Dakwah di Tanah Jawara: Menyambut Rakerwil IV PWM Banten

Publish

23 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
110
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Dakwah di Tanah Jawara: Menyambut Rakerwil IV PWM Banten

Oleh: Saidun Derani

Makna dakwah adalah seruan atau ajakan untuk memeluk, mempelajari, mengikuti dan mengamalkan ajaran Islam serta mengajak manusia kepada kebaikan dengan cara yang bijak, baik secara lisan, tulisan maupun perbuatan. Tujuan utamanya adalah untuk mengubah situasi menuju keadaan yang lebih baik sesuai dengan ajaran Islam dakam konteks mendapat kebahagiaan du dunia dan akhirat

Dalam konteks menyampaikan risalah Islam ini diperlukan sikap bijak antara lain melalui lisan (ceramah, khutbah, dam nasihat), bil hal melalui perbuatan nyata dan amaliah bukan omon-omon, melalui media tulisan buku, majalah, atau digital, dan terakhir dengan pendekatan arif dan bijak tanpa ada unsur paksaan.

Demikianlah kalau kita merujuk kepada cara Nabi dan para sahabat menyampaikan dakwah Islam baik sejak awal sampai beliau wafat terlepas dari intervensi Allah mencakup keempat aspek di atas (Baca Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam).

Begitu juga kita temukan dari berbagai kitab-kitab dan sumber-sumber tradisional cara-cara dan strategi Wali Songo dalam menyampaikan ajaran di tengah masyarakat Jawa khusus dan umumnya masyarakat Nusantara mencakup keempat aspek di atas disesuaikan dengan tingkat budaya masyarakat yang dihadapinya. 

Karya Agus Sanyoto “Wali Songo”, Kitab “Islamisasi Nusantara” karya Ahmad Baso dan kitab “Menebar Cahaya di Negeri Sekeping Surga” karya Fatchuri Rosidin dan banyak lagi studi tentang keberhasilan Wali Songo menyebarkan Islam di Indonesia mendukung kesimpulan di atas. Apa rahasianya sehingga secara massif Islam diterima di Nusantara dari Sabang sampai Marauke. Padahal kita tahu umumnya masyarakat Nusantara sudah menganut kepercayaan Kapitayan dan Hindhu-Budha.

Dalam kaitan dengan menyambut pelaksanaan Rakerwil IV PWM Banten bertempat di Gedung Dakwah PWM Banten Serang, Ahad, 26 Oktober 2025 barangkali tulisan ini diharapkan ingin ikut menyubangkan pemikran Dakwah Muhammadiyah di tanah Jawara. 

KH. Ahmad Dahlan dan KH. Abdul Haq

KH Ahmad Dahlan (w. 1923) namanya tidak asing lagi bagi kalangan anggota persyarikatan Muhammadiyah. Karena beliau pendiri dan penggagas Persyarikatan Muhammadiyah dengan mengajak beberapa temannya dalam konteks menjawab tantangan (Challenge) zamannya.

Lalu KH. Abdul Haq (w. 1970) (Saidun Derani, 2023, 26) demikian juga perintis dan penggagas persyarikatan Muhammadiyah. Hanya berbeda tempat dan lokus yang menjadi sebaran dakwah masyarakatnya. Kalau Dahlan kegiatan dakwahnya berawal di Kauman Yogyakarta sebuah kota yang dianggap pusat kebudayaan Jawa, sedangkan Abdul Haq di sebuah pedasaan bernama Kubangkondang, Menes, Pandeglang Banten.

Ada kesamaan karakter kedua penggagas persyarikatan ini di tengah masyarakat. Prof. Kuntowijoyo (Abdul Munir Mulkhan, 2000, xiii) menyebutkan bahwa yang dihadapi Dahlan dalam pribumisasi Islam di Jawa itu adalah modernism, tradisionlisme, dan Jawaisme. Sedangkan Abdul Haq pada waktu itu di Pandeglang dan umumnya masyarakat Banten adalah tradisionalisme dan Bantenisme.

Kunto menyebutkan bahwa menghadapi masyarakat tradisionalism Kyai Dahlan menggunakan cara tabligh dengan mendatangi murid-muridnya suatu hal yang bertentangan dengan zamannya waktu itu. Bukankah ulama dianggap mediasi antara dunia Tuhan dan manusia dan karena itu memiliki posisi yang adiluhung. Ditangan Dahlan agama tadinya misterius menjadi agama yang sederhana, terbuka, dan accessible untuk semua orang. Agama yang semula bersifat esoteris-mistik milik kaum virtuaosi menjadi agama etis-rasional milik orang awam.

Untuk menjawab kelompok masyarakat Jawaism Kyai Dahlan menggunakan metode positivism (dengan mengedepankan amar ma’ruf) dan tidak secara frontal menyerangnya (nahi munkar). Beliau menyebutkan bahwa keberuntungan (begja, rahayu) itu semata-mata karena kehendak Tuhan dan solat sunat salah satu jalan meraihnya. Ini artinya bahwa keberuntungan tak disebabkan oleh pesugihan (jimat kaya), minta-minta di kuburan keramat, dan memelihara tuyul.

Hal kenyataan sejarah inilah yang terkadang terlupakan para pengikut Muhammadiyah (dan “musuh-musuhnya”) bahwa KH Ahmad Dahlan sangat toleran dengan praktik keagamaan zamannya, sehingga beliau dapat diterima semua golongan. Inilah rahasia sukses Dahlan dan Muhammadiyah diterima di tengah masyarakat.

Bagaimana pula dengan KH Abdul Haq mengenalkan Muhammadiyah di masyarakat Banten? Beliau ini sebelum terjun mensosialisasi Muhamamdiyah di masyarakat Banten, berteman baik dengan KH. R. Muhammad Yunus Anis (w. 1979) ketika sama-sama belajar di Jam’iyaul Khair, Tanah Abang Jakarta. Yunus Anis menjadi Ketua Muhammadiyah antara tahun 1959-1962. Diduga kuat  melalui Yunus Anis inilah yang mendorong Abdul Haq mau bergabung dengan Muhammdiyah.

Menghadapi masyarakat Banten yang masih tradisionalism, KH Abdul Haq mengenalkan studi atau belajar model klasikal dengan metodologi pastisipan. Cara-cara dan metode belajar yang baru dengan materi ajar yang baru membuat masyarakat lama kelamaan tertarik. Ketika mereka sudah siap mentalnya menerima pemikiran yang berkemajuan yang dianggap baru, kemudian diperkenalkanlah bahwa ini merupakan paham-paham yang dibawa Persyarikatan Muhammadiyah. Dan proses ini membutuhkan lebih kurang selama 9 tahun sehingga resmi PRM berdiri di Kubangkondang, Menes, Banten tahun 1929.

Lantas untuk menjawab Bantenism beliau menjawabnya dengan positive actions yang menekankan kepada aspek silaturrahmi dan sebisa mungkin membantu dalam bentuk “sangu”  dengan menghindar nahi munkar praktik keagamaan yang hidup di tengah mmasyarakat kayak model tahlil, dibaan, maulidan dan seterusnya. Dalam konteks inilah memahami mengapa Kyai Abdul Haq dan Muhammadiyah mudah diterima masyakat Banten.

Karakteristik Islam Banten

Beberbagai studi menyebutkan bahwa sejak Kerajaan Islam Banten berdiri struktur masyasrakatnya terdiri dari Raja dengan birokrasinya, Ulama dengan santrinya melalui jaringan pondok Pesantrean tersebar luas di seantoro Banten, dan rakyat kebanyakan pada umumnya termasuk pedagang, petani, nelayan dari berbagai suku bangsa dengan Sunda sebagai masyarakat intinya.

Pasca kejatuhan kekuasan politik Banten abad ke-18, maka pengaruh yang riil di masyarakat berpindah kepada ulama (di masyakarat Banten menyebutnya dengan Kyai atau Abuya. Sebutlah misalnya sekarang ini tiang pancang paku bumi Banten Abuya Muhtadi bin Abuya Dimyati Pandeglang, Abuya Syar’i Ciomas, dan Abuya Munfasir Padarincang.

Para ulama inilah menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat melalui santri yang dibina bertahun-tahun di pondok pesantren sehingga melahirkan idolatry yang sangat bermanfaat ketika menghadapi penjajah di bawah satu  komando, seperti seperti Geger Banten tahun 1888.

Para santri ini ada 2 katagori, yaitu santri yang memang mendalami kitab-kitab klasik abad ke-13 yang dikenal dengan Kitab Kuning, selain diberi juga pelajaran persilatan. Dalam konteks dunia persilatan inilah biasanya para santri diberi amalan-amalan tertentu oleh Kyai yang diambil dari tradisi tarekat. Dan masyarakat nenyebutnya dengan Santri Putih. Dari sini  misalnya muncul Seni  Debus Tahan  Kebal dan seterusnya. 

Dan ada juga santri yang lebih cendrung hanya kepada pelajaran persilatan sehingga bidang keagamaan tidak mendalam. Dari Santri kelompok kedua inilah asal usul lahirnya Dunia Jawara di Banten. Dan biasanya masyarakat Banten menyebutnya Santri Hitam. Dengan demikian riil pengaruh kekuasaan di Banten terdiri dari Santri Putih dan Santri Hitam, dan Birokrat (Politisi) serta Pebisnis.

Persoalannya menjadi ribet ketika para Jawara atau Santri Hitam ini mudah tergoda dengan persoalan dunia yang pada akhirnya menjadi manusia centeng dan manusia upahan untuk menakut-nakuti masyarakat. Dalam konteks dunia hitam di Banten kelompok ini menjadi “tentara bayaran” dari para birokrat yang jahat,  kelompok pebisnis dan penjajah.

Dalam konteks inilah penulis memahami pesan Mantan Ketua PWM Banten Tiga Periode 2000-2015, KH Hasan Alaydrus, bahwa Pimpinan Muhammadiyah Banten “kudu” dekat dengan kelompok Santri Putih dan Santri Hitam di tengah masyarakat.

Dari uraian di muka penulis melihat sudah seharusnya Majelis Tabligh PWM Banten merumus ulang model dakwah di tiga wilayah yang masih kental dunia tradisonalism dan banteismnya yaitu  Pandeglang,  Lebak, Serang, dan Cilegon dengan tidak harus meninggalkan spirit Islam Berkemajuan. Berbeda dengan Tangsel, dan Tangerang yang banyak bersentuhan dengan dunia industry.

Penulis pikir model dakwah yang dikembangkan KH Ahmad Dahlan dan KH Abdul Haq di Banten patut menjadi rujukan. Karena kalau boleh jujur bahwa ada penurunan jumlah warga Muhammadiyah dengan berbagai sebab di perkotaan, dan di masyarakat pedesaan Banten sangat “sulit” menembusnya karena persoalan strategi dan metoda dakwah masih jalan di tempat. Barangkali Dr Hanafi yang terkecuali. 

Penulis adalah aktivis PWM Banten 2022-2027


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Istilah "jihad" sering kali dis....

Suara Muhammadiyah

7 October 2024

Wawasan

Agama Sebagai Pandangan Hidup Oleh: Prof Dr Syamsul Anwar, MA Agama dapat didefinisikan dari beber....

Suara Muhammadiyah

14 June 2024

Wawasan

Berdakwah dengan Santun Oleh: Suko Wahyudi. PRM Timuran Yogyakarta  Dakwah merupakan manifest....

Suara Muhammadiyah

17 July 2025

Wawasan

Antara Literal dan Metaforis Memahami Bahaya Riba dalam Al-Qur'an Oleh: Donny Syofyan/Dosen Fakulta....

Suara Muhammadiyah

25 April 2025

Wawasan

Masjid Gedhe Kauman dan Alumni Shabran Oleh: Mahli Zainuddin Tago Jogja, Jumat sore 8 September 20....

Suara Muhammadiyah

12 September 2023