Bingung Memilih? Menavigasi Perbedaan Pendapat Ulama dalam Berislam

Publish

20 May 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
76
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Mengapa para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana mempraktikkan Islam? Bagaimana memutuskan apa yang harus diikuti ketika kita sendiri tidak begitu tahu? Ini adalah dilema yang dihadapi banyak Muslim, terutama sekarang dengan dunia internet, orang-orang mencari secara daring dan mereka mendapatkan fatwa yang bertentangan hampir tentang apa saja. Dan ada begitu banyak ulama daring, bukan? 

Lalu mereka menemukan para ulama saling menyerang. Mungkin tampak seperti tontonan yang menarik dan mungkin bahkan menghibur sampai batas tertentu. Tetapi pada akhirnya, siapa yang harus diikuti? Kita melihat dua ulama berdebat satu sama lain dan masing-masing memiliki pendapat yang kuat dan baik. Lalu bagaimana kita tahu mana yang harus diikuti pada akhirnya?

Dan ini bisa sangat membingungkan, karena jika kita berpikir Tuhan akan menghakimi kita karena melakukan hal yang salah, dan kita tidak tahu apa yang benar, jadi di mana posisi kita? Mungkin tersesat, kita mengikuti orang ini dan kita bisa jadi tersesat dan berjalan di jalan yang salah. Situasi lebih sederhana sebelum internet, karena ketika orang-orang tinggal di perkampungan terpencil dan mereka memiliki satu pemimpin untuk dijadikan panutan, dan satu pemimpin itu berkata ini aturannya. Semua orang hanya mengikuti aturan itu.

Beberapa orang selalu menjadi pemikir dan sebagian besar dalam masyarakat, di mana pun, itulah sifat manusia. Orang berbeda-beda. Ada yang pemikir, ada yang hanya pengikut. Atau bahkan bisa dikatakan pengikut buta. Tetapi di masa lalu, masyarakat terorganisir. Dan bahkan mereka yang berpikir sesuatu yang berbeda tidak punya banyak pilihan selain mengikuti status quo. Mereka mengikuti apa yang menjadi kebiasaan suku atau apa pun.

Saat kita pergi ke luar negeri, misalnya, saat itulah kita menyadari ada begitu banyak cara berbeda orang berdoa dan melakukan banyak hal yang berbeda. Ini bakal membuat kita tercengang. Saat itu tiba-tiba kita memiliki pilihan. Tanggung jawab ada pada kita untuk melakukan pekerjaan rumah dan mencoba mencari tahu apa cara terbaik. 

Tuhan hanya akan meminta pertanggung jawaban kita atas apa yang kita mampu lakukan. Bila kita mampu, bahkan jika kita melakukan penelitian terbaik, kita hanya mampu melangkah sejauh itu. Jika seseorang menguasai bahasa Arab, ia akan memiliki akses ke diskusi berbahasa Arab, buku pelajaran berbahasa Arab, dan sebagainya, materi sumber berbahasa Arab. Jika seseorang tidak menguasai bahasa Arab, yang merupakan kasus sebagian besar Muslim, maka Anda bahkan tidak akan memiliki akses ke itu kecuali terjemahan yang sedikit, yang tersedia dari beberapa buku. Terkadang terjemahannya juga cacat. Jadi, seseorang benar-benar dirugikan jika tidak menguasai bahasa Arab.

Kalaupun Anda menguasai bahasa Arab, Anda harus memiliki waktu dan dedikasi untuk mempelajari semua buku ini. Orang-orang punya spesialisasi dalam berbagai bidang. Tidak semua orang akan menjadi seorang sarjana Muslim, atau seorang sarjana agama Islam. Orang-orang akan menjadi sarjana di berbagai bidang, arsitektur, dan dari arsitektur hingga zoologi. Pada akhirnya, Tuhan hanya akan meminta pertanggungjawaban kita atas apa yang wajar dalam kasus kita.

Sekarang, pedoman yang baik bagi masyarakat dengan berpikir bahwa jika sesuatu dapat diperdebatkan, itu berarti belum disepakati. Dan jika sudah disepakati, itu tidak akan dapat diperdebatkan. Jadi, jika kita melihat bahwa para ulama berdebat tentang suatu poin, maka kita tahu bahwa itu bukan masalah yang sudah disepakati.

Mari kita mulai dengan pertanyaan, apakah Tuhan itu ada? Jika keberadaan Tuhan adalah sesuatu yang begitu jelas dapat ditunjukkan, maka tidak akan ada perselisihan dan perdebatan antara orang-orang beriman dan ateis. Semua orang akan percaya pada hal yang sama. Seperti dua ditambah dua sama dengan empat. Tidak ada yang bisa membantah itu, kecuali seseorang yang kehilangan akal sehatnya. 

Namun, justru di sinilah percikan pemikiran kritis menyala. Mengapa perdebatan sengit tentang eksistensi Sang Pencipta tak kunjung padam? Ternyata, keyakinan akan Tuhan bukanlah sekadar menerima dogma tanpa tanya. Ada segudang alasan yang mengakar kuat bagi para teolog dan filosof untuk meyakini keberadaan-Nya.

Akan tetapi, jangan lupakan pula suara-suara di seberang sana, kaum ateis yang dengan argumentasi tak kalah tajam menantang keyakinan tersebut. Inilah inti persoalannya: kebenaran tentang eksistensi Tuhan, meski bagi sebagian tampak nyata, bagi yang lain masih terbalut kabut keraguan. Jika jawabannya sejelas siang, niscaya takkan ada riuh rendah perselisihan.

