80 Tahun Kemerdekaan dan Ilusi Keberhasilan Pembangunan Manusia

Publish

17 August 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
119
Istimewa

Istimewa

80 Tahun Kemerdekaan dan Ilusi Keberhasilan Pembangunan Manusia

Oleh: Abdul Halim, Ph.D., Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur

Tahun ini, Indonesia merayakan 80 tahun kemerdekaannya. Sebuah usia yang matang bagi sebuah bangsa untuk berdiri tegak, percaya diri, dan mampu menunjukkan kemajuan di segala bidang, termasuk pendidikan. Namun, di balik bendera yang berkibar dan gegap gempita perayaan, ada kenyataan yang seharusnya membuat kita menunduk sejenak. Delapan dekade merdeka, kualitas pendidikan kita masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain.

Laporan dari lembaga-lembaga kredibel seperti OECD melalui survei PISA kembali menempatkan Indonesia di urutan bawah dalam kemampuan literasi, numerasi, dan sains. Hasil ini bukan sekadar statistik yang bisa kita abaikan dengan alasan perbedaan konteks sosial atau budaya. Angka-angka ini adalah cermin yang memantulkan fakta bahwa sebagian besar anak-anak kita belum mencapai kompetensi dasar yang seharusnya mereka miliki. Ironisnya, kenyataan ini terjadi di tengah fakta lain: konstitusi kita menjamin minimal 20% APBN untuk pendidikan, angka yang secara nominal mencapai ratusan triliun rupiah per tahun.

Di sini kita menemukan paradoks yang menyakitkan. Pemerintah sering mengklaim bahwa sektor pendidikan telah “berhasil” hanya karena penyerapan anggarannya tinggi. Indikator kinerja banyak diukur dari seberapa cepat dan seberapa besar uang dibelanjakan, dari jumlah gedung sekolah yang dibangun, dari banyaknya pelatihan yang digelar, atau dari tumpukan laporan administrasi yang rapi. Seolah-olah pendidikan adalah proyek infrastruktur biasa, yang keberhasilannya cukup dilihat dari beton yang mengeras atau kursi yang tersusun. Padahal, pendidikan adalah soal manusia, soal tumbuhnya kemampuan berpikir, soal terbentuknya karakter, soal membangun masa depan.

Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, sejak puluhan tahun lalu telah mengingatkan, “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya kodrat itu.” Namun, bagaimana mungkin kita menuntun tumbuhnya kodrat anak jika tolok ukur keberhasilan kita hanya seputar laporan serapan anggaran? Ketika indikator keberhasilan hanya diukur dari keterserapan anggaran, yang terjadi adalah pengelolaan pendidikan seperti bisnis proyek. Selama uang habis dibelanjakan, dianggap sukses. Padahal, uang itu bisa saja habis untuk kegiatan seremonial, pelatihan instan yang tidak berkelanjutan, atau infrastruktur yang tidak dimanfaatkan secara optimal.

Di sisi lain, indikator yang seharusnya menjadi tolok ukur sejati, yaitu peningkatan kemampuan literasi, keterampilan abad 21, pemerataan mutu pendidikan antarwilayah, justru tidak menjadi pusat perhatian. Inilah yang saya sebut sebagai mismatch indikator keberhasilan: pemerintah merasa telah meraih target, sementara di ruang kelas kualitas pembelajaran tetap terseok-seok.

Masalah ini juga diperparah oleh fragmentasi tata kelola pendidikan. Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sering berjalan dengan agenda masing-masing, tanpa koordinasi yang kuat. Kebijakan berganti mengikuti siklus politik, sementara akar persoalan seperti kualitas guru, relevansi kurikulum, dan pemerataan fasilitas tidak benar-benar disentuh. Anggaran yang besar justru sering tersedot untuk belanja pegawai dan administrasi, yang mana ini meninggalkan porsi yang kecil untuk inovasi pembelajaran dan penguatan kapasitas guru.

Kita harus berani mengakui bahwa selama ini ada kecenderungan mengutamakan simbol ketimbang substansi. Gedung baru yang megah lebih mudah dipamerkan daripada grafik peningkatan kemampuan literasi yang butuh waktu bertahun-tahun untuk naik. Laporan keuangan yang rapi lebih cepat mendapat apresiasi dibandingkan laporan peningkatan kualitas belajar yang tidak bisa diukur dalam satu tahun anggaran. Padahal, seperti kata Paulo Freire, tokoh pendidikan dunia, “Pendidikan tidak mengubah dunia. Pendidikan mengubah manusia, dan manusialah yang mengubah dunia.” Jika yang kita ubah hanya laporan dan bukan manusianya, maka kita sedang membangun ilusi kemajuan.

Delapan puluh tahun kemerdekaan seharusnya menjadi momentum refleksi besar-besaran. Kita tidak bisa terus bersembunyi di balik alasan “kondisi Indonesia berbeda” atau “perubahan butuh waktu lama”. Negara-negara lain yang dulunya setara atau bahkan lebih tertinggal dari kita, mampu melakukan lompatan besar karena mereka berani menempatkan kualitas pembelajaran sebagai inti kebijakan, bukan sekadar administrasi belanja.

Jika kita sungguh ingin mewariskan kemerdekaan yang utuh bagi generasi mendatang, kita harus mengubah cara pandang terhadap keberhasilan pendidikan. Ukurannya bukan lagi berapa triliun yang dihabiskan, tetapi seberapa besar anak-anak kita mampu memahami bacaan, berpikir kritis, memecahkan masalah, dan beradaptasi dengan dunia yang terus berubah. Kemerdekaan sejati di ruang kelas bukan lahir dari angka serapan anggaran, tetapi dari kemampuan setiap anak Indonesia, di kota maupun di pelosok, untuk menjadi pembelajar yang merdeka lahir batin.

Indonesia tidak kekurangan dana, tidak kekurangan regulasi, dan tidak kekurangan program. Yang kita kekurangan adalah kesesuaian antara tujuan pendidikan dengan cara kita mengukur keberhasilannya. Selama mismatch ini dibiarkan, selama kita lebih sibuk membanggakan angka belanja daripada kualitas belajar, selama itu pula kemerdekaan pendidikan hanya akan menjadi slogan. Dan jika 80 tahun merdeka saja belum cukup untuk mengubahnya, kita harus bertanya pada diri sendiri: sampai kapan kita mau membiarkan masa depan anak-anak kita diikat oleh angka-angka ilusi?


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Mengatasi Kecanduan Judi Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Kecan....

Suara Muhammadiyah

24 July 2024

Wawasan

Enhancing Kader Muhammadiyah dalam Kiprah Kebangsaan Oleh: Achmad Hilal Madjdi, Wakil Ketua PDM Kud....

Suara Muhammadiyah

25 December 2023

Wawasan

Kenapa Tidak Ada Pemisahan Agama dan Negara dalam Islam? Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu B....

Suara Muhammadiyah

27 July 2024

Wawasan

Refleksi Sebuah Gerakan Dakwah di Akar Rumput Oleh: Rumini Zulfikar, Penasehat PRM Troketon, Pedan,....

Suara Muhammadiyah

24 January 2025

Wawasan

Menelisik Makna "Mata Ganti Mata": Keadilan dalam Perspektif Al-Qur'an Oleh: Donny Syofyan/Dosen Fa....

Suara Muhammadiyah

2 May 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah