Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Mari kita telaah lebih dalam untaian ayat-ayat Al-Qur`an yang kerap kali kita lalui tanpa menyelaminya. Pernahkah Anda mendapati diri membaca sebuah ayat, lantas merasa telah memahaminya sepenuhnya? Namun, benarkah demikian? Inilah saatnya kita berhenti sejenak, merenungkan, dan mempertanyakan kembali: sudahkah kita benar-benar menangkap makna ayat tersebut sebagaimana mestinya?
Kali ini, fokus kita tertuju pada surah Al-An'am, surah keenam dalam kitab suci Al-Quran, tepatnya pada ayat ke-28. Ayat tersebut berbunyi: "Sebenarnya telah nyata bagi mereka kebohongan yang dahulu mereka sembunyikan; dan kalau mereka dikembalikan (ke dunia), niscaya mereka akan kembali melakukan lagi apa yang dahulu telah dilarang mengerjakannya. Sungguh, mereka itu pendusta."
Sebelumnya, dalam ayat ke-27 digambarkan sebuah pemandangan dahsyat di hari kiamat, “Seandainya engkau (Nabi Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, mereka berkata, “Seandainya kami dikembalikan (ke dunia), tentu kami tidak akan mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, dan kami menjadi orang-orang mukmin.” Mereka berharap terhindar dari azab yang kini membentang di hadapan mereka.
Akan tetapi, ayat yang sedang kita bahas justru menyingkap hakikat yang selama ini mereka sembunyikan. بَلْ بَدَا لَهُمْ مَّا كَانُوْا يُخْفُوْنَ مِنْ قَبْلُۗ—kini terkuaklah apa yang dulunya mereka sembunyikan. Lebih lanjut, وَلَوْ رُدُّوْا لَعَادُوْا لِمَا نُهُوْا عَنْهُ وَاِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَ—seandainya pun mereka dikembalikan ke dunia fana ini, mereka akan kembali mengulang perbuatan-perbuatan terlarang yang dahulu mereka langgar.
Dengan demikian, pengakuan mereka saat ini sungguh bertolak belakang dengan kenyataan yang sebenarnya. Andai mereka diberi kesempatan kedua, mereka takkan menjelma menjadi pribadi yang lebih baik. Ironisnya, pemahaman yang keliru terhadap ayat ini justru dimanfaatkan oleh sebagian kaum Muslimin untuk mendukung gagasan kontroversial bahwa Allah SwT telah menetapkan takdir setiap individu, seolah-olah memprogram mereka untuk menjadi baik atau buruk sejak azali.
Pandangan keliru ini berakar pada anggapan bahwa Sang Pencipta telah menentukan nasib setiap jiwa sebelum menurunkannya ke dunia. Mereka meyakini, "Aku ciptakan kelompok ini sebagai orang-orang baik, dan kelompok yang lain sebagai orang-orang jahat." Kemudian, ketika mereka menginjakkan kaki di bumi, yang baik tetaplah baik, dan yang jahat pun tak dapat berubah dari kejahatannya, karena memang demikianlah yang telah Dia ketahui dan tetapkan sejak awal.
Mereka yang terjebak dalam dikotomi hitam-putih ini, membagi manusia ke dalam dua kubu yang takdirnya telah ditetapkan sejak penciptaan, lantas berupaya mencari pembenaran dalam ayat-ayat suci Al-Qur`an, termasuk ayat yang sedang kita bahas. Mereka berdalih bahwa ayat ini mengindikasikan pengetahuan Allah SWT yang Maha Mendahului tentang masa depan.
Jika orang-orang yang diazab itu dikembalikan ke dunia, niscaya mereka akan mengulangi kesalahan yang sama. Bukankah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi? Tentu, tak seorang pun Muslim yang menyangkal keluasan ilmu Allah. Jika seseorang akan melakukan sesuatu, Allah pasti mengetahuinya.
Namun, di sinilah letak kekeliruan pemahaman. Jika Allah menciptakan manusia dengan potensi untuk memilih antara kebaikan dan keburukan, maka potensi itu tetaplah ada. Allah SwT Maha Mengetahui segala kemungkinan yang terbentang di hadapan setiap jiwa, tanpa perlu melampaui batas itu.
Jika kita menghilangkan unsur kemungkinan dan menjadikannya sebuah kepastian yang telah ditetapkan, maka itu bukanlah lagi sebuah kemungkinan, melainkan sebuah realitas yang memang diketahui Allah. Namun, jika kita mempertahankan eksistensi pilihan sebagai sebuah kemungkinan, maka Allah pun mengetahui kemungkinan tersebut. Apalagi yang kita inginkan lebih dari itu?
Sebagian orang bersikeras, "Tentu saja Allah tahu segala yang akan diperbuat manusia di masa depan!" Namun, mereka melupakan satu poin krusial: pengetahuan Allah tentang kecenderungan masa depan seseorang diperoleh setelah orang tersebut menjalani kehidupannya dan membentuk karakternya sendiri. Sadarilah, setiap tindakan dan perkataan kita memiliki daya transformatif yang nyata.
