanisme-teosentrik sebagaimana dasar ajaran Islam. Karenanya diperlukan pandangan wasathiyah Islam berkemajuan, yakni wasathiyah yang mengajarkan keadilan dan jalan tengah dalam berislam sekaligus nilai dan orientasi kemajuan peradaban yang berbasis pada Islam sebagaimana terkandung dalam dua diksi “ummatan wasatha” dan “syuhada ‘ala al-nas” dalam Surat Al-Baqarah 143.
Wasathiyah Islam berkemajuan sejatinya adalah Muhammadiyah. Muhamamdiyah adalah role-model atau eksemplar dari wasathiyah Islam berkemajuan. Muhammadiyah mengajarkan dan mengamalkan ajaran tauhid atau akidah dan iman, ibadah, akhlak, dan muamalah dunyawiyah secara seimbang, untuh, dan komprehensif. Pendekatan dalam memahami Islam ditempuh secara bayani, burhani, dan irfani yang interkoneksi. Gerakan amaliah melalui amal usaha dan dakwah bil-hal merupakan wujud dari pandangan keislamannya yang tengahan sekaligus berkemajuan.
Agenda yang diperlukan ialah melakukan transformasi gerakan Muhammadiyah secara lebih dinamis dan progresif. Muhammadiyah saat ini penting hadir dengan pandangan dan isu-isu keagamaan yang mencerahkan, mencerdaskan, dan memajukan yang membangkitkan kesadaran keislaman yang “wasathiyah berkemajuan” sebagaimana pesan Allah “Wakadzalika ja’alnakum ummatan wasatha litakunu syuhadaa ‘ala al-nas” (QS Al-Baqarah: 143). Para pemeluk dan tokoh agama hadir dengan keberagamaan yang hanif, sehingga memancarkan pencerahan akal budi di dalam dirinya maupun dengan sesama dan lingkungannya. Para tokoh dan ulamanya menjadi suri teladan, bukan pengirim kegaduhan dan keresahan. Hidup ikhlas, damai, adil, tengahan, toleran, dan rendah hati menjadi budaya dan perilaku luhur keseharian umat beragama. Sebaliknya terjauh diri dari segala perangai buruk, esktrem, keras, garang, tidak adil, intoleran, semuci, dan ananiyah hizbiyah atau egoisme kelompok yang melahirkan wajah kusam dan anomali kehidupan beragama.
Muhammadiyah dengan wasathiyah Islam berkemajuan pertama-tama penting terus mengembangkan wawasan Islam Tajdid, Islam Modern, Islam Reformis yang telah menjadi karakter ideologi gerakannya. Kedua, mengembangkan Manhaj Tarjih yang moderat dalam menjawab berbagai perkembangan kehidupan yang semakin komplek. Ketiga, memperkuas dan mengajtualidasikan pandangan Islam Berkemajuan ke ruang publik di ranah lokal, nasional, dan global. Keempat, mengembangkan Amal Usaha Islami yang berkeunggulan dan merambah hingga ke tingkat global dalam satu kesatuan internasionalisasi Muhammadiyah. Keempat, mengembangkan Politik Kebangsaan moderat berbasis Kepribadian, Khittah, dan Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah sebagai alternatif politik Islam yang ekstrem baik ke kiri maupun ke kanan. Kelima, menginklusifkan dan objektivasi Masyarakat Islam dalam kehidupan sejalan atau beradaptasi dengan kebudayaan bangsa Indonesia. Keenam, mengembangkan Islam Kosmopiltan dalam gerak internasionalisasi Muhammadiyah untuk mewujudkan Islam rahmatan lil-‘alamin secara universal.
Sumber: Majalah SM Edisi 08/2025