Oleh: Yazida Ichsan, Majelis Tabligh PWM DIY dan Dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam UAD Yogyakarta
Bagi umat Islam, euforia ibadah sejatinya bukan hanya berkaitan dengan hubungan transendensi antara manusia dengan tuhan, melainkan juga bagian ikhtiar transformasi dan refleksi diri. Melalui berbagai macam-ragam ritual ibadah wajib maupun sunnah, umat Islam digembleng agar menjadi insan yang bertaqwa kepada Tuhannya.
Umat yang mampu mengaktualisasikan konsep rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam semesta) dalam setiap nafas kehidupannya. Esensi ibadah sejatinya mengajarkan nilai-nilai transendental melalui nilai pengendalian diri, keseimbangan dan kepedulian kepada sesama makhluk Tuhan, tak terkecuali terhadap ragam hayati yang tumbuh dan hidup bersama manusia.
Ironisnya, sebagian dari kalangan umat Islam cenderung bertolak belakang dan cenderung mengimplementasikan budaya hidup yang eksploitatif, berlebihan dan kurang peka terhadap perubahan alam. Realitas tersebut menjadi problem di kalangan umat Islam, dimana fungsi khalifah fil ardi yang memiliki tugas mengelola alam semesta secara bijak dan bajik.
Dampaknya, berdasarkan data Geoportal Data Bencana BNPB, sepanjang bulan Januari sampai dengan April terdapat 526 bencana yang meliputi 342 banjir, 100 cuaca ekstrem, 52 tanah lonsor, 25 karhutla, 3 gelombang pasang, 2 gempa bumi dan 2 erupsi gunung berapi. Tedapat ratusan korban meninggal dan 1,7 juta masyarakat harus mengungsi. Fenomena tersebut tidak hanya dilihat dari satu perspektif berupa cobaan saja, melainkan bagian dari tashir (ketundukan alam) dimana baik-buruknya tergantung pada bagaimana manusia mengelola alam.
Tanggung jawab terhadap pengelolaan lingkungan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, melainkan menjadi tanggung jawab seluruh umat, tidak terkecuali para mubaligh. Sebagai transmiter pesan Ilahi, mubaligh memiliki peran sentral dalam mendidik, membina dan memberdayakan masyarakat agar peka terhadap perubahan, khususnya perubahan iklim.
Mubaligh Hijau: Harmoni Ibadah Vertikal dan Horizontal
Terma mubaligh hijau merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada pendakwah yang menyampaikan pesan ajaran agama untuk peduli pada lingkungan. Aktivitas ini dilakukan dengan mengintegrasikan nilai ajaran dengan kesadaran ekologis. Melaui berbagai kegiatan seperti ceramah, tausiyah, dakwah, maupun aktivitas edukasi seperti kebijakan mengurangi sampah plastik, menyediakan tempat ibadah ramah energi, dan menyediakan ruang hijau. Mubaligh hijau juga menjadi duta dalam menyampaikan urgensi isu lingkungan, menjadi teladan gaya hidup ramah lingkungan, penggerak budaya hidup ramah lingkungan dan mengedukasi masyarakat bahaya krisis lingkungan.
Selain itu, sebagai manusia yang memiliki kompetensi dalam hal agama, mubaligh sejatinya harus mengedukasi masyarakat bahwa melestarikan ekologi merupakan bagian dari ibadah vertikal kepada Tuhan. Sebagaimana ungkapan Yusuf Qardhawi, menjaga eksistensi ekologi merupakan bagian dari upaya mewujudkan maqashid syari’ah (tujuan syariat untuk kemaslahatan umat manusia).
Harmoni terhadap ekologi juga merupakan bagian dari nilai akhlak dan tauhid dan wujud manifestasi keimanan dan ibadah seseorang. Masalah lingkungan bukan merupakan bagian dari furu’ (cabang agama), melainkan ushul (dasar agama). Harmoni ibadah vertikal dan horizontal merupakan keniscayaan. Seorang muslim yang taat menjalankan ajaran agama harusnya sejalan dengan perilaku positif terhadap alam.
Pesan Ilahi Menuju Kesadaran Ekologi
Penciptaan alam semesta tidak dapat terlepas dari teleologis par excellent di mana proses dan tujuan penciptaan adalah untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia apabila di gunakan secara bajik dan bijak. Umat manusia sebagai imago dei, dalam tinjauan ekologis adalah cooperator dan cocreator ditunutun untuk berinovasi dalam konservasi alam dan apa yang ada di dalamnya. Tentunya untuk mewujudkan masyarakat hijau perlu diaktualisasikan pesan Ilahi menuju kesadaran ekologi. Setidaknya terdapat berbagai ayat dalam Al-Qur’an berkaitan dengan ayat ekologi.
Pertama, surat Ar-Rahman ayat 7-8
“Dan langit telah Dia tinggikan dan Dia ciptakan keseimbangan. Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu.”
Kedua, surat Shad ayat 27
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan sia-sia.”
Ketiga, surat Ar-Rum ayat 41
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar Kembali (ke jalan yang benar).”
Keempat, surat Ali Imran 190
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal."
Melalui ungkapan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dikemukakan, Allah SwT mengisyaratkan kepada umatnya agar senantiasa menjaga harmoni alam semesta dengan memahami hakekat penciptaan alam semesta, menjalankan perintah untuk menjaga ekologi dan mengimani ayat sebagai bagian dari koridor Allah mengatur alam.
Melalui kesadaran paripurna inilah, umat Islam harus memiliki kecerdasan naturalis yang senantia mempertimbangkan harmoni dengan alam, memuji kebesaran Allah dan memohon kepada Allah SwT agar terhindar dari aktivitas distruktif yang berdampak pada bencana dan musibah.