Betapa dahsyatnya kekuatan lisan! Mengucapkan kata-kata bahagia saja dapat menstimulasi perasaan bahagia dalam diri kita. Apa yang kita lontarkan, baik maupun buruk, memiliki resonansi yang memengaruhi kondisi batin kita. Efek ini mungkin terasa sesaat, namun pengulangan terus-menerus akan mengukir jejak yang lebih dalam, membentuk karakter kita secara perlahan tapi pasti.
Kebiasaan bertutur kata positif menumbuhkan watak yang optimis, sebaliknya, ungkapan negatif akan memupuk pola pikir yang pesimistis. Demikian pula, keterbiasaan dalam perbuatan dosa akan melahirkan karakter yang cenderung pada keburukan.
Ketika seseorang telah terperangkap dalam pusaran karakter berdosa, memberinya kesempatan hidup kembali di dunia ini sama halnya dengan memberinya panggung yang lebih luas untuk mengulang kesalahan yang sama. Dosa telah mendarah daging, menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya. Hingga akhirnya, ketika mereka tiba di neraka, karakter buruk yang telah mereka bentuk sedemikian rupa seolah menjadi jaminan bahwa mereka akan terus terjerumus dalam dosa.
Al-Qur`an menyebutkan tentang مَآ اُبَرِّئُ نَفْسِيْۚ— Aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan (QS Yusuf: 53), yaitu kecenderungan jiwa yang kuat untuk melakukan kejahatan. Jika seseorang telah mengembangkan karakter yang demikian dominan, yang memerintahkannya untuk berbuat buruk, lalu kita mengirimkannya kembali ke dunia dengan karakter yang sama, maka secara alami, dorongan dari dalam dirinya akan terus menuntunnya pada perbuatan dosa. Itulah yang niscaya akan mereka lakukan.
Allah SwT mengetahui dengan pasti apa yang akan mereka perbuat, bukan karena Dia telah menetapkan takdir mereka secara paksa, melainkan karena Dia Maha Mengetahui karakter yang telah mereka bentuk sendiri selama hidup di dunia. Analogi sederhananya seperti seorang guru yang mengamati perilaku dan kemampuan murid-muridnya.
Berdasarkan karakteristik yang telah mereka tunjukkan, guru tersebut dapat memprediksi siapa yang akan lulus dan siapa yang akan gagal. Namun, prediksi ini bukanlah sebuah vonis yang dibuat-buat oleh guru, melainkan hasil dari pengamatan terhadap kecenderungan yang telah ditunjukkan oleh para siswa itu sendiri.
Sungguh menakjubkan pengaruh kata-kata! Bahkan sekadar melafalkan kebahagiaan dapat memantik percikan sukacita di relung jiwa. Setiap ucapan yang terlontar, entah itu kebaikan atau keburukan, beresonansi dan mewarnai kondisi batin kita. Efeknya mungkin tampak fana, namun repetisi yang konsisten akan mengukir jejak yang lebih permanen, perlahan tapi pasti membentuk karakter yang melekat.
Pembiasaan diri dengan tutur kata yang membangun akan menumbuhkan pribadi yang optimis, sementara kebiasaan merangkai kata-kata negatif justru akan memupuk pola pikir yang suram. Begitu pula halnya dengan perbuatan dosa yang berulang, ia akan melahirkan karakter yang condong pada kejahatan.
Ketika seseorang telah terjerumus dalam lingkaran setan karakter berdosa, memberikan kesempatan hidup kembali di dunia ini ibarat membuka pintu yang lebih lebar bagi pengulangan kesalahan yang sama. Dosa telah merasuk, menjadi bagian inheren dari diri mereka. Hingga tiba saatnya mereka menghadap Sang Khalik dan mendapati diri di neraka, karakter buruk yang telah mereka rajut selama hidup seolah menjadi bukti tak terbantahkan bahwa mereka akan terus berkubang dalam dosa.
Jika seseorang telah mengembangkan watak yang sedemikian dominan, yang terus memerintahkannya untuk berbuat jahat, lalu kita mengirimkannya kembali ke dunia dengan karakter yang sama, maka sudah tentu, bisikan dari dalam dirinya akan terus mengarahkannya pada perbuatan dosa. Inilah konsekuensi logis dari karakter yang telah mereka pilih dan pupuk.
Pengetahuan Allah SwT tentang apa yang akan mereka perbuat bukanlah hasil dari ketetapan takdir yang membelenggu, melainkan karena kemahatahuan-Nya terhadap karakter yang telah mereka bentuk sendiri selama mengarungi kehidupan dunia. Ibarat seorang pendidik yang mengamati tingkah laku dan potensi para siswanya.
Berdasarkan jejak karakteristik yang telah mereka perlihatkan, sang guru dapat memprediksi siapa yang akan meraih keberhasilan dan siapa yang akan menemui kegagalan. Namun, prediksi ini bukanlah sebuah keputusan sepihak dari guru, melainkan hasil dari pembacaan terhadap kecenderungan yang telah terpancar dari diri para siswa itu sendiri.