SEMARANG, Suara Muhammadiyah - Di jantung kota, di lingkungan komplek RS Roemani Muhammadiyah daerah Wonodri, masjid modern At Taqwa berdiri tegak. Di dalamnya, sebuah proyektor menjadi pusat perhatian jemaah pengajian. Bukan sajadah yang menjadi alas pijak, melainkan pikiran yang diajak menari di antara grafik dan poin-poin presentasi. Dakwah di sini adalah cermin yang memantulkan citra kaum cerdas, mereka yang mencari ilmu, bukan sekadar ketenangan.
Namun, suara-suara lirih dari pimpinan kini bertanya, "Sudahkah kita benar-benar menyentuh hati mereka yang lelah?" Pertanyaan ini membuka babak baru, sebuah misi untuk merengkuh kembali dakwah yang dirindukan: yang hangat, yang merakyat, dan yang tidak berjarak
Dr. Fachrur Rozi, M. Ag. Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Semarang, duduk dengan sorot mata yang menyimpan kegundahan. Di mejanya, terhampar setumpuk laporan dan catatan tentang kondisi dakwah hari ini.
"Selama ini, dakwah kita dianggap elitis," ucapnya perlahan, nada bicaranya memancarkan keprihatinan mendalam. Ia tak memungkiri, penggunaan proyektor LCD dan ceramah formal yang menyasar kaum terpelajar telah menciptakan jarak dengan masyarakat.
"Masyarakat umum membutuhkan ketenangan spiritual dari pengajian, bukan beban atau pengajian yang hanya fokus pada buku dan teori," ucapnya dengan nada penuh keprihatinan, baru-baru ini.
Ia mengakui bahwa citra dakwah yang terlalu formal, seringkali menggunakan proyektor LCD dan presentasi Powerpoint, telah menciptakan jarak. Banyak orang merasa sungkan dan beranggapan pengajian seperti itu hanya untuk kalangan tertentu.
Di tengah situasi demikian, dosen Fakultas Dakwah UIN Walisongo ini merintis pengajian dengan konsep "gayeng" di masjid komplek perumahannya. "Haji Sabar" namanya, akronim dari "Habis Ngaji Sarapan Bareng". Konsep ini adalah antitesis dari pengajian yang terkesan kaku dan elitis sarat "ilmiah" yang banyak ditemukan di lingkungan pengajian pimpinan dan warga Muhammadiyah.
Di "Haji Sabar", Fachrur Rozi tidak tampil sebagai akademisi, melainkan sebagai seorang kyai panggung yang menghibur. Ia menyisipkan selawat, cerita, pantun, dan anekdot untuk menghidupkan suasana.
Konsep ini sebagai salah satu ikhtiar dalam menerapkan dakwah kultural yang digagas pimpinan pusat Muhammadiyah sejak lama. Di sini, pengajian tidak perlu panjang-panjang, hanya 15 menit, namun dilanjutkan dengan kongko-kongko atau diskusi santai selama berjam-jam. Forum seperti ini, yang mengedepankan silaturahmi, terbukti efektif untuk membangun kesadaran secara perlahan, terang kyai kondang nan jenaka ini.
Ubah Mindset Dai
Fachrur Rozi menegaskan pentingnya perubahan pola pikir ini. "Dai Muhammadiyah perlu mengubah mindset dan menyiapkan mental agar tidak mengambil jarak dengan masyarakat," katanya.
Ia mencontohkan sosok Buya AR Fachrudin sebagai inspirasi. “Buya AR Fachrudin di suatu kampung tidak langsung menolak pengajian yasinan, melainkan menjelaskan makna Yasin yang membuat orang terpukau, sehingga masyarakat bisa menerima pelan-pelan,” kenangnya.
Melihat fenomena ini, Fachrur Rozi membedakan dua jenis pengajian yang idealnya ada di tubuh Muhammadiyah. Pertama, pengajian pimpinan, yang memang fokus pada hal-hal serius seperti "mikir umat" dan iuran. Pengajian ini cocok untuk kalangan internal yang sudah terbiasa dengan pembahasan berat.
Kedua, pengajian umum jemaah, yang harusnya lebih santai, menyenangkan, dan relevan dengan kebutuhan mereka. Pengajian jenis inilah yang dapat menjadi "magnet" untuk menarik masyarakat umum yang mencari ketenangan dan kebersamaan.
Dengan membedakan pendekatan ini, Muhammadiyah dapat menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas, tanpa harus kehilangan identitas intelektualnya.
Dengan menciptakan suasana yang nyaman, mengedepankan kebersamaan, dan memahami kebutuhan riil masyarakat, dakwah tidak lagi terkesan elitis dan berjarak, melainkan menjadi sebuah rumah yang hangat bagi setiap hati yang lelah.
Reformasi Pendidikan Dai
Di balik kegundahan situasi dakwah saat ini, Fachrur Rozi melihat adanya optimisme yang nyata. Ia percaya, perubahan bisa dimulai dari hulu, yaitu dengan mereformasi pendidikan dai.
"Sekolah tabligh diharapkan dapat mencetak dai Muhammadiyah yang mampu 'ngemong' masyarakat," katanya dengan penuh harapan.
Ia menekankan pentingnya kurikulum yang lebih aplikatif dan tidak terlalu teoretis, yang mampu membentuk dai yang bisa berinteraksi langsung dengan masyarakat, bukan hanya teori-teori melangit.
Di penghujung wawancara, Dr. Fachrur Rozi menghela napas panjang, namun senyum tipis terukir di wajahnya. Ia yakin, dengan menciptakan suasana yang nyaman, mengedepankan kebersamaan, dan memahami kebutuhan masyarakat, Muhammadiyah dapat kembali merangkul lebih banyak orang.
"Dengan demikian, kita dapat memperkuat peran kita di tengah masyarakat," pungkasnya, matanya memancarkan optimisme yang begitu kuat..