Kini, mari kita telaah lebih dalam, menyusuri lorong-lorong keyakinan yang lebih spesifik. Bayangkan sebuah persimpangan jalan yang krusial: "Apakah Tuhan itu ada, ataukah tidak?" Kita, dalam bahasan ini, telah memilih satu jalan, yakni meyakini keberadaan-Nya. Namun, perjalanan tak berhenti di sana. Sebuah cabang jalan lain terbentang: "Apakah Tuhan itu Esa, ataukah jamak?" 

Di sini pun, kita mengambil keputusan, memilih jalan monoteisme, keyakinan akan keesaan Tuhan. Tetapi, lihatlah! Di ujung jalan monoteisme, kembali kita dihadapkan pada pilihan: "Monoteisme manakah yang akan kita anut?" Apakah kita akan mengikuti jejak monoteisme Yahudi, Kristen, Islam, ataukah aliran monoteisme lainnya yang mungkin ada? Dan di sinilah, dalam konteks diskusi ini, kita mantap memilih Islam sebagai jalan monoteisme kita.

Terlalu sibuk berkutat dalam perbedaan yang tak berujung hanya akan menguras energi. Ingatlah, jika kebenaran suatu hal terpampang nyata tanpa celah, niscaya takkan ada arena perdebatan yang ramai, takkan ada labirin jalan alternatif yang menyesatkan. Kenyataan bahwa begitu banyak perspektif terbuka lebar mengisyaratkan bahwa perjalanan menuju pemahaman tidaklah sesederhana hitam dan putih.

Pada akhirnya, pilihan yang kita ambil adalah sebuah pengakuan: "Inilah jalanku saat ini, sebuah keyakinan yang kurasakan sebagai bimbingan ilahi." Kita telah menggunakan akal budi, menimbang berbagai sudut pandang, dan berupaya memahami arus diskusi yang ada. Di titik inilah kita berdiri. Namun, bukan berarti pintu untuk belajar tertutup rapat. Kita tetap membuka diri untuk setiap informasi baru, setiap sudut pandang yang mungkin terungkap dalam video atau lembaran buku. Pikiran yang terbuka adalah kompas yang tak ternilai harganya.

Oleh karena itu, mari kita hindari terjebak dalam perdebatan kusut mengenai hal-hal remeh-temeh. Jika suatu persoalan masih menjadi ajang silang pendapat, itu adalah indikasi kuat bahwa ia bukanlah kebenaran mutlak yang tak terbantahkan. Sungguh ironis melihat bagaimana energi terkuras untuk membuktikan hal-hal kecil dari sumber-sumber suci, seolah-olah semuanya telah terukir jelas di sana.

Padahal, jika demikian adanya, mengapa para imam besar kita – Abu Hanifa, Syafi'i, Malik, Ahmad ibn Hanbal – yang merupakan pilar-pilar keilmuan Islam, justru memiliki pandangan yang beragam dalam banyak hal? Jawabannya sederhana: karena memang tidak ada satu jawaban tunggal yang baku.

Bahkan, para generasi awal Islam, para sahabat Rasulullah SAW yang hidup dan belajar langsung dari beliau, pun tak luput dari perbedaan pendapat. Mengapa? Karena banyak persoalan memang tidak memiliki jawaban yang tunggal dan definitif. Jadi, mari kita tinggalkan kepura-puraan bahwa segala sesuatu telah ditetapkan secara mutlak, sementara di depan mata kita terbentang luasnya perbedaan pandangan yang terus diperdebatkan hingga kini. 

Kita boleh memiliki preferensi dan alasan yang kuat untuk itu. Pilihlah dengan pertimbangan matang, dan pada akhirnya, berdamailah dengan pilihan tersebut. Jangan biarkan perbedaan pandangan merusak persaudaraan. Alih-alih, mari kita rajut diskusi yang sehat, saling mendoakan agar senantiasa mendapat bimbingan, dan menjauhi sikap eksklusif yang menganggap diri paling benar dan orang lain sesat. Bukankah esensi ajaran kita adalah mengharapkan hidayah dan surga bagi seluruh umat manusia?

Jangan tutup mata seolah masalah sudah selesai, padahal nyatanya masih menganga dan diperdebatkan hingga kini. Pilihlah dengan alasan yang kuat, yakini pilihanmu, dan berhentilah berdebat kusir. Diskusikan dengan kepala dingin, lalu serahkan segalanya pada hidayah Tuhan untukmu, untukku, untuk kita semua. Hindari jumawa merasa paling benar dan menghakimi orang lain. Sebagai seorang Muslim, bukankah kita seharusnya berharap semua orang mendapat petunjuk dan meraih surga?


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (24)  Oleh: Mohammad Fakhrudin (warga Muhammadiyah tingga....

Suara Muhammadiyah

16 February 2024

Wawasan

Merekat Kerukunan Melalui Simbol Keagamaan Oleh: Dr. Amalia Irfani, M.Si, Dosen IAIN Pontianak/Sekr....

Suara Muhammadiyah

14 November 2024

Wawasan

Meniti Jalan Kehidupan dengan Ilmu dan Iman Oleh: Suko Wahyudi,  PRM Timuran Yogyakarta  ....

Suara Muhammadiyah

1 February 2025

Wawasan

Muslim Memuliakan Nabi Isa Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Islam men....

Suara Muhammadiyah

25 December 2023

Wawasan

Pendidikan Perdamaian Atasi Kekerasan Oleh: Rizki Putra Dewantoro Pendidikan memainkan peran krusi....

Suara Muhammadiyah

26 October 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah